ALHIJAZ INDOWISATA TRAVEL | PAKET UMROH MURAH PROMO 2016 2017 - INFO HARGA BIAYA UMROH MURAH - HAJI ONH PLUS - HAJI BATAL GANTI

Tlp. 021-91693870 | Telkomsel. 081219395680 | Indosat. 085743682680 | PIN BB. 7CF96624

Umroh Murah| Umroh Promo | Travel Umroh Murah Promo Jakarta | Umroh Murah Awal Ramadhan, Akhir Ramadhan 2016 | Info Harga Paket Umroh Murah Promo 2016 2017

Paket Umroh Murah Promo 2016 2017 | Harga Umroh Promo Murah 2016 | Info Biro Travel Umroh Murah Promo Jakarta | Jadwal Keberangkatan Wisata Umroh Murah Promo 2016 2017

Khalid bin Walid

Khalid bin Walid


Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakan kemenangan pada kaum muslimin dalam memerangi orang-orang murtad dan orang yang enggan membayar zakat, Abu Bakar ash-Shiddiq menyadari bahwa bahaya besar yang selalu mengancam daulah Islam yang berada di perbatasan wilayah muslimin, yaitu Persia di Irak dan Romawi di daerah Syam. Oleh karena itu, ash-Shiddiq segera memerintahkan saifullah Khalid bin Walid untuk berangkat bersama pasukannya menuju Irak.

Sang pejuang Islam pun berangkat ke Irak. Ia mulai dengan operasi mengirim surat kepada seluruh gubernur bawahan Kisra dan wakil-wakilnya di berbagai kota dan pelosok daerah Irak. Ia ajak mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan masuk ke dalam Islam. Jika tidak mau, mereka mesti membayar jizyah atau pilihan terakhir yaitu perang.

Mata-mata yang disebarkannya di berbagai tempat melaporkan tentang jumlah pasukan yang sangat banyak yang telah disiapkan oleh pemimpin-pemimpin Persia di Irak. ‘Pedang Allah yang terhunus’ tidak menyia-nyiakan waktunya. Ia segera mempersiapkan pasukannya untuk menghancurkan kebatilan dan seolah-olah bumi dilipatkan untuknya secara sangat menakjubkan.

Dari pertempuran Dzat as-Salasil dan terbunuhnya Hurmuz – eorang panglima pasukan perisa– di tangan Khalid bin Walid menuju pertempuran al-Madzar, lalu pertempuran al-Walijah, pertempuran Ullais, pertempuran Umighyasyiyya, kemudian penaklukan al-Hirah –ibu kota Persia di Irak– lalu pertempuran al-Anbar, pertempuran Ain at-Tamar, lalu menaklukkan Daumat Jandal di mana rajanya melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian pertempuran Khanafis, pertempuran al-Hashid, pertempuran al-Mudhayyah, dan pertempuran al-Firadh.

Setiap saifullah, Khalid bin Walid, meraih satu kemenangan yang membanggakan seluruh kaum muslimin, ia segera disambut oleh kemenangan lain yang lebih besar dan lebih hebat. Belum sempat Persia bangun dari sebuah kekalahan telak, mereka kembali menderita kekalahan yang jauh lebih telak dan menyakitkan di hadapan pahlawan Islam yang tak terkalahkan.

Khalid bin Walid mengirim kabar gembria dan seperlima dari harta rampasan perang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq. Ash-Shiddiq sangat gembira mendapat kabar tersebut. Lalu ia berkhotbah di depan para sahabat sambil memuji dan mengakui kejeniusan Khalid bin Walid dalam strategi perang yang luar biasa, dan ash-Shiddiq lebih tahu dengan tokoh-tokoh yang telah ditunjuknya. Ia berkata, “Wahai sekalian kaum Quraisy, sesungguhnya ‘singa’ kalian telah mengalahkan singa yang sesungguhnya, lalu ia merobek-robek dagingnya. Tak akan ada lagi wanita yang mampu melahirkan sosok seperti Khalid bin Walid.”
Petualangan yang Berbahaya

Khalid bin Walid menjadikan Hirah sebagai markas (pangkalan militer) utama di Irak. Dari sana ia mulai bergerak jika ingin terjun ke sebuah peperangan dan ke sana ia akan kembali jika situasi sudah tenang. Setelah selesai dari pertempuran Firadh dan daerah-daerah perbatasan Syam sudah ditaklukkan, ia menginstruksikan pasukannya untuk kembali ke Hirah. Ia memerintahkan Ashim bin Amru untuk mengomandokan barisan depan pasukan dan Syajarah Ibnul A’azz untuk mengomandokan barisan bagian belakang. Khalid sendiri berjalan di bagian belakang pasukan.”

Pasukan mulai bergerak dengan membawa segala peralatan dan perangkat perang yang berat-berat. Di sini Khalid melakukan sebuah petualangan yang sangat berbahaya. Dengan beberapa orang-orang dekatnya ia pergi ke Masjid Haram untuk melaksanakan ibadah haji. Ia pergi ke Mekah dengan melewati jalan yang belum pernah ditempuh sebelumnya. Ia melewati padang pasir yang sangat sulit dan melalui jalan yang sangat berbahaya. Akhirnya ia sampai di Mekah dan berhasil melaksanakan ibadah haji tahun itu.

Setelah itu ia segera kembali ke dalam barisan pasukan (bagian belakang) sebelum mereka sampai di Hirah. Tak ada yang menyadari petualangan dan ibadah haji yang dilakukan oleh Khalid selain beberapa orang yang ikut bersamanya.
Menaklukkan Wilayah-Wilayah Romawi

Abu bakar ash-Shiddiq menyiapkan pasukan yang sangat banyak untuk menaklukkan Romawi. Ia telah memilih sahabat-sahabat terbaik untuk memimpin pasukan-pasukan tersebut. Di antaranya adalah Abu Ubaidah ibnul Jarrah radhiallahu ‘anhu, Amru bin Ash radhiallahu ‘anhu, Yazid bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu, dan Syuhrabil bin Hasanah radhiallahu ‘anhu.

Ketika berita tentang pasukan kaum muslimin sampai ke telinga Heraklius, pengauasa Romawi, ia menyarankan kepada para menteri dan panglima-panglimanya untuk berdamai dengan kaum muslimin dan tidak berperang. Tapi, para menteri dan panglimanya tidak mau menerima saran itu. Mereka bersikeras untuk tetap berperang. Mereka lalu menghimpun pasukan yang jumlahnya mencapai 240.000 prajurit.

Pasukan Romawi berhenti di sebuah lemah dan berkemah di pinggir lembah tersebut. Mereka menjadikan lembah itu sebagai parit yang membatasi mereka dengan kaum muslimin. Akhirnya kaum muslimin mengepung mereka selama tiga bulan. Kedua pasukan sama-sama tidak bisa saling menyerang. Ketika pengepungan tersebut cukup lama dan cukup berat bagi kaum muslimin, mereka mengirim surat kepada Khalifah untuk mengabarkan jumlah pasukan Romawi yang sangat banyak dan meminta bantuan pada Khalifah.

Setelah ash-Shiddiq membaca surat dari para komandan tersebut, segera terlintas dalam pikirannya nama seorang pembungkam kaum murtad, penakluk Irak dan membersihkannya dari Persia, pedang Allah yang selalu terhunus, dan pahlawan yang tak terkalahkan, yaitu Khalid bin Walid radhiallahu ‘anhu. Wajah Khalifah segera bersinar. Ia berkata dalam hati, “Khalid yang cocok untuk tugas ini. Demi Allah, aku akan membuat bangsa Romawi melupakan bisikan-bisikan setan dengan kedatangan Khalid bin Walid.”

Ash-Shiddiq menulis surat kepada Khalid bin Walid. Dalam surat itu ia menyayangkan petualangan Khalid yang berbahaya tapi sekaligus memberi selamat atas kemenangannya. Khalifah juga mengingatkan dan memberinya nasihat lalu memotivasinya untuk membantu saudara-saudaranya para komandan perang di Syam dan menyempurnakan nikmat Allah terhadapnya dengan menaklukkan Syam sebagaimana ia telah menaklukkan Irak, serta dengan menghancurkan kekuatan Romawi sebagaimana ia telah menghancurkan kekuatan Persia.

Khalifah menulis kepadanya, “Berangkatlah sampai engkau berjumpa dengan pasukan kaum muslimin di Yarmuk karena sesungguhnya mereka sekarang dalam keadaan sedih dan gelisah. Tapi jangan lakukan lagi apa yang telah engkau lakukan karena sesungguhnya –dengan pertolongan Allah– tak seorang pun yang dapat membuat pasukan gelisah seperti halnya dirimu dan tak seorang pun yang dapat menghilangkan kecemasan dari pasukan selain dirimu. Semoga niat yang baik dan kemenangan selalu menyertaimu, wahai Abu Sulaiman. Maka, sempurnakanlah (perjuangan) dan semoga Allah menyempurnakan (nikmat-Nya) untukmu. Jangan sampai kesombongan merasuki dirimu yang akan membuatmu merugi dan hina. Jauhi dirimu dari menyebut-nyebut amal karena hanya Allah yang berhak menyebut-nyebut karunia-Nya dan Dia-lah yang berhak memberi balasan.”

