ALHIJAZ INDOWISATA TRAVEL | PAKET UMROH MURAH PROMO 2016 2017 - INFO HARGA BIAYA UMROH MURAH - HAJI ONH PLUS - HAJI BATAL GANTI

Tlp. 021-91693870 | Telkomsel. 081219395680 | Indosat. 085743682680 | PIN BB. 7CF96624

Umroh Murah| Umroh Promo | Travel Umroh Murah Promo Jakarta | Umroh Murah Awal Ramadhan, Akhir Ramadhan 2016 | Info Harga Paket Umroh Murah Promo 2016 2017

Paket Umroh Murah Promo 2016 2017 | Harga Umroh Promo Murah 2016 | Info Biro Travel Umroh Murah Promo Jakarta | Jadwal Keberangkatan Wisata Umroh Murah Promo 2016 2017

Urwah bin Zubair

Urwah bin Zubair


Pagi itu, matahari memancarkan benang-benang cahaya keemasan di atas Baitul Haram, menyapa ramah pelatarannya yang suci. Di Baitullah, sekelompok sisa-sisa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tokoh-tokoh tabi’in tengah mengharumkan suasana dengan lantunan tahlil dan takbir, menyejukkan sudut-sudutnya dengan doa-doa yang shalih.

Mereka membentuk halaqah-halaqah, berkelompok-kelompok di sekeliling Ka’bah agung yang tegak berdiri di tengah Baitul Haram dengan kemegahan dan keagungannya. Mereka memanjakan pandangan matanya dengan keindahannya yang menakjubkan dan berbagi cerita di antara mereka, tanpa senda gurau yang mengandung dosa.

Di dekat rukun Yamani, duduklah empat remaja yang tampan rupawan, berasal dari keluarga yang mulia. Seakan-akan mereka adalah bagian dari perhiasan masjid, bersih pakaiannya dan menyatu hatinya.

Di dekat rukun Yamani, duduknya empat remaja yang tampan rupawan, berasal dari keluarga yang mulia. Seakan-akan meraka adalah bagian dari perhiasan masjid, bersih pakaiannya dan menyatu hatinya.

Keempat remaja itu adalah Abdullah bin Zubair dan saudaranya yang bernama Mush’ab bin Zubair, saudaranya lagi bernama Urwah bin Zubair dan satu lagi Abdul Malik bin Marwan.

Pembiacaraan mereka semakin serius. Kemudian seorang di antara mereka mengusulkan agar masing-masing mengemukakan cita-cita yang didambakannya. Maka khayalan mereka melambung tinggi ke alam luas dan cita-cita mereka berputar mengitari taman hasrat mereka yang subur.

Mulailah Abdullah bin Zubair angkat bicara: “Cita-citaku adalah menguasai seluruh Hijaz dan menjadi khalifahnya.”

Saudaranya, Mus’ab menyusulnya: “Keinginanku adalah dapat menguasai dua wilayah Irak dan tak ada yang merongrong kekuasaanku.”

Giliran Abdul Malik bin Marwan berkata, “Bila kalian berdua sudah merasa cukup dengan itu, maka aku tidak akan puas sebelum bisa menguasai seluruh dunia dan menjadi khalifah setelah Mu’awiyah bin Abi Sufyan.”

Sementara itu Urwah diam seribu bahasa, tak berkata sepatah pun. Semua mendekati dan bertanya, “Bagaimana denganmu, apa cita-citamu kelak wahai Urwah?” Beliau berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi semua cita-cita dari urusan dunia kalian, aku ingin menjadi alim [orang berilmu yang mau beramal], sehingga orang-orang akan belajar dan mengambil ilmu tentang kitab Rabb-nya, sunah Nabi-Nya dan hukum-hukum agamanya dariku, lalu aku berhasil di akhirat dan memasuki surga dengan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Hari-hari berganti serasa cepat. Kini Abdullah bin Zubair dibai’at menjadi khalifah menggantikan Yazid bin Mu’awiyah yang telah meninggal. Dia menjadi hakim atas Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan, dan Irak yang pada akhirnya terbunuh di Ka’bah, tak jauh dari tempatnya mengungkapkan cita-cita dahulu.

Sedangkan Mus’ab bin Zubair telah mengauasai Irak sepeninggal saudaranya Abdullah dan akhirnya juga terbunuh ketika mempertahankan wilayah kekuasaannya.

Adapun Abdul Malik bin Marwan, kini menjadi khalifah setelah terbunuhnya Abdullah bin Zubair dan saudaranya Mus’ab, setelah keduanya gugur di tangan pasukannya. Akhirnya, dia berhasil menjadi raja dunia terbesar pada masanya.

Bagaimana halnya dengan Urwah bin Zubair? Mari kita ikuti kisahnya dari awal…

Beliau lahir satu tahun sebelum berakhirnya masa khilafah al-Faruq Radhiyallahu ‘Anhu. Dalam sebuah rumah yang paling mulia di kalangan kaum muslimin dan paling luhur martabatnya.

Adapun ayahnya bernama Zubair bin Awwam, “al-Hawari” (pembela) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang pertama yang menghunus pedangnya dalam Islam serta termasuk salah satu di antara sepuluh orang yang dijamin masuk surga.

Sedangkan ibunya bernama Asma binti Abu Bakar ash-Shidiq yang dijuluki dzatun nithaqain [pemilik dua ikat pinggang].

Kakek beliau dari jalur ibu adalah Abu Bakar ash-Shidiq, khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menemani beliau di sebuah goa.

Sedangkan nenek dari jalur ayahnya adalah Shafiyah binti Abdul Muthalib yang juga bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bibinya adalah Ummul Mukminin, bahkan dengan tangan Urwah bin Zubair sendirilah yang turun ke liang lahat untuk meletakkan jenazah ummul Mukminin.

Maka siapa lagi kiranya yang lebih unggul nasabnya dari beliau? Adakah kemuliaan di atasnya selain kemuliaan iman dan kewibawaan Islam?

Demi merealisasikan cita-cita yang didambakan dan harapan kepada Allah yang diutarakan di sisi Ka’bah yang agung tersebut, beliau amat gigih dalam usahanya mencari ilmu. Maka beliau mendatangi dan menimbanya dari sisa-sisa para shahabat Rasulullah yang masih hidup.

Beliau mendatangi rumah demi rumah mereka, shalat di belakang mereka, menghadiri majelis-majelis mereka. Beliau meriyawatkan hadis dari Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari, Usamah bin Zaid, Sa’id bin Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Nu’man bin Basyir dan banyak pula mengambil dari bibinya, Aisyah Ummjul Mukminin. Pada gilirannya nanti, beliau berhasil menjadi satu di antara fuqaha sab’ah (tujuh ahli fikih) Madinah yang menjadi sandaran kaum muslimin dalam urusan agama.

Para pemimpin yang shalih banyak meminta pertimbangan kepada beliau baik tentang urusan ibadah maupun negara karena kelebihan yang Allah berikan kepada beliau. Sebagai contohnya adalah Umar bin Abdul Aziz. Ketika beliau diangkat sebagai gubernur di Madinah pada masa al-Walid bin Abdul Malik, orang-orang pun berdatangan untuk memberikan ucapan selamat kepada beliau.

Usai shalat zuhur, Umar bin Abdul Aziz memanggil sepuluh fuqaha Madinah yang dipimpin oleh Urwah bin Zubair. Ketika sepuluh ulama tersebut telah berada di sisinya, maka beliau melapangkan majlis bagi mereka serta memuliakannya. Setelah bertahmid kepada yang berhak dipuji beliau berkata, “Saya mengundang Anda semua untuk suatu amal yang banyak pahalanya, yang mana saya mengharapkan Anda semua agar sudi membantu dalam kebenaran, saya tidak ingin memutuskan suatu masalah kecuali setelah mendengarkan pendapat Anda semua atau seorang yang hadir di antara kalian. Bila kalian melihat seseorang mengganggu orang lain atau pejabat yang melakukan kezhaliman, maka saya mohon dengan tulus agar Anda sudi melaporkannya kepada saya.” Kemudian Urwah mendoakan baginya keberuntungan dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, senantiasa bersanding dengan Kitabullah dan tekun membacanya. Beliau mengkhatamkan seperempat Alquran setiap siang dengan membuka mushhaf, lalu shalat malam membaca ayat-ayat Alquran dengan hafalan. Tak pernah beliau meninggalkan hal itu sejak menginjak remaja hingga wafatnya melainkan sekali saja. Yakni ketika peristiwa mengharukan yang sebentar lagi akan kami beritakan kepada Anda.

Dengan menunaikan shalat, Urwah memperolah ketenangan jiwa, kesejukan pandangan dan surga di dunia. Beliau tunaikan sebagus mungkin, beliau tekuni rukun-rukunnya secara sempurna dan beliau panjangkan shalatnya sedapat mungkin.

Telah diriwayatkan bahwa beliau pernah melihat seseorang menunaikan shalat secepat kilat. Setelah selesai, dipanggilnya orang tersebut dan ditanya, “Wahai anak saudaraku, apakah engkau tidak memerlukan apa-apa dari Rabb-mu Yang Maha Suci? Demi Allah, aku memohon kepada Rabb-ku segala sesuatu sampai dalam urusan garam.”

Urwah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu adalah seorang yang ringan tangan, longgar dan dermawan. Di antara bukti kedermawanannya itu adalah manakala beliau memiliki sebidang kebun yang luas di Madinah dengan air sumurnya yang tawar, pepohonan yang rindang serta buahnya yang lebat. Beliau pasang pagar yang mengelilinginya untuk menjaga kerusakannya dari binatang-binatang dan anak-anak yang usil. Hingga tatkala buah telah masak dan membangkitkan selera bagi yang memandangnya, dibukalah beberapa pintu sebagai jalan masuk bagi siapapun yang menghendakinya.

Begitulah, orang-orang keluar masuk kebun Urwah sambil merasakan lezatnya buah-buahan yang masak sepuas-puasnya dan membawa sesuai dengan keinginannya. Setiap memasuki kebun, beliau mengulang-ulang firman Allah:

“Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaa allah, laa quwwata illaa billah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” (QS. Al-Kahfi: 39)

Suatu masa di zaman khilafah al-Walid bin Abdul Malik, Allah berkehendak menguji Urwah dengan suatu cobaan yang tak seorang pun mampu bertahan dan tegar selain orang yang hatinya subur dengan keimanan dan penuh dengan keyakinan.

Tatkala amirul mukminin mengundang Urwah untuk berziarah ke Damaskus. Beliau mengabulkan undangan tersebut dan mengajak putra sulungnya. Amirul Mukminin menyambutnya dengan gembira, memperlakukannya dengan penuh hormat dan melayaninya dengan ramah.

Kemudian datanglah ketetapan dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, laksana angin kencang yang tak dikehendaki penumpang perahu. Putra Urwah masuk ke kandang kuda untuk melihat kuda-kuda piaraan pilihan. Tiba-tiba saja seekor kuda menyepaknya dengan keras hingga menyebabkan kematiannya.

Belum lagi tangan seorang ayah ini bersih dari tanah penguburan putranya, salah satu telapak kakinya terluka. Betisnya tiba-tiba membengkak, penyakit semakin menjalar dengan cepatnya.

Kemudian bergegaslah Amirul Mukminin mendatangkan para tabib dari seluruh negeri untuk mengobati tamunya dan memerintahkan mereka untuk mengobati Urwah dengan cara apapun.

Namun para tabib itu sepakat untuk mengamputasi kaki Urwah sampai betis sebelum penyakit menjalar ke seluruh tubuh yang dapat merenggut nyawanya.

Jalan itu harus ditempuh. Tatkala ahli bedah telah datang dengan membawa pisau untuk menyayat daging dan gergaji untuk memotong tulangnya, tabib berkata kepada Urwah: “Sebaiknya kami memberikan minuman yang memabukkan agar Anda tidak merasakan sakitnya diamputasi.” Akan tetapi Urwah menolak, “Tidak perlu, aku tidak akan menggunakan yang haram demi mendapat afiat (kesehatan). Tabib berkata, “Kalau begitu kami akan membius Anda!” Beliau menjawab, “Aku tidak mau diambil sebagian dari tubuhku tanpa kurasakan sakitnya agar tidak hilang pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Ketika operasi hendak dimulai, beberapa orang mendekati Urwah, lalu beliau bertanya, “Apa yang hendak mereka lakukan?” Lalu dijawab, “Mereka akan memegangi Anda, sebab bisa jadi Anda nanti merasa kesakitan lalu menggerakan kaki dan itu bisa membahayakan Anda.” Beliau berkata, “Cegahlah mereka, aku tidak membutuhkannya. Akan kubekali diriku dengan dzikir dan tasbih.”

Mulailah tabib menyayat dagingnya dengan pisau dan tatkala mencapai tulang, diambillah gergaji untuk memotongnya. Sementara itu Urwah tak henti-hentinya mengucapkan, “Laa ilaaha Illallah Allahu Akbar,” sang tabib terus melakukan tugasnya dan Urwah juga terus bertakbir hingga selesai proses amputasi itu.

Setelah itu dituangkanlah minyak yang telah dipanaskan mendidih dan dioleskan di betis Urwah bin Zubair untuk menghentikan perdarahan dan menutup lukanya. Urwah pingsan untuk beberapa lama dant terhenti membaca ayat-ayat Alquran di hari itu. Inilah satu-satunya hari di mana beliau tidak bisa melakukan kebiasaan yang beliau jaga semenjak remajanya.

Ketika Urwah tersadar dari pingsannya, beliau meminta potongan kakinya. Dibolak-baliknya sambil berkata, “Dia (Allah) yang membimbing aku untuk membawamu di tengah malam ke masjid, Maha Mengetahui bahwa aku tak pernah menggunakannya untuk hal-hal yang haram.”

Kemudian dibacanya syair Ma’an bin Aus:

Tak pernah kuingin tanganku menyentuh yang meragukan

Tidak juga kakiku membawaku kepada kejahatan

Telinga dan pandangan mataku pun demikian

Tidak pula menuntun ke arahnya pandangan dan pikiran

Aku tahu, tiadalah aku ditimpa musibah dalam kehidupan

Melainkan telah menimpa orang lain sebelumku.

Kejadian tersebut membuat Amirul Mukminin, al-Walid bin Abdul Malik sangat terharu. Urwah telah kehilangan putranya, lalu sebelah kakinya. Maka dia berusaha menghibur dan menyabarkan hati tamunya atas musibah yang menimpanya tersebut.

Bersamaan dengan itu, di rumah khalifah datang satu rombongan Bani Abbas yang salah seorang di antaranya buta matanya. Kemudian al-Walid menanyakan sebab musabab kebutaannya. Dia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, dulu tidak ada seorang pun di kalangan Bani Abbas yang lebih kaya dalam harta dan anak dibanding saya. Saya tinggal bersama keluarga di suatu lembah di tengah kaum saya. Mendadak muncullah air bah yang langsung menelan habis seluruh harta dan keluarga saya. Yang tersisa bagi saya hanyalah seekor onta yang lari dari saya. Maka saya taruh bayi yang saya bawa di atas tanah lalu saya kejar onta tadi. Belum seberapa juh, saya mendengar jerit tangis bayi itu. Saya menoleh dan ternyata kepalanya telah berada di mulut serigala, dia telah memangsanya. Saya kembali, tapi tak bisa berbuat apa-apa lagi karena bayi itu sudah habis dilalapnya. Lalu serigala tersebut lari dengan kencangnya. Akhirnya saya kembali mengejar onta liar tadi sampai dapat. Tapi begitu saya mendakat dia menyepak dengan keras hingga hancur wajah saya dan buta kedua mata saya. Demikianlah, saya dapati diri saya kehilangan semua harta dan keluarga dalam sehari semalam saja dan hidup tanpa memiliki penglihatan.

Kemudian al-Walid berkata kepada pengawalnya, “Ajaklah orang ini menemui tamu kita Urwah, lalu mintalah agar dia mengisahkan nasibnya agar beliau tahu bahwa ternyata masih ada orang yang ditimpa musibah lebih berat darinya.”

Tatkala beliau diantarkan pulang ke Madinah dan menjumpai keluarganya, Urwah berkata sebelum ditanya, “Janganlah kalian risaukan apa yang kalian lihat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak mengambil satu. Maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Aku dikaruniai empat kekuatan lalu hanya diambil satu, maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Dia mengambil sedikit dariku dan masih banyak yang ditinggalkan-Nya untukku. Bila Dia menguji sekali, kesehatan yang Dia karuniakan masih lebih banyak dan lebih darinya.”

Demi melihat kedatangan dan keadaan imam dan gurunya, maka penduduk Madinah segera datang berbondong-bondong ke rumahnya untuk menghibur.

Yang paling baik di antara ungkapan teman-teman Urwah adalah dari Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah: “Bergembiralah wahai Abu Abdillah, sebagian dari tubuhmu dan putramu telah mendahuluimu ke surga. Insya Allah yang lain akan segera menyusul kemudian. Karena rahmat-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala meninggalkan engkau untuk kami, sebab kami ini fakir dan memerlukan ilmu fiqih dan pengetahuanmu. Semoga Allah memberikan manfaat bagimu dan juga kami. Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah wali bagi pahala untukmu dan Dia pula yang menjadim kebagusan hisab untukmu.”

Urwah bin Zubair menjadi menara hidayah bagi kaum muslimin. Menjadi penunjuk jalan kemenangan dan menjadi da’i selama hidupnya. Perhatian beliau yang paling besar adalah mendidik anak-anaknya secara khusus dan generasi Islam secara umum. Beliau tidak suka menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk memberikan petunjuk dan selalu mencurahkan nasihat demi kebaikan mereka.

Tak bosan-bosannya beliau memberikan motivasi kepada para putranya untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Beliau berakata, “Wahai putra-putriku, tuntutlah ilmu dan curahkan seluruh tenagamu untuknya. Karena, kalaupun hari ini kalian menjadi kaum yang kerdil, kelak dengan ilmu tersebut Allah menjadikan kalian sebagai pembesar kaum.” Lalu beliau melanjutkan: “Sungguh menyedihkan, adakah di dunia ini yang lebih buruk daripada seorang tua yang bodoh?”

Beliau anjurkan pula kepada mereka untuk memperbanyak sedekah, sedangkan sedekah adalah hadiah yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian menghadiahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan apa yang kalian merasa malu menghadiahkannya kepada para pemimpin kalian, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mulia, Maha Pemurah dan lebih berhak didahulukan dan diutamakan.”

Beliau senantiasa mengajak orang-orang untuk memandang suatu masalah dari sisi hakikatnya. Beliau berkata, “Wahai putra-putriku, jika engkau melihat kebaikan pada seseorang maka akuilah itu baik, walaupun dalam pandangan banyak orang dia adalah orang jahat. Sebab setiap perbuatan baik itu pastilah ada kelanjutannya. Dan jika melihat pada seseorang perbuatan jahat, maka hati-hatilah dalam bersikap walaupun dalam pandangan orang-orang dia adalah orang yang baik. Sebab setiap perbuatan ada kesinambungannya. Jadi camkanlah, kebaikan akan melahirkan kebaikan setelahnya dan kejahatan menyebabkan timbulnya kejahatan berikutnya.”