Khalifah melanjutkan, “Berangkatlah sampai engkau tiba di Syam. Di sana engkau akan bertemu Abu Ubaidah ibnul Jarrah bersama pasukannya. Apabila engkau berjumpa dengan mereka maka engkaulah yang memimpin seluruh pasukan. Wassalamu alaikum warahmatullah.”
Iman dan Etika yang Mulia

Khalid bin Walid menaati perintah Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia amanahkan wilayah Irak kepada Mutsanna bin Haritsah. Bersama pasukannya. Ia bergerak menuju posisi pasukan muslimin di wilayah Syam.

Sebelumnya, ia telah mengobarkan semangat dan mengokohkan iman seluruh pasukannya. Ia berkata, “Jangan sampai semangat juang kalian berbeda dan jangan sampai keyakinan kalian lemah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya pertolongan itu datang sesuai dengan niat yang terhunjam dan pahala akan diberikan sesuai dengan tingkat keikhlasan. Sesungguhnya seorang muslim tidak sepantasnya membanggakan sesuatu yang ia lakukan karena itu semua atas pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Kata-kata itu telah memberikan pengaruh yang besar dalam jiwa kaum muslimin sebagaimana yang diharapkan oleh Khalid bin Walid. Dengan semangat luar biasa mereka melintasi padang pasir yang sangat gersang. Khalid sendiri semakin bertambah keyakinan dan semangatnya saat menyaksikan semangat pasukannya dalam berkorban.

Ia berpikir tentang kondisi kaum muslimin yang sedang terdesak oleh pasukan Romawi yang berjumlah lebih besar dan memilki persenjataan yang lebih lengkap. Ia juga berpikir tentang Amin al-Ummah (orang kepercayaan umat), Abu Ubaidah ibnul Jarrah, yang sedang memimpin pasukan Islam di sana. Khalid berpendapat untuk memberi tahu mereka tentang datangnya bantuan yang akan memberikan ketenangan dan kedamaian di dalam jiwa pasukan muslimin yang berada di Syam.

Ia juga berpikir –setelah Khalifah mengamanahkan kepadanya komando umum pasukan dan mengutusnya untuk membawahi komandan-komandan pasukan di Syam– untuk menyampaikan kepada Abu Ubaidah bahwa ia sangat menyadari dan mengakui posisi dan derajatnya di tengah-tengah kaum muslimin. Maka Khalid mengirim dua pucuk surat, satunya ia kirim untuk seluruh pasukan kaum muslimin di Syam yang berbunyi,

“Amma ba’du, sesungguhnya surat Khalifah telah sampai kepadaku dan menyuruhku untuk bergerak menuju kalian dan aku sudah siaga serta akan segera sampai. Jika sudah kalian tangkap bayang-bayang kudaku, maka bergembiralah untuk menyempurnakan janji Allah dan pahala yang besar dari sisi-Nya. Semoga Allah menjaga kita semua dengan keyakinan yang kuat dan membalasi kita dengan pahala mujahid terbaik.”

Surat kedua ia kirim langsung secara khusus pada Abu Ubaidah,

“Amma ba’du, sesungguhnya aku berdoa kepada Allah untuk menurunkan kepada kita rasa aman di hari penuh kecemasan dan terpelihara dari segala yang buruk di dunia ini. Surat Khalifah telah datang kepadaku yang berisi perintah agar aku segera bergerak menuju Syam dan mengomandokan seluruh pasukan. Demi Allah, aku tak pernah meminta hal itu dan tidak pula aku menginginkannya ketika aku diserahkan amanah tersebut. Maka tetaplah engkau pada posisimu saat ini, kami tidak akan melanggar perintahmu atau menyalahimu dan kami tidak akan memutuskan sesuatu tanpa konsultasi denganmu karena engkaulah pemimpin kaum muslimin. Kami tidak akan memungkiri kemuliaan dan kelebihanmu dan kami tidak akan mengabaikan pendapatmu. Semoga Allah menyempurnakan niat kita semua dengan lebih baik dan memelihara kita dari terjerumus ke dalam neraka. Wassalamu alaikum warahmatullah.”

Setelah Abu Ubaidah ibnul Jarrah membaca surat dari Khalid ia berkata, “Semoga Allah memberkahi pendapat dan keputusan Khalifah dan semoga Allah memuliakan Khalid.” Kemudian ia melanjutkan, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‘Khalid adalah pedang di antara pedang-pedang Allah. Ia adalah pemuda terbaik dalam sebuah keluarga.”
Pertempuran Yarmuk

Seluruh pasukan muslimin berkumpul setelah komando dipegang oleh Khalid bin Walid radhiallahu ‘anhu. Kemudian ia berpidato di depan mereka, “Sesungguhnya ini adalah satu hari di antara hari-hari Allah, tidak sepantasnya ada kesombongan dan kezaliman. Ikhlaskan niat jihad kalian dan tujuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amal kalian!” Setelah itu, sang pahlawan yang tak terkalahkan ini memegang tali kekang kudanya lalu mengangkat panji tinggi-tinggi seraya menyerukan pekikan jihad, “Allahu akbar! Bertiuplah angin surga.”

Peperangan berlangsung dengan sangat sengitnya. Tak ada bandingnya. Pasukan Romawi terjun berpeleton-peleton bagaikan gunung. Mereka menghadapi perlawanan dari kaum muslimin yang tidak mereka duga-duga sebelumnya. Pasukan muslimin memperlihatkan potret perjuangan dan pengorbanan yang sangat mencengangkan dari prajurit-prajurit yang berani mengorbankan jiwa mereka dan juga dari kekokohan semangat mereka. Pertempuran Yarmuk telah menjadi arena yang jarang ditemukan bagi para fida’iy (prajurit yang berani mati syahid).

Kejeniusan Khalid telah mencengangkan pemimpin dan komandan-komandan pasukan Romawi. Hal itu membuat salah seorang di antara mereka bernama Jurjah/George mengundang Khalid pada salah satu masa istirahat perang. Ketika keduanya sudah bertemu, komandan pasukan Romawi itu bertanya kepada Khalid, “Wahai Khalid, jawablah dengan jujur dan jangan berbohong karena seorang yang merdeka tidak akan berbohong dan jangan pula engkau tipu aku karena seorang yang mulia tidak akan menipu orang yang berharap secara baik-baik. Demi Allah, apakah Allah pernah menurunkan sebuah pedang dari langit kepada Nabi-Nya lalu diberikannya kepadamu sehingga setiap kali engkau hunuskan pada suatu kaum engkau pasti bisa mengalahkannya?”

Khalid menjawab, “Tidak.”

“Kalau demikian, kenapa engkau dijuluki pedang Allah?”

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus Nabi-Nya pada kami lalu ia menyeru kami, tapi kami lari dan menjauh darinya. Kemudian sebagian dari kami memercayai dan mengikutinya dan sebagian lagi menjauh dan mendustakannya. Mulanya aku termasuk yang mendustakan, menjauh, bahkan memeranginya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala melembutkan hati kami dan memberi kami petunjuk sehingga kami mengikutinya. Kemudian beliau bersabda, ‘Engkau adalah pedang di antara pedang-pedang Allah yang Dia hunuskan kepada kaum musyrikin’.”

“Engkau telah jujur,” kata komandan Romawi itu. Lalu ia melanjutkan, “Wahai Khalid, beritahukanku, kepada apa kalian mengajak?”

Khalid menjawab, “Kepada syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya serta membenarkan segala hal yang dibawanya dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Komandan Romawi itu mulai mendekati Khalid. Ia berkata, “Ajarkan aku Islam.”

Akhirnya Jurjah/George masuk Islam. Kemudian ia berwudhu dan shalat dua rakaat karena Allah. Hanya itu shalat yang sempat ia kerjakan. Tak berapa lama setelah itu, kedua pasukan kembali memulai peperangan. Jurjah, sang komandan Romawi itu, berperang mati-matian di barisan kaum muslimin untuk mengejar syahadah sampai akhirnya ia memperolehnya.

Perang berakhir dengan sangat hebat. Kaum muslimin di bawah komando Khalid bin Walid telah berhasil merebut kemenangan dari taring-taring Romawi dengan sangat mengagumkan.

Khalid menyerahkan kembali kepemimpinan kepada Amin al-Ummah, Abu Ubaidah ibnul Jarrah, setelah wafatnya Abu Bakar ash-Shiddiq dan naiknya Umar ibnul Khaththab sebagai Khalifah baru.

Khalid tetap menjadi seorang tentara yang jenius dan legendaris. Keikhlasannya tidak kurang dan semangatnya tak pernah melemah. Ia tak pernah kekurangan ide-ide hebat karena ia adalah pedang Allah dan seorang pejuang Islam sejati.
Wafatnya sang Pahlawan

Sekarang tibalah saatnya sang pahlawan untuk istrirahat. Bumi tak pernah menyaksikan sosok sepertinya yang membuat seorang ‘musuh’ tak bisa tenang. Tibalah saatnya bagi tubuhnya yang letih untuk beristirahat. Dialah yang disifati oleh sahabat dan musuhnya sebagai ‘seseorang yang tidak pernah tidur dan tidak membiarkan orang lain tidur.’