Beliau juga mewasiatkan agar berlemah lembut, bertutur kata yang baik dan berwajah ramah. Beliau berkata, “Wahai putra-putriku, tertulis di dalam hikmah, “Jadikanlah tutur katamu indah dan wajahmu penuh senyum, sebab hal itu lebih disukai orang daripada suatu pemberian.”

Jika beliau melihat seseorang condong pada kemewahan dan mengutamakan kenikmatan, diingatkannya betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membiasakan diri untuk hidup sederhana.

Sebagai contoh adalah kisah yang diceritakan oleh Muhammad bin al-Munkadir, “Aku bertemu dengan Urwah bin Zubair. Dia menggandeng tanganku sambil berkata, “Wahai Abu Abdillah.” Aku jawab, “Labbaik.”

Urwah berkata, “Aku pernah menjumpai ibuku Aisyah, lalu beliau berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, ada kalanya selama 40 hari tak ada api menyala di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk lampu ataupun memasak.” Maka aku bertanya, “Bagaimana Anda berdua hidup pada waktu itu?” Beliau menjawab, “Dengan korma dan air.”

Urwah hidup hingga usia 71 tahun. Hidupnya penuh dengan kebajikan, kebaktian, dan diliputi ketaqwaan. Ketika dirasa ajalnya sudah dekat dan dia dalam keadaan berpuasa, keluarganya mendesak agar beliau mau makan, tetapi beliau menolak keras karena ingin berbuka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan minuman dari telaga al-Kautsar yang dituangkan dalam gelas-gelas perak oleh para bidadari cantik di surga.

Baca juga artikel menarik lainnya: Uwais al-Qani

Uwais al-Qani

Uwais al-Qani


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita mengenai Uwais al-Qarni tanpa pernah melihatnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia seorang penduduk Yaman, daerah Qarn, dan dari kabilah Murad. Ayahnya telah meninggal. Dia hidup bersama ibunya dan dia berbakti kepadanya. Dia pernah terkena penyakit kusta. Dia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu dia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu dia diberi kesembuhan, tetapi masih ada bekas sebesar dirham di kedua lengannya. Sungguh, dia adalah pemimpin para tabi’in.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Jika kamu bisa meminta kepadanya untuk memohonkan ampun (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) untukmu, maka lakukanlah!”

Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu telah menjadi Amirul Mukminin, dia bertanya kepada para jamaah haji dari Yaman di Baitullah pada musim haji, “Apakah di antara warga kalian ada yang bernama Uwais al-Qarni?” “Ada,” jawab mereka.

Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Bagaimana keadaannya ketika kalian meninggalkannya?”

Mereka menjawab tanpa mengetahui derajat Uwais, “Kami meninggalkannya dalam keadaan miskin harta benda dan pakaiannya usang.”

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada mereka, “Celakalah kalian. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita tentangnya. Kalau dia bisa memohonkan ampun untuk kalian, lakukanlah!”

Dan setiap tahun Umar radhiyallahu ‘anhu selalu menanti Uwais. Dan kebetulan suatu kali dia datang bersama jemaah haji dari Yaman, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu menemuinya. Dia hendak memastikannya terlebih dahulu, makanya dia bertanya, “Siapa namamu?”

“Uwais,” jawabnya.

Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Di Yaman daerah mana?’

Dia menjawab, “Dari Qarn.”

“Tepatnya dari kabilah mana?” Tanya Umar radhiyallahu ‘anhu.

Dia menjawab, “Dari kabilah Murad.”

Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, “Bagaimana ayahmu?”

“Ayahku telah meninggal dunia. Saya hidup bersama ibuku,” jawabnya.

Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Bagaimana keadaanmu bersama ibumu?’

Uwais berkata, “Saya berharap dapat berbakti kepadanya.”

“Apakah engkau pernah sakit sebelumnya?” lanjut Umar radhiyallahu ‘anhu.

“Iya. Saya pernah terkena penyakit kusta, lalu saya berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga saya diberi kesembuhan.”

Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, “Apakah masih ada bekas dari penyakit tersebut?”

Dia menjawab, “Iya. Di lenganku masih ada bekas sebesar dirham.” Dia memperlihatkan lengannya kepada Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu melihat hal tersebut, maka dia langsung memeluknya seraya berkata, “Engkaulah orang yang diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohonkanlah ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untukku!”

Dia berkata, “Masa saya memohonkan ampun untukmu wahai Amirul Mukminin?”

Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Iya.”

Umar radhiyallahu ‘anhu meminta dengan terus mendesak kepadanya sehingga Uwais memohonkan ampun untuknya.

Selanjutnya Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya kepadanya mengenai ke mana arah tujuannya setelah musim haji. Dia menjawab, “Saya akan pergi ke kabilah Murad dari penduduk Yaman ke Irak.”

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya akan kirim surat ke walikota Irak mengenai kamu?”

Uwais berkata, “Saya bersumpah kepada Anda wahai Amriul Mukminin agar engkau tidak melakukannya. Biarkanlah saya berjalan di tengah lalu lalang banyak orang tanpa dipedulikan orang.”

Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Abdullah bin Hudzafah RA

Abdullah bin Hudzafah RA

Abdullah bin Hudzafah RA


Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu adalah salah seorang panglima kaum muslimin yang ikut serta dalam pembebasan negeri Syam. Dia diserahi misi penting untuk memerangi penduduk Kaisariah, sebuah kota benteng di wilayah Palestina, tepatnya di tepi Laut Tengah. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu gagal dalam salah satu pertempuran, sehingga akhirnya ia ditangkap oleh tentara Romawi.

Heraklius merasa berkesempatan untuk menyakiti dan menyiksa kaum muslimin. Lalu ia mendatangkan Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu ke hadapannya. Ia ingin menguji seberapa kuat agamanya dan ingin menjauhkannya dari Islam. Heraklius memulai dengan memberikan bujukan dan penawaran. Ia menawarkan kepada Abdullah radhiyallahu ‘anhu beberapa tawaran yang menggiurkan.

Heraklius berkata kepadanya, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka engkau akan mendapatkan harta yang engkau inginkan.” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menolak tawaran ini. Kemudian Heraklius menambahkan, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka saya akan menikahkanmu dengan putriku.” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu juga menolak tawaran kedua. Lantas Heraklius berkata lagi, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka saya akan merekrutmu menjadi orang penting dalam kerajaanku.” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu pun menolak tawaran ketiga ini.

Heraklius menyadari bahwa ia tengah berhadapan dengan bukan sembarang lelaki. Maka ia pun memberikan penawaran keempat. Ia berkata kepadanya, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka saya akan memberikan kepadamu separuh dari kerajaanku dan separuh hartaku.” Lantas Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu memberikan jawaban yang tegas dan mematikan, “Meskipun kamu memberikan kepadaku semua harta yang kamu miliki dan semua harta yang dimiliki oleh orang Arab, saya tidak akan kembali meninggalkan agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun hanya sekejap mata.”

Setelah Heraklius gagal dalam memberikan penawaran dan bujukan, maka ia menekan Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dengan cara memaksa, menyiksa, mengintimidasi, dan mengancamnya. Maka, Heraklius berkata kepadanya, “Kalau demikian, saya akan membunuhmu?” Heraklius tidak menyadari bahwa orang yang tidak tergiur dengan tawaran dan bujukan, tentunya juga tidak akan menyerah menghadapi paksaan dan siksaan. Orang yang menginjak dunia dengan kedua kakinya, tidak akan kikir untuk menyerahkan nyawa untuk menebus agamanya. Ia berkata kepada Heraklius, “Silakan kamu melakukan hal itu.”

Kemudian Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dijebloskan ke dalam penjara dan tidak diberi makan dan minum selama tiga hari. Setelah itu ia disuguhi arak dan daging babi agar ia memakannya. Akan tetapi, Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menolak mencicipinya. Akhirnya sampai berhari-hari ia tidak menyentuh makanan dan minuman sehingga ia hampir mati. Kemudian Heraklius mengeluarkannya dan bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu enggan minum arak dan makan daging babi padahal engkau dalam kondisi terpaksa dan kelaparan?” Ia menjawab, “Ketahuilah! Kondisi darurat memang telah menjadikan hal tersebut halal bagi saya dan tidak ada keharaman bagi saya memakannya. Akan tetapi, saya lebih memilih untuk tidak memakannya, sehingga saya tidak memberikan kesempatan kepadamu untuk bersorak melihat kemalangan Islam.”

Kemudian Heraklius memerintahkan kepada anak buahnya agar mereka menyalib Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dan mengikatnya pada kayu. Para pemanah siap-siap melesakkan anak panah dari posisi yang dekat darinya. Ia pun tetap bertahan. Heraklius masih menawarkan agar ia memeluk agama Nasrani, tetapi ia tetap menolak. Kemudian ia diturunkan. Heraklius memerintahkan agar disiapkan air di dalam kuali besar dan dinyalakan api di bawahnya. Ketika air di dalam kuali telah mendidih, didatangkanlah seorang tawanan muslim, lalu ia diceburkan ke dalamnya, maka dagingnya pun meleleh sehingga tinggal tulang kerangka. Kemudian tawanan muslim yang kedua diceburkan di dalamnya sedangkan Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu melihatnya.

Kemudian Heraklius memerintahkan agar Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dilemparkan ke dalam air mendidih. Ketika mereka memegang Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu untuk dilemparkan ke dalam air mendidih, maka ia menangis. Lantas dilaporkan kepada Heraklius bahwa Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menangis. Heraklius mengira bahwa Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menangis karena ia takut mati serta menunjukkan bahwa ia mundur dari posisinya dan membatalkan ketetapan hatinya dan ia akan mengabulkan keinginan Heraklius. Lantas Heraklius memanggilnya dan memberi tawaran kepadanya agar ia memeluk agama Nasrani. Ia pun tetap menolaknya. Lalu Heraklus bertanya kepadanya, “Kalau demikian mengapa engkau menangis?” Lalu ia memberikan jawaban yang menakjubkan, benar-benar melemahkan, dan menetapkan kegagalan dan kekalahan Heraklius, “Saya menangis karena saya hanya memiliki jiwa sebanyak rambut saya, pastilah saya korbankan untuk menebus agamaku. Sehingga, semuanya mati di jalan Allah.” Akhirnya Heraklius mengakui kekalahannya di hadapan Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu. Kekalahannya yaitu bahwa ia memiliki harta, pangkat, kekuatan, dan dunia berhadapan dengan seseorang muslim yang tidak bersenjata dan tidak menyandang apa-apa. Lantas ia memberikan tawaran terakhir sebagai bentuk kekalahan.

Demi menjaga martabatnya, Heraklius berkata, “Hai Ibnu Hudzafah! Maukah kamu mengecup kepalaku? Saya akan membebaskanmu dan melepaskanmu?” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Baiklah, dengan syarat engkau harus melepaskan semua tawanan kaum muslimin yang berada di dalam penjara kalian saat itu ada lebih dari 300 tawanan.” Lantas Umar radhiyallahu ‘anhu berdiri menghampiri Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dan mengecup kepalanya, lalu para sahabat lainnya mengikutinya.

Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Keutamaan Siti Khadijah (2)

Keutamaan Siti Khadijah (2)

Keutamaan Siti Khadijah (2)


Segala puji hanya untuk Allah Ta’ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam. Aku bersaksi bahwa tidak ada ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba’du:

Berikut ini adalah rangkaian panjang dalam bingkai siroh perjalanan hidup Umul Mukminin, istri Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau dilahirkan lima belas tahun sebelum tahun gajah, dalam nasab, dirinya termasuk berada pada kalangan menengah dalam suku Quraisy, dan yang paling tinggi kemuliaannya. Sampai dirinya dikenal dengan kesuciannya dari hal-hal buruk yang dilakukan para wanita pada zaman jahiliyah.

Beliau seorang saudagar wanita yang sukses dengan harta yang melimpah. Dan beliau dipersunting oleh Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam sedangkan saat itu umurnya sudah sampai empat puluh tahun, dan Nabi berusia dua puluh lima. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memadu dengan wanita lain sampai setelah kematiaannya dikarenakan kedudukan serta keutamaan beliau dihati Nabi, sesungguhnya dia adalah sebaik-baik teman hidup.

Darinya lahir anak-anak beliau, pertama anak laki-laki yang bernama Qosim, dimana dengan sebab itu beliau dipanggil ayahnya. Kemudian lahir Zainab, Ruqoyyah, Ummu Kultsum dan Fatimah serta Abdullah.

Beliau dijuluki dengan wanita yang paling baik akhlaknya lagi suci. Dari anak-anak yang lahir darinya, semua anak laki-lakinya meninggal ketika masih kecil, adapun anak-anak perempuannya maka seluruhnya menjumpai masa Islam dan semuanya masuk agama Islam dan ikut hijrah, dan mereka semua menjumpai ibunya kecuali Fatimah, sesungguhnya ibunya meninggal beberapa bulan setelah kelahirannya.

Dirinya adalah orang pertama yang beriman dan percaya kepada Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam sebelum ada seorangpun yang beriman padanya. Beliau yang meneguhkan Nabi supaya tetap teguh, serta membawanya kepada anak pamannya Waraqah. Dan Allah Shubhanahu wa ta’alla telah menyuruh Nabi       -Nya supaya memberi kabar gembira kepadanya, dengan rumah disurga dari emas yang tidak ada kebisingan serta rasa capek didalamnya.

Dialah Ibunda kuam mukminin Khadijah binti Khuwailid bin Asad al-Quraisyiyah al-Asadiyah. Beliau adalah wanita yang paling mulia pada umat ini. Imam adz-Dzahabi mengatakan tentang beliau: ‘Seorang yang sangat berakal lagi terhormat, teguh beragama, terjaga dari sifat keji lagi mulia, yang termasuk penghuni surga. Adalah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam biasa memujinya dan mengutamakan dirinya dari semua istri-istrinya. Sehingga beliau sangat mengaguminya, sampai kiranya Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan: ‘Aku tidak pernah merasa cemburu terhadap madu yang lainnya melebihi kecemburuanku pada Khadijah, dikarenakan saking seringnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebut-yebut dirinya’. [1]

Disebutkan dalam sebuah hadits, yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan: ‘Pada suatu ketika Jibril mendatangi Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam sambil mengatakan pada beliau:

“Wahai Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam, Ini Khadijah telah datang. Bersamanya sebuah bejana yang berisi lauk, makanan dan minuman. Jika dirinya sampai katakan padanya bahwa Rabbnya dan diriku mengucapkan salam untuknya. Dan kabarkan pula bahwa untuknya rumah disurga dari emas yang nyaman tidak bising dan merasa capai”. HR Bukhari no: 3820. Muslim no: 2432.

As-Suhaili mengomentari hadits diatas: ‘Hanya saja beliau diberi gambar seperti itu, dengan mendapat rumah disurga yang terbuat dari batu permata, dikarenakan dirinya telah menghimpun berbagai sarana sebagai pionir terdepan yang beriman kepada suaminya, dibarengi dengan sikapnya yang tenang dan tidak merasa capai dalam pembelaannya. Dan dikarenakan dalam kehidupannya beliau tidak pernah mengangkat suara kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta tidak membikin suaminya merasa capai apalagi menganggu urusannya’. [2]

Ibnu Ishaq mengatakan: ‘Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam merasa begitu sedih tatkala Abu Thalib dan istrinya Khadijah meninggal secara berurutan. Khadijah adalah istri sekaligus pembantunya yang sangat tulus. Dalam garis silsilah nasab, Ayah beliau bertemu dengan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pada kakek yang ke empat yaitu Qusai bin Kilab, sedangkan ibunya bertemu dalam silsilah keturunan bersama Nabi pada kakeknya yang kedelapan yaitu Lu’ay bin Ghalib. Khadijah adalah seorang yang banyak harta, maka beliau menawarkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk membawa dagangannya ke negeri Syam ditemani budaknya Maisaroh. Tatkala Nabi pulang dengan membawa keuntungan yang sangat banyak, serta melihat kejujurannya, maka beliau terpikat dengannya, lalu dia menawarkan supaya mau menikah dengannya, lalu Nabi pun menikah bersamanya dengan mahar dua puluh unta betina’.[3]

Bersambung insya Allah…

Oleh: Syaikh  Amin bin Abdullah asy-Syaqawi

Diterjemahkan : Abu Umamah Arif Hidayatullah

Sumber makalah: IslamHouse.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Keutamaan Siti Khadijah

Keutamaan Siti Khadijah

Keutamaan Siti Khadijah


Diantara kejadian dan sikapnya yang sangat mulia ialah sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

“Pertama kali yang nampak pada Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam dari wahyu ialah memperoleh mimpi yang baik tatkala tidur. Adalah beliau, ketika tidur tidaklah melihat sebuah mimpi melainkan pada keesokan harinya pasti melihat kejadian yang sama seperti apa yang dilihatnya didalam mimpi tersebut….. kemudian di ceritakan pada akhir hadits ini: “Maka beliau langsung pulang dalam keadaan ketakutan, lalu masuk kedalam rumah menemui istrinya Khadijah binti Khuwailid sembari mengatakan padanya: ‘Selimuti aku, selimuti aku’. Maka Khadijah menyelimutinya sampai rasa cemas yang ada pada diri Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam hilang. Setelah itu beliau menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya kepada Khadijah, seraya mengadu padanya: ‘Sungguh aku sangat khawatir terhadap keselamatan diriku”.  Lalu Khadijah menjawab: “Sungguh tidak, demi Allah. Allah tidak akan mencelakaimu, sesungguhnya engkau adalah orang yang suka menyambung tali silaturahim, membantu orang, menyantuni fakir, memuliakan tamu, dan senang membantu”.

Lalu beliau dibawa pergi oleh Khadijah ketempat Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, anak dari paman Khadijah. Dan Waraqah ini adalah seorang yang beragama Nashrani pada zaman Jahiliyah, beliau biasa menulis kitab dengan bahasa Ibrani, dirinya menulis Injil dengan bahasa Ibrani sesuai yang Allah kehendaki, beliau seorang yang sudah tua lagi buta. Maka Khadijah menceritakan padanya, lalu mengatakan: ‘Wahai anak pamanku, dengarlah kisah apa yang akan dikatakan oleh anak sudaramu’.

Waraqah lalu mengatakan pada Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam: ‘Wahai anak saudaraku! Apa yang engkau lihat? Maka Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam menceritakan kejadian yang beliau alami. Setelah selesai Waraqah berkata padanya: ‘Ini adalah Namus yang telah Allah utus kepada Nabi Musa. Duhai sekiranya aku masih kuat pada saat itu, aduhai sekiranya aku masih hidup tatkala kaum mu mengusirmu’. Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam merasa heran lalu menanyakan padanya: ‘Apakah mereka akan mengusirku? Ia, jawabnya. Tidak ada seorang pun yang datang dengan membawa seperti apa yang engkau bawa, melainkan pasti akan mendapat cobaan, kalau seandainya aku menjumpai hari dimana kamu diusir, pasti aku akan membela serta menolongmu’. Setelah itu, tidak selang berapa lama Waraqah meninggal lalu wahyu terputus“. HR Bukhari no: 3, Muslim no: 160.