Tapi baginya, andaikan disuruh memilih tentu ia akan memilih agar usianya dipanjangkan oleh Allah beberapa tahun lagi untuk meneruskan perjuangan menghancurkan benteng-benteng kekafiran dan kemusyrikan serta melanjutkan amal dan jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di saat ajal akan menjemput Khalid bin Walid, ia menangis dengan pilu. Adalah sebuah tragedi baginya ketika hidupnya berakhir di atas kasur sementara ia telah menghabiskan usianya di atas punggung kuda dan di bawah kilatan pedang untuk berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, membungkam pelaku-pelaku kemurtadan dan meratakan singgasana Persia di Irak dan Romawi di Syam dengan tanah. Ia berkata, “Aku telah merasakan ini dan itu di medan perang dan seluruh bagian dari tubuhku terdapat bekas pukulan pedang, lemparan panah, atau tusukan tombak. Tapi sekarang aku akan mati di atas kasur seperti matinya seekor unta. Tidak akan pernah tidur mata orang-orang pengecut.”

Kemudian ia berkata lagi, “Aku telah mengejar kematian di tempatnya tapi aku tidak ditakdirkan untuk mati kecuali di atas kasurku. Tak ada satu amal pun yang lebih aku harapkan setelah kalimat lailaha illallah selain satu malam yang aku lalui dalam keadaan siaga sementara langit mengguyurkan hujannya sampai pagi. Kemudian pada pagi harinya kami melancarkan serangan terhadap kaum kafir.”

Khalid bin Walid sangat mencintai jihad fi sabilillah. Ia pernah berkata, “Aku tidak tahu dari hari yang mana aku hendak lari; apakah dari hari yang Allah berkehendak untuk menghadiahkan syahadah kepadaku ataukah dari hari yang Allah berkehendak untuk menghadiahkan kemuliaan kepadaku (dengan kemenangan yang gemilang)?”

Ketika Abu Darda radhiallahu ‘anhu datang menjenguknya di akhir-akhir kehidupannya, ia berwasiat kepada Abu Darda, “Sesungguhnya kuda dan senjataku sudah aku infakkan untuk digunakan demi jihad fi sabilillah, sementara rumahku di Madinah untuk disedekahkan dan aku sudah meminta Umar ibnul Khaththab sebagai saksinya. Dialah sebaik-baik penolong terhadap Islam dan aku sudah limpahkan wasiat dan pelaksanaannya kepada Umar.”

Ketika hal itu sampai kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Abu Sulaiman. Apa yang di sisi Allah lebih baik baginya dari apa yang ada padanya. Ia telah wafat dalam keadaan bahagia dan hidup dalam keadaan terpuji. Akan tetapi aku lihat masa tidak akan berhenti.”

Umar ibnul Khaththab ikut mengantar jenazahnya. Ibu Khalid bin Walid mendendangkan beberapa bait syair yang berisi kelebihan-kelebihan Khalid. Ia berkata,

Engkau lebih baik dari sejuta kaum

Ketika para tokoh banyak tersalah

Pemberani? Engkau lebih berani dari singa

Laki-laki kuat mempertahankan diri dari anak-anak singa

Dermawan? Engkau lebih dermawan dari hujan yang mengguyur menggenangi lembah-lembah

Mendengar itu Umar ibnul Khaththab berkata, “Demi Allah, engkau benar. Sesungguhnya ia memang demikian adanya.

Baca juga artikel menarik lainnya: Umar bin Wahab

Umar bin Wahab

Umar bin Wahab


Umair bin Waham al-Jumahi pulang dari Badar dengan selamat, namun dia meninggalkan anaknya di belakangnya sebagai tawanan di tangan kaum muslimin.

Umair khawatir kaum muslimin akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap anaknya atas dosa-dosa bapaknya, menyiksanya dengan siksaan terburuk sebagai balasan atas penderitaan yang telah dia timpakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagai hukuman atas siksaan yang telah dia timpakan kepada para sahabatnya.

Di suatu pagi, Umair menuju masjid untuk thawaf di Ka’bah dan memohon keberkahan kepada berhala-berhalanya, dia melihat Shafwan bin Umayyah[1] yang sedang duduk di sisi Hijir,[2] dia berjalan kepadanya dan mengucapkan, “Im habahan.[3] Wahai sayid Quraisy.”

Shafwan berkata, “’Im shabahan wahai Abu Wahab. Duduklah, kita berbicara sebentar, kita menghabiskan waktu dengan berbicara.”

Umair pun duduk di depan Shafwan bin Umayyah, dua laki-laki ini mulai berbicara mengenang Badar, mengenang musibahnya yang besar, menghitung tawanan-tawanan yang jatuh di tangan Muhammad dan para sahabatnya, berduka cita atas kematian para pemuka Quraisy di ujung pedang kaum muslimin dan dilemparkannya jasad mereka ke dasar sumur di Badar. Maka Shafwan menarik nafas sedih seraya berkata, “Demi Allah tidak ada kebaikan dalam hidup ini sesudah mereka.”

Umair berkata, “Kamu benar, demi Allah.” Kemudian Umair diam sesaat lalu dia melanjutkan, “Demi Rabb Ka’bah, kalau aku tidak memikul utang yang saat ini aku tidak memiliki sesuatu yang bisa aku gunakan untuk melunasinya. Dan keluarga, dimana aku khawatir mereka akan terlunta-lunta sesudahku, niscaya aku akan pergi kepada Muhammad dan membunuhnya, aku akan menghabisi perkara dan mengakhiri keburukannya.”

Umair melanjutkan dengan suara pelan, “Keberadaan anakku Wahab di antara mereka membuat kehadiranku ke Yatsrib tidak menimbulkan kecurigaan pada mereka.”

Shafwan bi Umayyah memanfaatkan ucapan Umair bin Wahab, dia tidak ingin melepaskan peluang ini begitu saja, maka dia berkata, “Wahai Umair, biarkan aku yang memikul seluruh utang-utangmu, aku akan melunasinya sebesar apapun. Dan keluargamu, akan aku akan menanggung kehidupan mereka bersama dengan keluargaku, selama aku dengan mereka masih hidup. Hartaku melimpah, cukup untuk membiayai mereka dan membuat mereka hidup makmur.”

Umair berkata, “Kalau begitu simpanlah perbicaraan kita ini, jangan katakan kepada siapa pun.”

Maka Shafwan berkata, “Aku menjaminnya untukmu.”

Umair meninggalkan al-Haram sementara api kebencian bergolak di dadanya terhadap Muhammad, dia langsung menyiapkan segala perlengkapannya untuk melaksanakan tekadnya, dia tidak perlu khawatir dicurigai oleh seseorang dalam perjalanannya karena dia termasuk orang-orang Quraisy yang masih mempunyai urusan dengan kaum muslimin terkait dengan tawanan perang Badar, mereka hilir mudik ke Madinah untuk membebaskan tawanan mereka.

Umair mengasah pedangnya setajam mungkin dan menaburkan racun padanya.

Umair menyiapkan kendaraannya, dan naik ke atas punggungnya.

Dia bergerak menuju Madinah dengan niat buruk dan tekad jahat memenuhi sesuatu di dalam jubahnya.

Umair tiba di Madinah, dia menuju masjid hendak menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , setibanya dia di dekat pintu masjid, dia menderumkan onta dan turun dari punggungnya.

Umar bin al-Khattab pada saat itu sedang duduk bersama sebagian sahabat di dekat pintu masjid, mereka membicarakan Badar dan apa yang dibawa olehnya berupa tawanan perang dari orang-orang Quraisy dan korban mereka, mereka mengenang kepahlawanan-kepahlawanan kaum muslimin dari kalangan orang-orang Muhajirin dan Anshar, mereka membicarakan kemenangan yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada mereka, kekalahan dan kehinaan yang Allah Ta’ala timpakan kepada musuh mereka.

Tiba-tiba Umar menoleh, dia melihat Umair bin Wahab turun dari punggung kendaraannya dan berjalan menuju masjid dengan menenteng pedangnya, maka Umar berdiri dengan perasaan cemas, dia berkata, “Anjing, musuh Allah Umair bin Wahab. Demi Allah, dia tidak datang kecuali bermaksud jahat. Dia telah mempengaruhi orang-orang musyrikin di Mekah untuk memusuhi kami dan dia adalah mata-mata mereka atas kami sebelum terjadi perang Badar.”

Kemudian Umar berkata kepada rekan-rekannya, “Pergilah kalian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetaplah kalian di samping beliau, berhati-hatilah terhadap kelicikan orang busuk itu.”

Kemudian Umar bergegas menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, ini musuh Allah Umair bin Wahab telah datang dengan menghunus pedangnya, menurutku dia tidak datang kecuali dengan maksud jahat.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bawa dia masuk kepadaku.”

Maka al-Faruq membawa Umair bin Wahab kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mencengkeram kerah bajunya dan mengalungkan tali pedangnya di lehernya.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya dalam kondisi demikian, beliau bersabda, “Lepaskan dia wahai Umar.” Maka Umar melepaskannya. Kemudian beliau bersabda kepada Umar, “Mundurlah dariku.” Maka Umar mundur. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghampiri Umair bin Wahab dan beliau bersabda, “Mendekatlah wahai Umair.” Umair berkata, “An’im shabahan.” Ini adalah ucapan salam jahiliyah.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Allah telah memulaikan kami dengan sebuah penghormatan yang lebih baik dari ucapanmu itu wahai Umair. Allah telah memuliakan kami dengan salam, ia adalah penghormatan untuk penduduk surga.”