Diantara kisah beliau yang terpuji adalah keikutsertaanya bersama Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam suka maupun duka. Turut bersama Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan sulit tatkala di isolir oleh kaumnya, hingga sampai pada kondisi yang sangat memprihatinkan dalam kehausan dan kelaparan, hingga disebutkan oleh sebagian sejarawan sampai-sampai kaum muslimin pada saat itu memakan daun pepohonan. Dan pada tahun tatkala embargo tersebut diakhiri beliau meninggal.

Khadijah radhiyallahu ‘anha adalah wanita terbaik yang ada pada umat ini, sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita: ‘Aku pernah mendengar Ali ketika di Kufah beliau mengatakan: ‘Aku pernah mendengar Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:


“Wanita terbaik yang pernah ada ialah Maryam putri Imran dan Khadijah“. HR Bukhari no: 3432. Muslim no: 2430.

Beliau termasuk wanita yang paling dicintai oleh Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta seringkali menunaikan haknya. Diterangkan dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:


“Aku tidak pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi melebihi kecemburuanku terhadap Khadijah, dan aku belum pernah berjumpa dengannya. Akan tetapi, beliau sering sekali menyebutnya. Terkadang beliau menyembelih kambing lalu memotong-motong dan mengirim pada teman-teman Khadijah. Sampai pernah aku mengatakan padanya: ‘Seakan-akan tidak ada wanita lain didunia ini kecuali Khadijah’. Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya dia itu wanita begini dan begitu, darinya aku dikarunia anak“. Dalam salah satu riwayat dikatakan: “Sesungguhnya aku di karunia buah hati darinya“. HR Bukhari no: 3818. Muslim no: 2434, 2435.

Masih dalam riwayat Bukhari dan Muslim dibawakan sebuah riwayat dari Aisyah, dia bercerita: ‘Pada suatu hari Halah binti Khuwailid saudari Khadijah meminta izin pada Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam untuk masuk kerumah, maka beliau menjadi teringat dengan suara istrinya Khadijah, dan beliau mengatakan: ‘Allahuma Halah binti Khuwailid’. Dari situ (kata Aisyah) timbul kecemburuanku, sehingga aku berkata: ‘Kenapa engkau selalu ingat pada wanita tua itu yang sudah mati, sudah tua, jompo lagi. Sedangkan engkau telah diganti oleh Allah dengan wanita yang lebih baik’. HR Bukhari no: 3821. Muslim no: 2437.

Dalam satu riwayat dikatakan:

“Allah belum pernah menggantikan yang lebih baik darinya. Dirinya telah beriman padaku tatkala manusia mengingkariku, dia mempercayaiku ketika orang lain mendustakanku, dirinya telah mengorbankan seluruh hartanya manakala orang lain mencegahnya dariku, dan dengannya Allah memberiku rizki anak tatkala hal itu tidak diberikan pada istri-istriku yang lainnya“. HR Ahmad 41/356 no: 24864.

Dan beliau meninggal pada bulan Ramadhan sepuluh tahun setelah kenabian, ada yang mengatakan; Delapan tahun, ada yang bilang tujuh tahun. Dirinya tinggal bersama Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam selama dua puluh lima tahun. Beliau dikubur di Hajun dan tahun kematiannya disebutkan dalam siroh Nabi dengan tahun kesedihan, dikarenakan kesedihan yang sangat dalam yang dirasakan oleh beliau ketika harus berpisah dengan istri tercintanya Khadijah, semoga Allah Shubhanhu wa ta’alla meridhoi ibunda kaum mukminin Khadijah, serta membalas segala kebaikkannya untuk Islam dan kaum muslimin, dengan sebaik-baik balasan.

Akhirnya kita tutup dengan memuji Allah Shubahanahu wa ta’ala, Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan merambah kepada keluarga beliau serta seluruh para sahabatnya.

Oleh: Syaikh  Amin bin Abdullah asy-Syaqawi

Diterjemahkan : Abu Umamah Arif Hidayatullah

Sumber makalah: IslamHouse.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Kisah Rasulullah Menerima Wahyu

Kisah Rasulullah Menerima Wahyu

Kisah Rasulullah Menerima Wahyu


Paket Umroh Akhir Tahun 2016 Travel Alhijaz Indowisata
Diantara kejadian dan sikapnya yang sangat mulia ialah sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

“Pertama kali yang nampak pada Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam dari wahyu ialah memperoleh mimpi yang baik tatkala tidur. Adalah beliau, ketika tidur tidaklah melihat sebuah mimpi melainkan pada keesokan harinya pasti melihat kejadian yang sama seperti apa yang dilihatnya didalam mimpi tersebut….. kemudian di ceritakan pada akhir hadits ini: “Maka beliau langsung pulang dalam keadaan ketakutan, lalu masuk kedalam rumah menemui istrinya Khadijah binti Khuwailid sembari mengatakan padanya: ‘Selimuti aku, selimuti aku’. Maka Khadijah menyelimutinya sampai rasa cemas yang ada pada diri Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam hilang. Setelah itu beliau menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya kepada Khadijah, seraya mengadu padanya: ‘Sungguh aku sangat khawatir terhadap keselamatan diriku”.  Lalu Khadijah menjawab: “Sungguh tidak, demi Allah. Allah tidak akan mencelakaimu, sesungguhnya engkau adalah orang yang suka menyambung tali silaturahim, membantu orang, menyantuni fakir, memuliakan tamu, dan senang membantu”.

Lalu beliau dibawa pergi oleh Khadijah ketempat Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, anak dari paman Khadijah. Dan Waraqah ini adalah seorang yang beragama Nashrani pada zaman Jahiliyah, beliau biasa menulis kitab dengan bahasa Ibrani, dirinya menulis Injil dengan bahasa Ibrani sesuai yang Allah kehendaki, beliau seorang yang sudah tua lagi buta. Maka Khadijah menceritakan padanya, lalu mengatakan: ‘Wahai anak pamanku, dengarlah kisah apa yang akan dikatakan oleh anak sudaramu’.

Waraqah lalu mengatakan pada Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam: ‘Wahai anak saudaraku! Apa yang engkau lihat? Maka Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam menceritakan kejadian yang beliau alami. Setelah selesai Waraqah berkata padanya: ‘Ini adalah Namus yang telah Allah utus kepada Nabi Musa. Duhai sekiranya aku masih kuat pada saat itu, aduhai sekiranya aku masih hidup tatkala kaum mu mengusirmu’. Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam merasa heran lalu menanyakan padanya: ‘Apakah mereka akan mengusirku? Ia, jawabnya. Tidak ada seorang pun yang datang dengan membawa seperti apa yang engkau bawa, melainkan pasti akan mendapat cobaan, kalau seandainya aku menjumpai hari dimana kamu diusir, pasti aku akan membela serta menolongmu’. Setelah itu, tidak selang berapa lama Waraqah meninggal lalu wahyu terputus“. HR Bukhari no: 3, Muslim no: 160.

Diantara kisah beliau yang terpuji adalah keikutsertaanya bersama Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam suka maupun duka. Turut bersama Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan sulit tatkala di isolir oleh kaumnya, hingga sampai pada kondisi yang sangat memprihatinkan dalam kehausan dan kelaparan, hingga disebutkan oleh sebagian sejarawan sampai-sampai kaum muslimin pada saat itu memakan daun pepohonan. Dan pada tahun tatkala embargo tersebut diakhiri beliau meninggal.

Khadijah radhiyallahu ‘anha adalah wanita terbaik yang ada pada umat ini, sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita: ‘Aku pernah mendengar Ali ketika di Kufah beliau mengatakan: ‘Aku pernah mendengar Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Wanita terbaik yang pernah ada ialah Maryam putri Imran dan Khadijah“. HR Bukhari no: 3432. Muslim no: 2430.

Beliau termasuk wanita yang paling dicintai oleh Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta seringkali menunaikan haknya. Diterangkan dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

“Aku tidak pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi melebihi kecemburuanku terhadap Khadijah, dan aku belum pernah berjumpa dengannya. Akan tetapi, beliau sering sekali menyebutnya. Terkadang beliau menyembelih kambing lalu memotong-motong dan mengirim pada teman-teman Khadijah. Sampai pernah aku mengatakan padanya: ‘Seakan-akan tidak ada wanita lain didunia ini kecuali Khadijah’. Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya dia itu wanita begini dan begitu, darinya aku dikarunia anak“. Dalam salah satu riwayat dikatakan: “Sesungguhnya aku di karunia buah hati darinya“. HR Bukhari no: 3818. Muslim no: 2434, 2435.

Masih dalam riwayat Bukhari dan Muslim dibawakan sebuah riwayat dari Aisyah, dia bercerita: ‘Pada suatu hari Halah binti Khuwailid saudari Khadijah meminta izin pada Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam untuk masuk kerumah, maka beliau menjadi teringat dengan suara istrinya Khadijah, dan beliau mengatakan: ‘Allahuma Halah binti Khuwailid’. Dari situ (kata Aisyah) timbul kecemburuanku, sehingga aku berkata: ‘Kenapa engkau selalu ingat pada wanita tua itu yang sudah mati, sudah tua, jompo lagi. Sedangkan engkau telah diganti oleh Allah dengan wanita yang lebih baik’. HR Bukhari no: 3821. Muslim no: 2437.

Dalam satu riwayat dikatakan:

“Allah belum pernah menggantikan yang lebih baik darinya. Dirinya telah beriman padaku tatkala manusia mengingkariku, dia mempercayaiku ketika orang lain mendustakanku, dirinya telah mengorbankan seluruh hartanya manakala orang lain mencegahnya dariku, dan dengannya Allah memberiku rizki anak tatkala hal itu tidak diberikan pada istri-istriku yang lainnya“. HR Ahmad 41/356 no: 24864.

Dan beliau meninggal pada bulan Ramadhan sepuluh tahun setelah kenabian, ada yang mengatakan; Delapan tahun, ada yang bilang tujuh tahun. Dirinya tinggal bersama Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam selama dua puluh lima tahun. Beliau dikubur di Hajun dan tahun kematiannya disebutkan dalam siroh Nabi dengan tahun kesedihan, dikarenakan kesedihan yang sangat dalam yang dirasakan oleh beliau ketika harus berpisah dengan istri tercintanya Khadijah, semoga Allah Shubhanhu wa ta’alla meridhoi ibunda kaum mukminin Khadijah, serta membalas segala kebaikkannya untuk Islam dan kaum muslimin, dengan sebaik-baik balasan.

Akhirnya kita tutup dengan memuji Allah Shubahanahu wa ta’ala, Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan merambah kepada keluarga beliau serta seluruh para sahabatnya.

Oleh: Syaikh  Amin bin Abdullah asy-Syaqawi

Diterjemahkan : Abu Umamah Arif Hidayatullah

Syahidnya Husain RA

Syahidnya Husain RA


-Tulisan berikut ini diterjemahkan dari tulisan dan sebagian ceramah Syaikh Utsman al-Khomis, seorang ulama yang terkenal sebagai pakar dalam pembahasan Syiah-.

Pembahasan tentang terbunuhnya cucu Rasulullalllah, asy-syahid Husein bin Ali ‘alaihissalam telah banyak ditulis, namun beberapa orang ikhwan meminta saya agar menulis sebuah kisah shahih yang benar-benar bersumber dari para ahli sejarah. Maka saya pun menulis ringkasan kisah tersebut sebagai berikut –sebelumnya Syaikh telah menulis secara rinci tentang kisah terbunuhnya Husein di buku beliau Huqbah min at-Tarikh-.

Pada tahun 60 H, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan wafat, penduduk Irak mendengar kabar bahwa Husein bin Ali belum berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah, maka orang-orang Irak mengirimkan utusan kepada Husein yang membawakan baiat mereka secara tertulis kepadanya. Penduduk Irak tidak ingin kalau Yazid bin Muawiyah yang menjadi khalifah, bahkan mereka tidak menginginkan Muawiyah, Utsman, Umar, dan Abu Bakar menjadi khalifah, yang mereka inginkan adalah Ali dan anak keturunannya menjadi pemimpin umat Islam. Melalui utusan tersebut sampailah 500 pucuk surat lebih yang menyatakan akan membaiat Husein sebagai khalifah.

Setelah surat itu sampai di Mekah, Husein tidak terburu-buru membenarkan isi surat itu. Ia mengirimkan sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk meneliti kebenaran kabar baiat ini. Sesampainya Muslim di Kufah, ia menyaksikan banyak orang yang sangat menginginkan Husein menjadi khalifah. Lalu mereka membaiat Husein melalui perantara Muslim bin Aqil. Baiat itu terjadi di kediaman Hani’ bin Urwah.

Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Yazid bin Muawiyah di ibu kota kekhalifahan, Syam, lalu ia mengutus Ubaidullah bin Ziyad menuju Kufah untuk mencegah Husein masuk ke Irak dan meredam pemberontakan penduduk Kufah terhadap otoritas kekhalifahan. Saat Ubaidullah bin Ziyad tiba di Kufah, masalah ini sudah sangat memanas. Ia terus menanyakan perihal ini hingga akhirnya ia mengetahui bahwa kediaman Hani’ bin Urwah adalah sebagai tempat berlangsungnya pembaiatan dan di situ juga Muslim bin Aqil tinggal.

Ubaidullah menemui Hani’ bin Urwah dan menanyakannya tentang gejolak di Kufah. Ubaidullah ingin mendengar sendiri penjelasan langsung dari Hani’ bin Urwah walaupun sebenarnya ia sudah tahu tentang segala kabar yang beredar. Dengan berani dan penuh tanggung jawab terhadap keluarga Nabi (Muslim bin Aqil adalah keponakan Nabi), Hani’ bin Urwah mengatakan, “Demi Allah, sekiranya (Muslim bin Aqil) bersembunyi di kedua telapak kakiku ini, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu!” Ubaidullah lantas memukulnya dan memerintahkan agar ia ditahan.

Mendengar kabar bahwa Ubaidullah memenjarakan Hani’ bin Urwah, Muslim bin Aqil bersama 4000 orang yang membaiatnya mengepung istana Ubaidullah bin Ziyad. Pengepungan itu terjadi di siang hari.

Ubaidullah bin Ziayd merespon ancaman Muslim dengan mengatakan akan mendatangkan sejumlah pasukan dari Syam. Ternyata gertakan Ubaidullah membuat takut Syiah (pembela) Husein ini. Mereka pun berkhianat dan berlari meninggalkan Muslim bin Aqil hingga tersisa 30 orang saja yang bersama Muslim bin Aqil, dan belumlah matahari terbenam hanya tersisa Muslim bin Aqil seorang diri.

Muslim pun ditangkap dan Ubaidullah memerintahkan agar ia dibunuh. Sebelum dieksekusi, Muslim meminta izin untuk mengirim surat kepada Husein, keinginan terakhirnya dikabulkan oleh Ubaidullah bin Ziyad. Isi surat Muslim kepada Husein adalah “Pergilah, pulanglah kepada keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh penduduk Kufah. Sesungguhnya penduduk Kufah telah berkhianat kepadamu dan juga kepadaku. Orang-orang pendusta itu tidak memiliki pandangan (untuk mempertimbangkan masalah)”. Muslim bin Aqil pun dibunuh, padahal saat itu adalah hari Arafah.

Husein berangkat dari Mekah menuju Kufah di hari tarwiyah. Banyak para sahabat Nabi menasihatinya agar tidak pergi ke Kufah. Di antara yang menasihatinya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Amr, saudara tiri Husein, Muhammad al-Hanafiyah dll.

Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang penasihat untukmu, dan aku sangat menyayangimu. Telah sampai berita bahwa orang-orang yang mengaku sebagai Syiahmu (pembelamu) di Kufah menulis surat kepadamu. Mereka mengajakmu untuk bergabung bersama mereka, janganlah engkau pergi bergabung bersama mereka karena aku mendengar ayahmu –Ali bin Abi Thalib- mengatakan tentang penduduk Kufah, ‘Demi Allah, aku bosan dan benci kepada mereka, demikian juga mereka bosan dan benci kepadaku. Mereka tidak memiliki sikap memenuhi janji sedikit pun. Niat dan kesungguhan mereka tidak ada dalam suatu permasalahan (mudah berubah pen.). Mereka juga bukan orang-orang yang sabar ketika menghadapi pedang (penakut pen.)’.

Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aku hendak menyampaikan kepadamu beberapa kalimat. Sesungguhnya Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian memberikan dua pilihan kepada beluai antara dunia dan akhirat, maka beliau memilih akhirat dan tidak mengiginkan dunia. Engkau adalah darah dagingnya, demi Allah tidaklah Allah memberikan atau menghindarkan kalian (ahlul bait) dari suatu hal, kecuali hal itu adalah yang terbaik untuk kalian”. Husein tetap enggan membatalkan keberangkatannya. Abdullah bin Umar pun menangis, lalu mengatakan, “Aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan”.

Setelah meneruskan keberangkatannya, datanglah kabar kepada Husein tentang tewasnya Muslim bin Aqil. Husein pun sadar bahwa keputusannya ke Irak keliru, dan ia hendak pulang menuju Mekah atau Madinah, namun anak-anak Muslim mengatakan, “Janganlah engkau pulang, sampai kita menuntut hukum atas terbunuhnya ayah kami”. Karena menghormati Muslim dan berempati terhadap anak-anaknya, Husein akhirnya tetap berangkat menuju Kufah dengan tujuan menuntut hukuman bagi pembunuh Muslim.

Bersamaan dengan itu Ubaidullah bin Ziyad telah mengutus al-Hurru bin Yazid at-Tamimi dengan membawa 1000 pasukan untuk menghadang Husein agar tidak memasuki Kufah. Bertemulah al-Hurru dengan Husein di Qadisiyah, ia mencoba menghalangi Husein agar tidak masuk ke Kufah. Husein mengatakan, “Celakalah ibumu, menjauhlah dariku”. Al-Hurru menjawab, “Demi Allah, kalau saja yang mengatakan itu adalah orang selainmu akan aku balas dengan menghinanya dan menghina ibunya, tapi apa yang akan aku katakan kepadamu, ibumu adalah wanita yang paling mulia, radhiallahu ‘anha”.

Saat Husein menginjakkan kakinya di daerah Karbala, tibalah 4000 pasukan lainnya yang dikirim oleh Ubaidullah bin Ziyad dengan pimpinan pasukan Umar bin Saad. Husein mengatakan, “Apa nama tempat ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Kemudian Husein menanggapi, “Karbun (musibah) dan balaa’ (bencana).”

Melihat pasukan dalam jumlah yang sangat besar, Husein radhiallahu ‘anhu menyadari tidak ada peluang baginya. Lalu ia mengatakan, “Aku ada dua alternatif pilihan, (1) kalian mengawal (menjamin keamananku) pulang atau (2) kalian biarkan aku pergi menghadap Yazid di Syam.