Maka Umair berkata, “Demi Allah, engkau sendiri tidak asing dengan penghormatan kami dan engkau belum lama meninggalkannya.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu datang wahai Umair?”

Umair menjawab, “Aku datang dengan harapan engkau berkenan melepaskan tawanan yang ada di tanganmu, berbuat baiklah kepadanya demi aku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Lalu mengapa pedang itu ada di pundakmu?”

Umair menjawab, “Pedang yang buruk dan tidak berguna apapun bagi kami di perang Badar.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencercanya, “Katakan kepadaku dengan jujur, apa yang membuatmu datang kepadaku?”

Umair menjawab, “Aku tidak datang kecuali untuk itu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak demikian, akan tetapi kamu duduk bersama Shafwan bin Umayyah di Hijir, lalu kalian berdua mengenang orang-orang Quraisy yang dilemparkan ke sumur Badar. Kamu berkata, ‘Kalau bukan karena utang yang aku pikul dan keluarga yang aku tanggung niscaya aku akan berangkat menemui Muhammad untuk membunuhnya’. Lalu Shafwan bin Umayyah memikul utangmu dan menjamin kehidupan keluargamu dengan syarat kamu membunuhku. Allah Ta’ala menghalangimu untuk melakukan hal itu.”

Umair terhenyak sesaat, kemudian dia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”

Kemudian dia buru-buru menambahkan, “Ya Rasulullah, dulu kami mendustakanmu dengan tidak mempercayai berita langit yang engkau bawa dan wahyu yang turun kepadamu, akan tetapi ceritaku dengan Shafwan bin Umayyah hanya diketahui oleh kami berdua. Demi Allah, sungguh aku yakin bahwa yang menyampaikannya kepadamu hanyalah Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menggiringku kepadamu sehingga Dia membimbingku kepada Islam.”

Kemudian Umair bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dia masuk Islam.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat, “Jadikanlah saudara kalian ini paham (dengan) agamanya dan ajarilah dia Alquran serta bebaskanlah tawanannya.”

Kaum muslimin berbahagia dengan masuknya Umair bin Wahab ke dalam Islam, sampai-sampai Umar bin al-Khatthab berkata, “Seekor babi lebih aku cintai daripada Umair bin Wahab ketika dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun sekarang dia lebih aku cintai daripada sebagian anakku sendiri.”

Umair terus menyucikan dirinya dengan ajaran-ajaran Islam, mengisi hatinya dengan cahaya Alquran, menghidupkan hari-hari kehidupannya yang paling mengagumkan dan paling sarat kebaikan, hal ini membuatnya melupakan Mekah dan siapa yang tinggal di sana.

Shafwan bin Umayyah menggantungkan harapan kepada Umair, dia melewati sekumpulan orang-orang Quraisy sambil berkata, “Bergembiralah kalian, sebuah berita besar akan datang kepada kalian dalam waktu dekat, berita yang membuat kalian melupakan kekalahan di Badar.”

Shafwan bin Umayyah menunggu dan menunggu, penantiannya berjalan lama, akhirnya kecemasan mulai menggelayuti benaknya sedikit demi sedikit, sampai dia seperti berguling-guling di atas bara api yang paling panas, dia mulai bertanya-tanya kepada para rombongan musafir yang lewat tentang Umair bin Wahab, namun dia tidak menemukan jawaban yang memuaskan.

Sampai datanglah seorang musafir yang berkata kepadanya, “Umair telah masuk Islam.”

Berita yang terdengar di telinga Shafwan bak halilintar yang menyambar di siang hari karena sebelumnya dia yakin bahwa Umair tidak akan masuk Islam sekalipun seluruh penduduk bumi masuk Islam.

Umair bin Wahab terus mendalami agamanya, menghafal kalam Allah yang bisa dia hafal, sehingga dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Ya Rasulullah aku telah melewati suatu zaman, selama itu aku selalu berusaha untuk memadamkan cahaya Allah, kerap menimpakan gangguan kerasa terhadap orang-orang yang masuk ke dalam agama Allah, aku ingin engkau berkenan memberi izin kepadaku untuk pergi ke Mekah untuk mengajak orang Quraisy kepada Allah dan Rasul-Nya, jika mereka menerimanya dariku maka apa yang mereka lakukan adalah sebaik-baik perbuatan, namun jika mereka berpaling maka aku akan melakukan terhadap mereka seperti dulu aku melakukan terhadap orang-orang yang masuk Islam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan, maka Umair datang ke Mekah, dia datang ke rumah Shafwan dan berkata, “Wahai Shafwan, sesungguhnya kamu adalah salah seorang pembesar Mekah, salah seorang Quraisy yang berakal, apakah menurutmu apa yang kalian yakini selama ini, yaitu menyembah batu dan menyembelih untuknya benar dalam akal sehingga ia patut dijadikan sebagai agama? Aku telah bersaksi bahwa tiada Ilah yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Kemuian Umair terus berdakwah kepada Allah di Mekah sehingga banyak orang Mekah masuk Islam atas ajakannya.

Semoga Allah memberikan pahala yang besar kepada Umair bin Wahab dan meliputi kuburnya dengan cahaya.[4]

Diketik ulang oleh Abu Abdillah Ridwansyah As-Slemani dari buku Mereka Adalah Para Sahabat Penulis DR. Abdurrahman Ra’fat Basya Penerbit At-Tibyan

Artikel www.KisahMuslim.com

Keterangan:

[1] Shafwan bin Umayyah bin Khalaf al-Jumahi al-Quraisyi, kun-nyahnya adalah Abu Wahab, masuk Islam setelah Fathu Mekah, seorang laki-laki pemberani dan dermawan, salah seorang pembesar Quraisy, termasuk ke dalam deretan muallaf, ikut dalam perang Yarmuk dan meninggal di Mekah tahun 42 H.
[2] Hijir adalah Hijir Ismail di Ka’bah, daerah yang dikelilingi oleh al-Hathim yang mengelilingi Ka’bah. Orang-orang Quraisy tidak mampu merenovasi Ka’bah di atas pondasinya karena kekurangan biaya yang halal dari kas perbendaraan mereka.
[3] ‘Im Shabahan adalah salah satu ucapan salam di zaman Jahiliyah.
[4] Untuk menambah wawasan tentang Umair bin Wahab, silakan merujuk: Hayah ah-Shahabah, daftar isi di jilid keempat; As-Sirah, Ibnu Hisyam dengan Tahqiq as-Saqa, lihat daftar isi; Al-Ishabah, (III/36), 6058; Thabaqot Ibnu Saad, (IV/146)

Kudzaifah bin Yaman

Kudzaifah bin Yaman

Hudzaifah radhiallahu ‘anhu selalu berjalan di atas sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala hal. Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya biasa datang kepada Nabi untuk bertanya tentang kebaikan. Akan tetapi, Hudzaifah radhiallahu ‘anhu datang kepada Nabi untuk bertanya tentang kejahatan karena khawatir jatuh ke dalamnya.

Hudzaifah telah diberikan kecerdasan dan kebijaksanaan yang membuatnya mengetahui bahwa kebaikan-kebaikan di dunia ini sudah sangat jelas bagi orang yang ingin mengerjakannya. Namun keburukan, masih kabur dan sering tersembunyi. Oleh karena itu, seseorang yang cerdas mestilah benar-benar mempelajari apa itu keburukan beserta tokoh-tkohnya dan apa itu kemunafikan beserta tokoh-tokohnya.

Suatu hari Hudzaifah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kita dulu berada dalam kejahiliahan dan kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita kebaikan ini (maksudnya Islam), apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.”

“Lalu apakah setelah keburukan itu akan datang lagi kebaikan?” tanya Hudzaifah kembali.

“Ya, dan di dalamnya ada kerusakan yang tersembunyi.”

“Apa kerusakan yang tersembunyi itu wahai Rasulullah?”

“Orang-orang yang menunjuki tanpa petunjuk yang benar, ada hal yang engkau terima dari mereka dan ada pula yang engkau ingkari.”

“Apakah setelah kebaikan itu ada lagi keburukan?”

“Ya orang-orang yang berdakwah di pintu-pintu Jahannam, siapa yang menyambut seruan mereka akan mereka lemparkan ke dalamnya.”

“Ya Rasulullah, terangkanlah mereka kepada kami.”

“Mereka juga dari bangsa kita dan berbicara memakai bahasa kita.”

“Apa yang engkau wasiatkan kepadaku andaikan aku mendapat masa itu?”

“Berpegang teguh dengan jamaah muslimin dan pemimpin mereka.”

“Andaikan mereka tidak punya jamaah dan pemimpin?”

“Jauhi semua kelompok itu walaupun untuk itu engkau akan berpegangan pada akar pohon sampai kematian menjemput dan engkau tetap dalam keadaan demikian.”
Oleh karena itu, Hudzaifah menjalani kehidupan dengan sangat menyadari dan peka terhadap berbagai fitnah dan celah-celah keburukan sehingga ia bisa menghindarinya dan juga memperingatkan manusia agar tidak terjebak ke dalamnya. Ia pernah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling tahu tentang seluruh fitnah yang akan terjadi saat ini sampai hari Kiamat nanti.”
Orang Kepercayaan untuk Menjaga Rahasia Rasulullah

Masalah yang paling besar dihadapi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin di Madinah al-Munawwarah adalah munculnya orang-orang munafik dan antek-anteknya dengan berbagai tipu daya, isu-isu bohong, dan konspirasi yang mereka lancarkan terhadap Nabi dan para sahabatnya.

Pada perang Tabuk, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bersama sahabatnya ke Madinah, sekelompok kaum munafik bermaksud untuk membunuh Nabi dengan melemparkan Nabi dari atas bukit.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan rencana jahat orang-orang munafik itu kepada Nabi-Nya. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih Hudzifah dari sekian sahabatnya untuk menjadi orang kepercayaan memegang rahasia karena kepercayaan Nabi kepadanya dan posisinya yang tinggi di mata Nabi. Nabi memberitahukan kepadanya nama-nama semura orang munafik dan berbagai konspirasi yang mereka rencanakan.

Hudzaifah bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, kenapa tidak engkau perintahkan saja untuk membunuh mereka?”

Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

“Aku tidak ingin orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Hudzaifah bin Yaman untuk selalu mengikuti gerakan orang-orang munafik itu dan memonitor segala kegiatan mereka untuk mengantisipasi bahaya mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.

Di samping sifat-sifat mulia yang dimilikinya, Hudzaifah juga memiliki ingatan yang sangat kuat. Ia pernah berkata, “Aku pernah melihat sesuatu yang sebelumnya pernah aku lupakan, tapi aku segera mengenalnya sebagaimana halnya seseorang mengenal sahabatnya apabila sahabatnya itu sempat menghilang lalu ketika ia lihat ia segera mengenalnya.”

Sejak hari itu Hudzaifah dijuluki sebagai orang kepercayaan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika Umar ibnul Khaththab mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan secara rahasia nama orang-orang munafik kepada Hudzaifah ibnul Yamaan –suatu rahasia yang tidak diberitahukan kepada sahabat yang lain selain Hudzaifah– ia segera menemui Hudzaifah. Sambil berharap, ia berkata, “Aku bersumpah dengan nama Allah, mohon engkau jawab, apakah aku termasuk orang munafik?”

Karena kasihan melihat Umar ibnul Khaththab, Hudzaifah menjawab, “Tidak, tapi aku tidak bisa menjamin seorang pun selainmu.” Hal itu ia katakan agar ia tidak menyebarkan rahasia yang telah diamanahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.

Ketika Umar ibnul Khaththab menjadi khalifah –setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq, wafat– ia bertanya kepada Hudzaifah, “Apakah ada di antara pejabat-pejabatku di berbagai daerah yang termasuk orang munafik?”

Hudzaifah menjawab, “Ya, ada satu.”

“Siapa dia?” tanya Umar.

“Tidak akan aku sebutkan.”

Tapi tidak berapa lama setelah itu Umar ibnul Khaththab mengetahui siapa orang yang dimaksud sehingga ia segera memecatnya dari jabatannya.

Apabila ada salah seorang kaum muslimin yang wafat, Umar ibnul Khaththab segera bertanya tentang Hudzaifah. Apabila ia tahu Hudzaifah ikut menyalatkannya, maka ia juga akan menyalatkannya. Tapi apabila Hudzaifah tidak ikut menyalatkannya maka Umar juga tidak akan ikut menyalatkannya.

Sumber: Pendekar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ksatria Islam yang Gagah Berani, Asyraf Muhammad al-Wahsy, Gema Insani Press, 2011

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Hakim bin Hizam

Hakim bin Hizam

Hakim bin Hizam

Hakim bin Hizam bin Khuwalid bin Asad bin Abdil Uzza bin Qushai bin Kilab Abu Khalid al-Qurasyi al-Asadi. Ibu Hakim bernama Fahitah binti Zuhair bin al-Harits bin Asad bin Abdil Uzza. Berputra 7 orang: Hisyam, Khalid, Hizam, Abdullah, Yahya, Ummu Sumayyah, Umm ‘Amr, dan Ummu Hasyim.

Hubungannya dengan Ummul Mukminin Khadijah sangatlah dekat. Wanita mulia ini merupakan bibi Hakim bin Hizam. Sementara dengan Rasulullah Muhammad bin Abdillah, Sahabat Hizam bertemu dengan garis nasab beliau pada kakek bernama Qushai.

Sejarah mencatat, bahwa Hakim kecil dilahirkan di Ka’bah, tiga belas tahun sebelum Gajah berniat menyerbu kota Mekah. Pasalnya, ketika sang ibu berkunjung masuk ke dalam Ka’bah, secara mendadak, ibunya merasakan sakit pada perutnya dan hendak melahirkan. Akhirnya, Hakim kecil dilahirkan di dalamnya.
Membantu Kaum muslimin yang Berada Dalam Kesulitan

Kecintaannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah terjalin sejak lama. Bahkan ia pernah mengatakan, “Muhammad adalah orang yang paling aku cintai di masa Jahiliyah.” Tak heran, ketika suku Quraisy melancarkan embargo ekonomi dan pemutusan hubungan secara total terhadap Bani Hasyim dan Bani Muththalib untuk menggencet kaum muslimin di Mekah selama 3 tahun, hati Hakim bin Hizam tidak menerimanya.

Guna meringankan beban mereka, ketika kafilah dagang dari Syam datang, ia beli seluruh barang dagangan yang ada untuk kepentingan umat Islam. Onta-onta pengangkut barang-barang ia arahkan menuju lembah tempat penampungan kaum muslimin sehingga berjalan sendiri memasuki lembah itu. Ia lakukan untuk menghormati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bibinya, Khadijah binti Khulawid.

Dia pula yang membeli Zaid bin Haritsah untuk diberikan kepada Khadijah radhiallahu ‘anha. Selanjutnya, Ummul Mukminin Khadijah menghibahkan Zaid kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ia memiliki perhatian besar terhadap kaum muslimin, meski demikian, Hakim bin Hizam baru memluk Islam pada tahun penaklukkan kota Mekah.
Kedudukan Sosial Hakim bin Hizam

Melalui garis nasab, sudah dapat ditebak bila Hakim berstatus sosial tinggi, berderajat mulia. Ya, ia berasal dari suku Quraisy yang terkenal kemuliaannya di mata masyarakat Mekah. Orang pun mengenal Hakim bin Hizam sebagai salah satu tokoh Mekah dengan kematangan akal dan kecerdikannya. Dalam usia 15 tahun, ia sudah ikut memasuki Dar an-Nadwah, tempat kaum Quraisy membicarakan masalah-masalah penting. Padahal orang lain baru boleh memasukinya setelah mencapai usia 40 tahun. Selain itu, sisi lain dari sahabat yang berusia 120 tahun ini, ia seorang yang ulung dalam masalah pernasaban,
Kedermawanan Hakim bin Hizam

Sebelum masuk Islam, Hakim bin Hizam sudah terkenal sebagai oarng yang gemar berderma, berbuat baik dan memerdekakan budak. Ia memang saudagar yang kaya raya. Berdagang sampai di Yaman dan Syam. Ketika masuk Islam, ia mempertanyakan kebaikan-kebaikannya di masa Jahiliyah dahulu apakah akan mendatangkan pahala baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan,

“Engkau masuk Islam bersama kebaikan yang telah engkau lakukan (sebelumnya).” (HR. al-Bukhari no. 1436 dan Muslim no. 123 dengan lafazh Imam Muslim)

Ia pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah, tidaklah ada (kebaikan) yang aku lakukan pada masa Jahiliyah kecuali aku perbuat misalnya setelah aku masuk Islam (karena Allah).” (HR. Muslim)

Pada masa Jahiliyah, ia pernah memerdekakan 100 budak. Setelah masuk Islam, ia pun melakukan hal yang sama karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dahulu pernah membawa 100 ekor onta dalam muslim haji. Itu pun ia lakukan setelah masuk Islam.

Dikisahkan, pada satu musim haji, di padang Arafah, Hakim bin Hizam membawa 100 budak, 100 onta, 100 sapi, dan 100 kambing. Ia mengatakan, “Semuanya untuk Allah.”

Pada masa itu, Hakim bin Hizam merupakan pemilik sah dari sebuah bangunan bersejarah di Mekah bernama Dar an-Nadwah. Di tempat itu, biasanya para pemuka Quraisy berkumpul dan berdiskusi tentang banyak hal penting. Rencana jahat pembunuhan terhadap Nabi Muhammad sebelum beliau berhijrah juga diputuskan di situ. Setelah memeluk Islam, Hakim bin Hizam memutuskan untuk menjual bangunan itu. Dijualnya bangunan tersebut seharga 100 ribu dirham.

Abdullah bin Zubair mempertanyakan, “Engkau telah menjual bangunan kehormatan orang-orang Quraisy?”

Dengan bijak Hakim menjawab, “Wahai putra saudaraku. Kemuliaan dan kehormatan (yang semu kini) telah hilang. Tidak ada kehormatan kecuali dengan ketakwaan.”