Engkau pergi menghadap Yazid, tapi sebelumnya aku akan menghadap Ubaidullah bin Ziyad terlebih dahulu kata Umar bin Saad. Ternyata Ubadiullah menolak jika Husein pergi menghadap Yazid, ia menginginkan agar Husein ditawan menghadapnya. Mendengar hal itu Husein menolak untuk menjadi tawanan.

Terjadilah peperangan yang sangat tidak imbang antara 73 orang di pihak Husein berhadapan dengan 5000 pasukan Irak. Kemudian 30 orang pasukan Irak dipimpin oleh al-Hurru bin Yazid at-Tamimi membelot dan bergabung dengan Husein. Peperangan yang tidak imbang itu menewaskan semua orang yang mendukung Husein, hingga tersisa Husein seorang diri. Orang-orang Kufah merasa takut dan segan untuk membunuhnya, masih tersisa sedikit rasa hormat mereka kepada darah keluarga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ada seorang laki-laki yang bernama Amr bin Dzi al-Jausyan –semoga Allah menghinakannya- melemparkan panah lalu mengenai Husein, Husein pun terjatuh lalu orang-orang mengeroyoknya, Husein akhirnya syahid, semoga Allah meridhainya. Ada yang mengatakan Amr bin Dzi al-Jausyan-lah yang memotong kepala Husein sedangkan dalam riwayat lain, orang yang menggorok kepala Husein adalah Sinan bin Anas, Allahu a’lam. Yang perlu pembaca ketauhi Ubaidullah bin Ziyad, Amr bin Dzi al-Jausyan, dan Sinan bin Anas adalah pembela Ali (Syiah nya Ali) di Perang Shiffin.

Ini adalah sebuah kisah pilu yang sangat menyedihkan, celaka dan terhinalah orang-orang yang turut serta dalam pembunuhan Husein dan ahlul bait yang bersamanya. Bagi mereka kemurkaan dari Allah. Semoga Allah merahmati dan meridhai Husein dan orang-orang yang tewas bersamanya. Di antara ahlul bait yang terbunuh bersama Husein adalah:

-          Anak-anak Ali bin Abi Thalib: Abu Bakar, Muhammad, Utsman, Ja’far, dan Abbas.

-          Anak-anak Husein bin Ali: Ali al-Akbar dan Abdullah.

-          Anak-anak Hasan bin Ali: Abu Bakar, Abdullah, Qosim.

-          Anak-anak Aqil bin Abi Thalib: Ja’far, Abdullah, Abdurrahman, dan Abdullah bin Muslim bin Aqil.

-          Anak-anak dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib: ‘Aun dan Muhammad.

Dari Ummu Salamah bawasanya Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “…Jibril mengatakan, “Apakah engkau mencintai Husein wahai Muhammad?” Nabi menjawab, “Tentu” Jibril melanjutkan, “Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Kalau engkau mau, akan aku tunjukkan tempat dimana ia akan terbunuh.” Kemudian Nabi diperlihatkan tempat tersebut, sebuah tempat yang dinamakan Karbala. (HR. Ahmad dalam Fadhailu ash-Shahabah, ia mengatakan hadis ini hasan). Adapun berita-berita bahwa langit menurunkan hujan darah, dinding-dinding berdarah, batu yang diangkat lalu di bawahnya terdapat darah, dll. karena sedih dengan tewasnya Husein, berita-berita ini tidak bersumber dari rujukan yang shahih.

Benarkah Sikap Husein ‘alaihissalam Pergi ke Irak?

Tidak ada kemaslahatan dalam hal dunia maupun akhirat dari sikap Husein ‘alaihissalam yang keluar menuju Irak. Oleh karena itu, banyak sahabat Nabi yang berusaha mencegahnya dan melarangnya berangkat ke Irak. Husein pun menyadari hal itu dan ia sempat hendak pulang, namun anak-anak Muslim bin Aqil memintanya mengambil sikap atas terbunuhnya ayah mereka. Husein dengan penuh tanggung jawab tidak lari dari permasalahan ini. Dari peristiwa ini tampaklah kezaliman dan kesombongan orang-orang Kufah (Syiah-nya Husein) terhadap ahlul bait Nabi ‘alaihumu ash-shalatu wa salam.

Sekiranya Husein ‘alaihissalam menuruti nasihat para sahabat tentu tidak terjadi peristiwa ini, akan tetapi Allah telah menetapkan takdirnya. Terbunuhnya Husein ini tentu saja tidak sebesar peristiwa terbunuhnya para Nabi, semisal dipenggalnya kepala Nabi Yahya oleh seorang raja, karena calon istri raja tersebut meminta kepala Nabi Yahya bin Zakariya sebagai mahar pernikahan. Demikian juga dibunuhnya Nabi Zakariya oleh Bani Israil, dan nabi-nabi lainnya. Demikian juga dengan dibunuhnya Umar dan Utsman. Semua kejadian itu lebih besar dibanding dengan peristiwa dibunuhnya Husein ‘alaihissalam.

 Bagaimana Sikap Kita Terhadap Peristiwa Karbala?

Tidak diperbolehkan bagi umat Islam, apabila disebutkan tentang kematian Husein, maka ia meratap dengan memukul-mukul pipi atau merobek-robek pakaian, atau bentuk ratapan yang semisalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami, orang-orang yang menampar-nampar pipi dan merobek saku bajunya.” (HR. Bukhari).

Seorang muslim yang baik, apabila mendengar musibah ini hendaknya ia mengatakan sebuah kalimat yang Allah tuntunkan dalam firman-Nya,

“Orang-orang yang apabila mereka ditimpa musibah, mereka mengtakan sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami akan kembali.” (QS. Al-Baqarah: 155)

Tidak pernah diriwayatkan bahwa Ali bin Husein atau putranya Muhammad, atau Ja’far ash-Shadiq atau Musa bin Ja’far radhiallahu ‘anhum, para imam dari kalangan ahlul bait maupun selain mereka pernah memukul-mukul pipi mereka, atau merobek-robek pakaian atau berteriak-teriak, dalam rangka meratapi kematian Husein. Tirulah mereka kalau engkau tidak bisa serupa dengan mereka, karena meniru orang-orang yang mulia itu adalah kemuliaan.

Tidak seperti orang-orang yang mengaku Syiah (pembela) Husein, Syiahnya ahlul bait Nabi pada hari ini, mereka merusak anggota tubuh, memukul kepala dan tubuh dengan pedang dan rantai, mereka katakan kami bangga menyucurkan darah bersama Husein. Demi Allah, sekiranya mereka berada pada hari dimana Husein terbunuh mereka akan turut serta dalam kelompok pembunuh Husein karena mereka adalah orang-orang yang selalu berhianat.

Posisi Yazid Dalam Peristiwa Ini

Dalm permasalahan ini, Yazid sama sekali tidak turut campur. Aku mengakatakan hal ini bukan untuk membela Yazid tetapi hanya untuk mendudukan permasalahan yang sebenarnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk membunuh Husein. Ini adalah kesepatakan para ahli sejarah. Yazid hanya memerintahkan Ubaidullah bin Ziyad agar mencegah Husein untuk memasuki wilayah Irak. Ketika Yazid mendengar tewasnya Husein, Yazid pun terkejut dan menangis. Setelah itu Yazid memuliakan keluarga Husein dan mengamankan anggota keluarga yang tersisa sampai ke daerah mereka. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Yazid merendahkan perempuan-perempuan ahlul bait lalu membawa mereka ke Syam, ini adalah riwayat yang batil. Bani Umayyah (keluarga Yazid) selalu memuliakan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah).

Sebelumnya Yazid telah mengirim surat kepada Husein ketika di Mekah, ternyata saat surat itu tiba Husein telah berangkat menuju Irak. Surat itu berisikan syair dari Yazid untuk melunakkan hati Husein agar tidak berangkat ke Irak dan Yazid juga menyatakan kedekatan kekerabatan mereka. Bibi Yazid, Ummu Habibah adalah istri Rasulullah dan kakek (Jawa: mbah buyut) Yazid dan Husein adalah saudara kembar.

Kepala Husein

Tidak ada riwayat yang shahih yang menyatakan bahwa kepala Husein dikirim kepada Yazid di Syam. Husein tewas di Karbala dan kepalanya didatangkan kepada Ubaidullah bin Ziyad. Tidak diketahui dimana makamnya dan makam kepalanya.

Wallahu Ta’ala a’la wa a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.

Sumber: almanhaj.net

Baca juga artikel menarik lainnya: Nabi Muhammad Meminta Syafaat Untik Seluruh Umat

Nabi Muhammad Meminta Syafaat Untuk Seluruh Umat

Nabi Muhammad Meminta Syafaat Untuk Seluruh Umat


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Saya adalah pemimpin semua orang pada hari kiamat. Tahukah kalian sebabnya apa? Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang akhir di suatu dataran tinggi. Mereka dapat dilihat oleh orang yang melihat dan dapat mendengar orang yang memanggil. Matahari dekat sekali dari mereka. Semua orang mengalami kesusahan dan penderitaan yang mereka tidak mampu memikulnya. Lantas orang-orang berkata, ‘Apakah kalian tidak tahu sampai sejauh mana yang kalian alami ini? Apakah kalian tidak memikirkan siapa yang dapat memohonkan syafaat kepada Rabb untuk kalian?’ Lantas sebagian orang berkata kepada sebagian lain, ‘Ayah kalian semua, Nabi Adam ‘alaihissalam’.