Selanjutnya hasil penjualan ia infakkan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Aku sungguh akan membelikannya sebuah bangunan di surga. Aku persaksikan kepadamu aku menjadikannya untuk keperluan di jalan Allah,” kata Hakim melanjutkan.

Ketika Zubair bin Awwam meninggal terbunuh, Hakim bin Hizam menemui anaknya, Ibnu Zubair seraya bertanya, “Saudaraku ini (Zubair) berpa hutangnya?.” Sang anak menjawab, “Sejuta dirham.” Hakim bin Hizam menawarkan diri untuk menanggung setengahnya.

Tiap hari ia mengharapkan ada orang yang berhajat kepadanya untuk ia bantu. Bila tidak ada, ia menganggapnya sebagai musibah. Hakim bin Hizam mengatakan, “Tidaklah aku berada di pagi hari sementara tidak ada orang di depan pintu rumahku, kecuali aku sadar itu adalah bagian musibahnya yang aku mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pahala darinya.”

Sahabat yang mulia ini wafat pada tahun 54 H. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati dan meridhai Hakim bin Hizam. Juga memberi taufik kepada kita untuk dapat meneladani nilai-nilai dari kehidupan Sahabat ini. Wallahu a’lam.

(Abu Minhal)

Referensi: Al-Bidayah wan Nihayah, 8:59-60 dan Siyar A’lamin Nubala, 3:44-51

Sumber: Majalah Baituna Edisi 7 Tahun XV 1432 H/2011 M

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Fathu Makkah

Urwah bin Zubair

Urwah bin Zubair


Paket Umroh Akhir Tahun 2016 Travel Alhijaz Indowisata
Pagi itu, matahari memancarkan benang-benang cahaya keemasan di atas Baitul Haram, menyapa ramah pelatarannya yang suci. Di Baitullah, sekelompok sisa-sisa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tokoh-tokoh tabi’in tengah mengharumkan suasana dengan lantunan tahlil dan takbir, menyejukkan sudut-sudutnya dengan doa-doa yang shalih.

Mereka membentuk halaqah-halaqah, berkelompok-kelompok di sekeliling Ka’bah agung yang tegak berdiri di tengah Baitul Haram dengan kemegahan dan keagungannya. Mereka memanjakan pandangan matanya dengan keindahannya yang menakjubkan dan berbagi cerita di antara mereka, tanpa senda gurau yang mengandung dosa.

Di dekat rukun Yamani, duduklah empat remaja yang tampan rupawan, berasal dari keluarga yang mulia. Seakan-akan mereka adalah bagian dari perhiasan masjid, bersih pakaiannya dan menyatu hatinya.

Di dekat rukun Yamani, duduknya empat remaja yang tampan rupawan, berasal dari keluarga yang mulia. Seakan-akan meraka adalah bagian dari perhiasan masjid, bersih pakaiannya dan menyatu hatinya.

Keempat remaja itu adalah Abdullah bin Zubair dan saudaranya yang bernama Mush’ab bin Zubair, saudaranya lagi bernama Urwah bin Zubair dan satu lagi Abdul Malik bin Marwan.

Pembiacaraan mereka semakin serius. Kemudian seorang di antara mereka mengusulkan agar masing-masing mengemukakan cita-cita yang didambakannya. Maka khayalan mereka melambung tinggi ke alam luas dan cita-cita mereka berputar mengitari taman hasrat mereka yang subur.

Mulailah Abdullah bin Zubair angkat bicara: “Cita-citaku adalah menguasai seluruh Hijaz dan menjadi khalifahnya.”

Saudaranya, Mus’ab menyusulnya: “Keinginanku adalah dapat menguasai dua wilayah Irak dan tak ada yang merongrong kekuasaanku.”

Giliran Abdul Malik bin Marwan berkata, “Bila kalian berdua sudah merasa cukup dengan itu, maka aku tidak akan puas sebelum bisa menguasai seluruh dunia dan menjadi khalifah setelah Mu’awiyah bin Abi Sufyan.”

Sementara itu Urwah diam seribu bahasa, tak berkata sepatah pun. Semua mendekati dan bertanya, “Bagaimana denganmu, apa cita-citamu kelak wahai Urwah?” Beliau berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi semua cita-cita dari urusan dunia kalian, aku ingin menjadi alim [orang berilmu yang mau beramal], sehingga orang-orang akan belajar dan mengambil ilmu tentang kitab Rabb-nya, sunah Nabi-Nya dan hukum-hukum agamanya dariku, lalu aku berhasil di akhirat dan memasuki surga dengan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Hari-hari berganti serasa cepat. Kini Abdullah bin Zubair dibai’at menjadi khalifah menggantikan Yazid bin Mu’awiyah yang telah meninggal. Dia menjadi hakim atas Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan, dan Irak yang pada akhirnya terbunuh di Ka’bah, tak jauh dari tempatnya mengungkapkan cita-cita dahulu.

Sedangkan Mus’ab bin Zubair telah mengauasai Irak sepeninggal saudaranya Abdullah dan akhirnya juga terbunuh ketika mempertahankan wilayah kekuasaannya.

Adapun Abdul Malik bin Marwan, kini menjadi khalifah setelah terbunuhnya Abdullah bin Zubair dan saudaranya Mus’ab, setelah keduanya gugur di tangan pasukannya. Akhirnya, dia berhasil menjadi raja dunia terbesar pada masanya.

Bagaimana halnya dengan Urwah bin Zubair? Mari kita ikuti kisahnya dari awal…

Beliau lahir satu tahun sebelum berakhirnya masa khilafah al-Faruq Radhiyallahu ‘Anhu. Dalam sebuah rumah yang paling mulia di kalangan kaum muslimin dan paling luhur martabatnya.

Adapun ayahnya bernama Zubair bin Awwam, “al-Hawari” (pembela) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang pertama yang menghunus pedangnya dalam Islam serta termasuk salah satu di antara sepuluh orang yang dijamin masuk surga.

Sedangkan ibunya bernama Asma binti Abu Bakar ash-Shidiq yang dijuluki dzatun nithaqain [pemilik dua ikat pinggang].

Kakek beliau dari jalur ibu adalah Abu Bakar ash-Shidiq, khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menemani beliau di sebuah goa.

Sedangkan nenek dari jalur ayahnya adalah Shafiyah binti Abdul Muthalib yang juga bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bibinya adalah Ummul Mukminin, bahkan dengan tangan Urwah bin Zubair sendirilah yang turun ke liang lahat untuk meletakkan jenazah ummul Mukminin.

Maka siapa lagi kiranya yang lebih unggul nasabnya dari beliau? Adakah kemuliaan di atasnya selain kemuliaan iman dan kewibawaan Islam?

Demi merealisasikan cita-cita yang didambakan dan harapan kepada Allah yang diutarakan di sisi Ka’bah yang agung tersebut, beliau amat gigih dalam usahanya mencari ilmu. Maka beliau mendatangi dan menimbanya dari sisa-sisa para shahabat Rasulullah yang masih hidup.

Beliau mendatangi rumah demi rumah mereka, shalat di belakang mereka, menghadiri majelis-majelis mereka. Beliau meriyawatkan hadis dari Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari, Usamah bin Zaid, Sa’id bin Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Nu’man bin Basyir dan banyak pula mengambil dari bibinya, Aisyah Ummjul Mukminin. Pada gilirannya nanti, beliau berhasil menjadi satu di antara fuqaha sab’ah (tujuh ahli fikih) Madinah yang menjadi sandaran kaum muslimin dalam urusan agama.

Para pemimpin yang shalih banyak meminta pertimbangan kepada beliau baik tentang urusan ibadah maupun negara karena kelebihan yang Allah berikan kepada beliau. Sebagai contohnya adalah Umar bin Abdul Aziz. Ketika beliau diangkat sebagai gubernur di Madinah pada masa al-Walid bin Abdul Malik, orang-orang pun berdatangan untuk memberikan ucapan selamat kepada beliau.

Usai shalat zuhur, Umar bin Abdul Aziz memanggil sepuluh fuqaha Madinah yang dipimpin oleh Urwah bin Zubair. Ketika sepuluh ulama tersebut telah berada di sisinya, maka beliau melapangkan majlis bagi mereka serta memuliakannya. Setelah bertahmid kepada yang berhak dipuji beliau berkata, “Saya mengundang Anda semua untuk suatu amal yang banyak pahalanya, yang mana saya mengharapkan Anda semua agar sudi membantu dalam kebenaran, saya tidak ingin memutuskan suatu masalah kecuali setelah mendengarkan pendapat Anda semua atau seorang yang hadir di antara kalian. Bila kalian melihat seseorang mengganggu orang lain atau pejabat yang melakukan kezhaliman, maka saya mohon dengan tulus agar Anda sudi melaporkannya kepada saya.” Kemudian Urwah mendoakan baginya keberuntungan dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, senantiasa bersanding dengan Kitabullah dan tekun membacanya. Beliau mengkhatamkan seperempat Alquran setiap siang dengan membuka mushhaf, lalu shalat malam membaca ayat-ayat Alquran dengan hafalan. Tak pernah beliau meninggalkan hal itu sejak menginjak remaja hingga wafatnya melainkan sekali saja. Yakni ketika peristiwa mengharukan yang sebentar lagi akan kami beritakan kepada Anda.

Dengan menunaikan shalat, Urwah memperolah ketenangan jiwa, kesejukan pandangan dan surga di dunia. Beliau tunaikan sebagus mungkin, beliau tekuni rukun-rukunnya secara sempurna dan beliau panjangkan shalatnya sedapat mungkin.

Telah diriwayatkan bahwa beliau pernah melihat seseorang menunaikan shalat secepat kilat. Setelah selesai, dipanggilnya orang tersebut dan ditanya, “Wahai anak saudaraku, apakah engkau tidak memerlukan apa-apa dari Rabb-mu Yang Maha Suci? Demi Allah, aku memohon kepada Rabb-ku segala sesuatu sampai dalam urusan garam.”

Urwah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu adalah seorang yang ringan tangan, longgar dan dermawan. Di antara bukti kedermawanannya itu adalah manakala beliau memiliki sebidang kebun yang luas di Madinah dengan air sumurnya yang tawar, pepohonan yang rindang serta buahnya yang lebat. Beliau pasang pagar yang mengelilinginya untuk menjaga kerusakannya dari binatang-binatang dan anak-anak yang usil. Hingga tatkala buah telah masak dan membangkitkan selera bagi yang memandangnya, dibukalah beberapa pintu sebagai jalan masuk bagi siapapun yang menghendakinya.

Begitulah, orang-orang keluar masuk kebun Urwah sambil merasakan lezatnya buah-buahan yang masak sepuas-puasnya dan membawa sesuai dengan keinginannya. Setiap memasuki kebun, beliau mengulang-ulang firman Allah:

“Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaa allah, laa quwwata illaa billah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” (QS. Al-Kahfi: 39)

Suatu masa di zaman khilafah al-Walid bin Abdul Malik, Allah berkehendak menguji Urwah dengan suatu cobaan yang tak seorang pun mampu bertahan dan tegar selain orang yang hatinya subur dengan keimanan dan penuh dengan keyakinan.

Tatkala amirul mukminin mengundang Urwah untuk berziarah ke Damaskus. Beliau mengabulkan undangan tersebut dan mengajak putra sulungnya. Amirul Mukminin menyambutnya dengan gembira, memperlakukannya dengan penuh hormat dan melayaninya dengan ramah.

Kemudian datanglah ketetapan dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, laksana angin kencang yang tak dikehendaki penumpang perahu. Putra Urwah masuk ke kandang kuda untuk melihat kuda-kuda piaraan pilihan. Tiba-tiba saja seekor kuda menyepaknya dengan keras hingga menyebabkan kematiannya.

Belum lagi tangan seorang ayah ini bersih dari tanah penguburan putranya, salah satu telapak kakinya terluka. Betisnya tiba-tiba membengkak, penyakit semakin menjalar dengan cepatnya.

Kemudian bergegaslah Amirul Mukminin mendatangkan para tabib dari seluruh negeri untuk mengobati tamunya dan memerintahkan mereka untuk mengobati Urwah dengan cara apapun.

Namun para tabib itu sepakat untuk mengamputasi kaki Urwah sampai betis sebelum penyakit menjalar ke seluruh tubuh yang dapat merenggut nyawanya.

Jalan itu harus ditempuh. Tatkala ahli bedah telah datang dengan membawa pisau untuk menyayat daging dan gergaji untuk memotong tulangnya, tabib berkata kepada Urwah: “Sebaiknya kami memberikan minuman yang memabukkan agar Anda tidak merasakan sakitnya diamputasi.” Akan tetapi Urwah menolak, “Tidak perlu, aku tidak akan menggunakan yang haram demi mendapat afiat (kesehatan). Tabib berkata, “Kalau begitu kami akan membius Anda!” Beliau menjawab, “Aku tidak mau diambil sebagian dari tubuhku tanpa kurasakan sakitnya agar tidak hilang pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Ketika operasi hendak dimulai, beberapa orang mendekati Urwah, lalu beliau bertanya, “Apa yang hendak mereka lakukan?” Lalu dijawab, “Mereka akan memegangi Anda, sebab bisa jadi Anda nanti merasa kesakitan lalu menggerakan kaki dan itu bisa membahayakan Anda.” Beliau berkata, “Cegahlah mereka, aku tidak membutuhkannya. Akan kubekali diriku dengan dzikir dan tasbih.”

Mulailah tabib menyayat dagingnya dengan pisau dan tatkala mencapai tulang, diambillah gergaji untuk memotongnya. Sementara itu Urwah tak henti-hentinya mengucapkan, “Laa ilaaha Illallah Allahu Akbar,” sang tabib terus melakukan tugasnya dan Urwah juga terus bertakbir hingga selesai proses amputasi itu.

Setelah itu dituangkanlah minyak yang telah dipanaskan mendidih dan dioleskan di betis Urwah bin Zubair untuk menghentikan perdarahan dan menutup lukanya. Urwah pingsan untuk beberapa lama dant terhenti membaca ayat-ayat Alquran di hari itu. Inilah satu-satunya hari di mana beliau tidak bisa melakukan kebiasaan yang beliau jaga semenjak remajanya.

Ketika Urwah tersadar dari pingsannya, beliau meminta potongan kakinya. Dibolak-baliknya sambil berkata, “Dia (Allah) yang membimbing aku untuk membawamu di tengah malam ke masjid, Maha Mengetahui bahwa aku tak pernah menggunakannya untuk hal-hal yang haram.”

Kemudian dibacanya syair Ma’an bin Aus:

Tak pernah kuingin tanganku menyentuh yang meragukan

Tidak juga kakiku membawaku kepada kejahatan

Telinga dan pandangan mataku pun demikian

Tidak pula menuntun ke arahnya pandangan dan pikiran

Aku tahu, tiadalah aku ditimpa musibah dalam kehidupan

Melainkan telah menimpa orang lain sebelumku.

Kejadian tersebut membuat Amirul Mukminin, al-Walid bin Abdul Malik sangat terharu. Urwah telah kehilangan putranya, lalu sebelah kakinya. Maka dia berusaha menghibur dan menyabarkan hati tamunya atas musibah yang menimpanya tersebut.

Bersamaan dengan itu, di rumah khalifah datang satu rombongan Bani Abbas yang salah seorang di antaranya buta matanya. Kemudian al-Walid menanyakan sebab musabab kebutaannya. Dia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, dulu tidak ada seorang pun di kalangan Bani Abbas yang lebih kaya dalam harta dan anak dibanding saya. Saya tinggal bersama keluarga di suatu lembah di tengah kaum saya. Mendadak muncullah air bah yang langsung menelan habis seluruh harta dan keluarga saya. Yang tersisa bagi saya hanyalah seekor onta yang lari dari saya. Maka saya taruh bayi yang saya bawa di atas tanah lalu saya kejar onta tadi. Belum seberapa juh, saya mendengar jerit tangis bayi itu. Saya menoleh dan ternyata kepalanya telah berada di mulut serigala, dia telah memangsanya. Saya kembali, tapi tak bisa berbuat apa-apa lagi karena bayi itu sudah habis dilalapnya. Lalu serigala tersebut lari dengan kencangnya. Akhirnya saya kembali mengejar onta liar tadi sampai dapat. Tapi begitu saya mendakat dia menyepak dengan keras hingga hancur wajah saya dan buta kedua mata saya. Demikianlah, saya dapati diri saya kehilangan semua harta dan keluarga dalam sehari semalam saja dan hidup tanpa memiliki penglihatan.

Kemudian al-Walid berkata kepada pengawalnya, “Ajaklah orang ini menemui tamu kita Urwah, lalu mintalah agar dia mengisahkan nasibnya agar beliau tahu bahwa ternyata masih ada orang yang ditimpa musibah lebih berat darinya.”

Tatkala beliau diantarkan pulang ke Madinah dan menjumpai keluarganya, Urwah berkata sebelum ditanya, “Janganlah kalian risaukan apa yang kalian lihat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak mengambil satu. Maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Aku dikaruniai empat kekuatan lalu hanya diambil satu, maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Dia mengambil sedikit dariku dan masih banyak yang ditinggalkan-Nya untukku. Bila Dia menguji sekali, kesehatan yang Dia karuniakan masih lebih banyak dan lebih darinya.”

Demi melihat kedatangan dan keadaan imam dan gurunya, maka penduduk Madinah segera datang berbondong-bondong ke rumahnya untuk menghibur.

Yang paling baik di antara ungkapan teman-teman Urwah adalah dari Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah: “Bergembiralah wahai Abu Abdillah, sebagian dari tubuhmu dan putramu telah mendahuluimu ke surga. Insya Allah yang lain akan segera menyusul kemudian. Karena rahmat-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala meninggalkan engkau untuk kami, sebab kami ini fakir dan memerlukan ilmu fiqih dan pengetahuanmu. Semoga Allah memberikan manfaat bagimu dan juga kami. Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah wali bagi pahala untukmu dan Dia pula yang menjadim kebagusan hisab untukmu.”

Urwah bin Zubair menjadi menara hidayah bagi kaum muslimin. Menjadi penunjuk jalan kemenangan dan menjadi da’i selama hidupnya. Perhatian beliau yang paling besar adalah mendidik anak-anaknya secara khusus dan generasi Islam secara umum. Beliau tidak suka menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk memberikan petunjuk dan selalu mencurahkan nasihat demi kebaikan mereka.