Mereka pun mendatangi beliau, lalu mereka berkata, ‘Wahai Nabi Adam! Engkau adalah ayah semua manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakanmu dengan kekuasaan-Nya dan meniupkan ruh-Nya ke dalam tubuhmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud, sehingga mereka pun bersujud kepadamu. Di samping itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tempat tinggal kepadamu di surga. Sudilah kiranya engkau memohonkan syafaat kepada Rabbmu untuk kami? Bukankah engkau tahu apa yang kami alami dan sampai sejauh apa menimpa kami?’ Nabi Adam ‘alaihissalam menjawab, ‘Sungguh hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya. Sungguh, Dia melarangku akan suatu pohon, tetapi saya berbuat maksiat. Diriku, diriku, diriku. Pergilah ke selain aku. Pergilah kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam’.

Lantas mereka mendatangi Nabi Nuh ‘alaihissalam, lalu mereka berkata, ‘Wahai Nuh! Engkaulah Rasul pertama di muka bumi ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebut dirimu hamba yang banyak bersyukur. Bukankah engkau mengetahui apa yang sedang kita alami sekarang? Sudilah kiranya engkau memohonkan syafaat kepada Rabbmu untuk kami?’ Nabi Nuh ‘alaihissalam menjawab, ‘Sungguh, hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya. Sungguh, saya mempunyai suatu dosa mustajab yang telah saya gunakan untuk mendoakan kebinasaan pada kaumku. Diriku, diriku, diriku, pergilah ke selain aku. Pergilah pada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam’.

Kemudian mereka pun mendatangi Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, lalu mereka bertanya, ‘Wahai Ibrahim! Engkau adalah Nabi Allah dan kekasih Allah di antara penduduk bumi. Mohonkanlah syafaat kepada Rabbmu untuk kami. Bukankah engkau telah mengetahui keadaan yang sedang kami alami?’ Lalu Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menjawab, ‘Sungguh, hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya. Sesungguhnya saya pernah berdusta sebanyak tiga kali. Diriku, diriku, diriku, pergilah ke selain aku. Pergilah pada Nabi Musa ‘alaihissalam’.

Selanjutnya mereka mendatangi Nabi Musa ‘alaihissalam, lalu mereka berkata, ‘Wahai Nabi Musa! Engkau adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi keutamaan kepadamu dengan kerasulan dan kalam-Nya yang melebihi orang lain. Mohonkanlah syafaat kepada Rabbmu untuk kita. Bukankah engkau mengetahui keadaan yang sedang kita alami?’ Lantas Nabi Musa ‘alaihissalam menjawab, ‘Sungguh, hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya. Sungguh, saya pernah membunuh seorang manusia padahal saya tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Diriku, diriku, diriku, pergilah ke selain aku. Pergilah pada Nabi Isa ‘alaihissalam’.

Setalah itu, mereka pun mendatangi Nabi Isa ‘alaihissalam, lalu mereka berkata, ‘Wahai Nabi Isa! Engkau adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang diciptakan dengan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya. Engkau dapat berbicara dengan orang-orang ketika masih dalam buaian. Mohonkanlah syafaat kepada Rabbmu untuk kita. Bukankah engkau mengetahui keadaan yang sedang kita alami?’ Lantas Nabi Isa ‘alaihissalam menjawab, ‘Sungguh, hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya.’ Nabi Isa tidak menyebutkan dosa yang diperbuatnya. ‘Diriku, diriku, diriku, pergilah ke selain aku. Pergilah pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam’.

Lalu mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya mereka berkata, ‘Wahai Muhammad! Engkau adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan penutup para nabi. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan yang akan datang. Mohonkanlah syafaat kepada Rabbmu untuk kita. Bukankah engkau mengetahui keadaan yang sedang kita alami?’ Lantas saya berangkat hingga saya sampai di bawah Arsy. Kemudian saya bersujud kepada Rabbku. Lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala ajarkan padaku pujian-pujian kepada-Nya serta keindahan sanjungan terhadap-Nya yang belum pernah Dia ajarkan kepada selain diriku. Lalu dikatakan, ‘Wahai Muhammad! Angkatlah kepadamu. Ajukanlah permohonan, niscaya permohonanmu dikabulkan. Mohonlah syafaat, pastilah akan diterima syafaatmu.’ Selanjutnya aku mengangkat kepalaku, lalu saya berkata, ‘Ummatku, wahai Rabbku, umatku wahai Rabbku, ummatku wahai Rabbku!’ Lantas dikatakan, ‘Wahai Muhammad! Masukkanlah umatmu yang tidak peru dihisab dari pintu surga ke sebelah kanan. Mereka juga sama dengan orang-orang lain di selain pintu tersebut.’ Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Demi Dzat yang mengauasai diriku, sesungguhnya jarak anara dua daun pintu dari beberapa daun pintu surga sama dengan jarak antara Mekah dan Hajar atau antara Mekah dan Bushra’.”

(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah

Baca juga artikel menarik lainnya: Kisah Sujudnya Para Malaikat kepada Adam

Kisah Sujudnya Para Malaikat kepada Adam

Kisah Sujudnya Para Malaikat kepada Adam


Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menempatkan Adam dan anak keturunannya dalam kedudukan yang mulia, lebih mulia dari para makhluk-Nya yang lain. Salah satu bukti yang menunjukkan hal tersebut adalah setelah Allah menciptakan Adam, Allah perintahkan para malaikat untuk sujud kepada Adam ‘alaihi shalatu wa salam.

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)

Peristiwa sujudnya para malaikat kepada Adam terkadang menimbulkan polemik di sebagian umat Islam atau memang isu ini sengaja dilemparkan ke tengah-tengah umat Islam untuk menebar kerancuan dengan mempertanyakan “Mengapa Allah meridhai makhluk-Nya sujud kepada selain-Nya? Bukankah ini sama saja melegitimasi kesyirikan? Dan Iblis adalah hamba Allah yang benar-benar mentauhidkannya karena menolak untuk sujud kepada Adam”. Kurang lebih demikian kalimat rancu yang sering dibesar-besarkan oleh sebagian kalangan.

Yang perlu kita ketahui adalah para ulama membagi sujud ke dalam dua bagian; pertama, sujud ibadah dan yang kedua sujud (tahiyah) penghormatan.

Sujud ibadah hanya boleh dipersembahkan kepada Allah semata tidak boleh kepada selain-Nya. Allah tidak pernah memerintahkan satu pun dari makhluk-Nya untuk bersujud kepada selain-Nya dalam rangka untuk beribadah kepada makhluk tersebut. Para malaikat Allah perintahkan sujud kepada Adam bukan dalam rangka sujud ibadah tetapi sujud penghormatan.

Sujud penghormatan merupakan bagian dari syariat umat-umat terdahulu, kemudian amalan ini diharamkan dengan diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara contoh sujud penghormatan adalah sujudnya para malaikat kepada Nabi Adam ‘alaihissalam. Demikian juga mimpi Nabi Yusuf yang ia ceritakan kepada Ayahnya Nabi Ya’qub lalu mimpi itu menjadi kenyataan. Di dalam surat Yusuf dikisahkan,

(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” (QS. Yusuf: 4)

Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan berkata Yusuf, “Wahai ayahku inilah ta´bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan…” (QS. Yusuf: 100)

Inilah di antara contoh-contoh sujud penghormatan yang merupakan bagian dari syariat umat terdahulu.

Pengalaman serupa juga pernah terjadi kepada Muadz bin Jabal tatkala melihat ahlul kitab di Syam. Tatkala pulang dari Syam, Muadz sujud di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

“Apa-apaan ini, wahai Mu’adz?” Muadz menjawab, “Aku baru datang dari Syam. Yang kulakukan ini serupa dengan mereka, (orang-orang di sana) mereja sujud untuk uskup dan pendeta-pendeta mereka. Aku pun berkeinginan melakukannya kepadamu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jangan kau lakukan. Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud, maka akan kuperintahkan istri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR Ibnu Majah, No. 1853).

Apa yang dilakukan penduduk Syam adalah contoh dari syariat terdahulu yang masih mereka amalkan, mereka sujud kepada pemuka-pemuka agama dan tokoh-tokoh mereka sebagai penghormatan untuk para pembesar tersebut, bukan untuk menyembah mereka.

Di antara contoh lainnya juga, ada seekor hewan melata yang sujud kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau melarangnya karena sujud kepada makhluk, baik itu sujud penghormatan terlebih lagi sujud untuk ibadah, haram hukumnya dalam syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam timbangan syariat Muhammad (baca: syariat Islam) sujud penghormatan sama saja dengan sujud ibadah, haram hukumnya apabila dipersembahkan kepada selain Allah.

Pelajaran lainnya yang dapat kita petik dari peristiwa sujudnya para malaikat kepada Nabi Adam ‘alaihissalam adalah, iblis termasuk dari bangsa jin bukan dari golongan malaikat sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang.

Malaikat diciptakan dari cahaya, sedangkan bangsa jin termasuk iblis, Allah ciptakan dari api. Allah berfirman,


Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya…” (QS. Al-Kahfi: 50)

Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “Saya lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. Al-A’raf: 12)

Dengan demikian iblis bukanlah dari golongan malaikat, saat itu ia hanya bersama dengan para malaikat Allah yang taat. Ada yang menyatakan, dahulu iblis adalah bangsa jin yang taat kepada Allah. Inilah alasannya ia dimuliakan dengan dikumpulkan bersama para malaikat walaupun ia bukan malaikat. Namun akhirnya sifat sombongnya terlihat di hadapan para malaikat, tatkala Allah mengujinya dengan memerintahkan untuk sujud kepada Adam.

Sumber: Fabihudahum Iqtadir

Baca juga artikel menarik lainnya: Keutamaan Utsman bin Affan

Popular Posts

Category

Arsip Blog