Tak bosan-bosannya beliau memberikan motivasi kepada para putranya untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Beliau berakata, “Wahai putra-putriku, tuntutlah ilmu dan curahkan seluruh tenagamu untuknya. Karena, kalaupun hari ini kalian menjadi kaum yang kerdil, kelak dengan ilmu tersebut Allah menjadikan kalian sebagai pembesar kaum.” Lalu beliau melanjutkan: “Sungguh menyedihkan, adakah di dunia ini yang lebih buruk daripada seorang tua yang bodoh?”

Beliau anjurkan pula kepada mereka untuk memperbanyak sedekah, sedangkan sedekah adalah hadiah yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian menghadiahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan apa yang kalian merasa malu menghadiahkannya kepada para pemimpin kalian, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mulia, Maha Pemurah dan lebih berhak didahulukan dan diutamakan.”

Beliau senantiasa mengajak orang-orang untuk memandang suatu masalah dari sisi hakikatnya. Beliau berkata, “Wahai putra-putriku, jika engkau melihat kebaikan pada seseorang maka akuilah itu baik, walaupun dalam pandangan banyak orang dia adalah orang jahat. Sebab setiap perbuatan baik itu pastilah ada kelanjutannya. Dan jika melihat pada seseorang perbuatan jahat, maka hati-hatilah dalam bersikap walaupun dalam pandangan orang-orang dia adalah orang yang baik. Sebab setiap perbuatan ada kesinambungannya. Jadi camkanlah, kebaikan akan melahirkan kebaikan setelahnya dan kejahatan menyebabkan timbulnya kejahatan berikutnya.”

Beliau juga mewasiatkan agar berlemah lembut, bertutur kata yang baik dan berwajah ramah. Beliau berkata, “Wahai putra-putriku, tertulis di dalam hikmah, “Jadikanlah tutur katamu indah dan wajahmu penuh senyum, sebab hal itu lebih disukai orang daripada suatu pemberian.”


Jika beliau melihat seseorang condong pada kemewahan dan mengutamakan kenikmatan, diingatkannya betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membiasakan diri untuk hidup sederhana.

Sebagai contoh adalah kisah yang diceritakan oleh Muhammad bin al-Munkadir, “Aku bertemu dengan Urwah bin Zubair. Dia menggandeng tanganku sambil berkata, “Wahai Abu Abdillah.” Aku jawab, “Labbaik.”

Urwah berkata, “Aku pernah menjumpai ibuku Aisyah, lalu beliau berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, ada kalanya selama 40 hari tak ada api menyala di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk lampu ataupun memasak.” Maka aku bertanya, “Bagaimana Anda berdua hidup pada waktu itu?” Beliau menjawab, “Dengan korma dan air.”

Urwah hidup hingga usia 71 tahun. Hidupnya penuh dengan kebajikan, kebaktian, dan diliputi ketaqwaan. Ketika dirasa ajalnya sudah dekat dan dia dalam keadaan berpuasa, keluarganya mendesak agar beliau mau makan, tetapi beliau menolak keras karena ingin berbuka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan minuman dari telaga al-Kautsar yang dituangkan dalam gelas-gelas perak oleh para bidadari cantik di surga.

Fathu Makkah

Fathu Makkah


Tatkala bangsa Arab melihat pertempuran antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaumnya (kabilah Quraisy), mereka berkata, “Biarkan Muhammad berperang melawan kaumnya sendiri, jika dia menang, maka benar bahwa dirinya seorang nabi dan sekaligus kebanggaan bagi kita bangsa Arab dari umat yang lain. Dan jika sebaliknya dia kalah, maka kita telah selamat dari kedustaannya.”

Di sisi lain, ada golongan yang menunggu untuk masuk Islam apabila semua umat manusia telah masuk Islam. Oleh karena itu, mereka menunggu fathu makkah (penaklukan Mekah). Sebab kebanyakan manusia taklid dan mengekor pada manusia yang lain tanpa menilai kebenaran yang hakiki dengan akalnya yang lurus dan dalil.

Sikap semacam ini tentunya baik, akan tetapi yang lebih baik adalah menilai kebenaran Islam dan memeluknya karena dalil yang menunjukkan kebenarannya dan tidak bergantung pada kebanyakan orang. Oleh karena itu, tidak sama derajat mereka yang masuk Islam pada awal dakwah dengan mereka yang masuk Islam pada akhir masa dakwah Rasulullah. Tidak sama antara yang berkorban dengan jiwa dan harta dalam Islam ketimbang lainnya. Tidak sama antara yang masuk Islam dan berjihad fi sabilillah sebelum fathu makkah dengan yang berjihad sesudahnya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Tidak sama antara kalian yang berinfaq dan berperang sebelum fathu makkah atau hudaibiyah, mereka itu lebih tinggi derajatnya daripada mereka yang berinfaq dan berperang sesudahnya.” (QS. Al-Hadid: 10)

Amru bin Salimah berkata, “Kaum Arab menunda keislaman mereka karena menanti fathu makkah. Maka tatkala terjadi fathu makkah, setiap kabilah bersegera masuk Islam dan bapakku segera mendahului kaumku masuk Islam.” (Diriwayatkan Bukhari, 4302)

Para musuh yang memerangi kenabian menyangka akan mengalahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka yang dikehendaki hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala menunggu kemenangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dia masuk Islam.

Fathu makkah artinya pembebasan Mekah dari negeri kufur menjadi negeri Islam. Pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menolong dan memenangkan tentara-Nya serta memberantas kekafiran (nasrullah wal fathu) sebagaimana dalam surat An-Nashr.

Dahulu sebagian sahabat mengeluhkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beratnya siksaan Quraisy terhadap mereka dan memohon keada beliau agar berdoa kepada Allah supaya menyegerakan kemenangan akan tetapi Rasulullah menjawab, “Sungguh agama ini akan jaya akan tetapi kalian terburu-buru”. Rasulullah mentarbiyah sahabatnya dengan pengorbanan dan kesabaran karena buahnya pasti tercapai sekalipun lama. Lihatlah buah dari perjuangan dan kesabaran mereka tercapai setelah 21 tahun dalam berdakwah dan jihad fi sabilillah.
Sebab Terjadinya Fathu Makkah

Telah kita ketahui bahwa dalam perjanjian damai di Hudaibiyah pada tahun ke-6 Hijriah terjadi kesepakatan antara Quraisy dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya: Gencatan senjata selama 10 tahun dan boleh bagi siapa saja yang hendak bersekutu dengan Nabi Muhammad atau Quraisy. Maka Bani Bakr bergabung dengan Quraisy sedangkan bani Khuza’ah bergabung dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua belah pihak berada di masa itu dalam keadaan aman dan damai tanpa perang. Akan tetapi, kaum kafir yang menghalalkan segala sesuatu tidak mungkin iltizam (komitmen) dan memelihara perdamaian. Setelah berlalu setahun lebih Bani Bakr bersekutu dengan Quraisy memerangi Bani Khuza’ah sekutu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas dasar permusuhan masa lampau antara kedua kabilah tersebut. Mereka dibantu oleh Quraisy dengan harta, senjata, dan tentara karena dendam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, maka mereka telah melanggar perjanjian Hudaibiyah dan mengobarkan api peperangan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bani Khuza’ah segera berangkat ke Madinah meminta pertolongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau mengabulkan permohonan mereka.

Quraisy Menyesal

Tindakan Quraisy membantu sekutu mereka dalam memerangi sekutu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menujukkan bahwa mereka telah melanggar perdamaian Hudaibiyah dan mereka menyadari akan hal ini. Mereka menyesal dan takut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akibat yang akan timbul dari ulah mereka tersebut. Oleh karena itu, mereka segera mengirim Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu (yang waktu itu masih kafir, red.) ke Madinah dengan tujuan untuk memperbarahui akad perdamaian damai.

Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu berangkat menuju ke Madinah untuk memohan maaf kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memperbaiki perdamaian, tetapi sesampainya di Madinah, ia tidak bertemu langsung dengan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena malu dan keberatan. Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu menemui Abu Bakar radhiallahu ‘anhu agar beliau menjadi duta atau perantara dirinya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kepada Umar radhiallahu ‘anhu, lalu kepada Ali dan Fatimah radhiallahu ‘anhu, tetapi mereka semua menolak. Sikap para sahabat mulia ini menunjukkan bahwa tidak ada wala’ (loyalitas) dan syafaat buat orang-orang kafir.

Diriwayatkan bahwa Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu tatkala sampai di Madinah, masuk ke rumah putrinya, Ummu Habibah radhiallahu ‘anhu Ummul Mukminin –istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan tatkala hendak duduk di tikar, maka Ummu Habibah melipatnya. Tindakan tersebut yang membuat bapaknya heran seraya mengatakan, “Apakah kamu melipat tikar ini karena jelek tidak layak aku duduki ataukah kamu tidak mengizinkan aku karena kehormatan tikar ini?” Maka Ummu Habibah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Ini tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ayah tidak pantas mendudukinya sedang ayah seorang musyrik.” Abu Sufyan mengatakan, “Wahai putriku, sekarang kamu menjadi anak yang durhaka setelah pisah dengan orang tuamu.” Kemudian dia keluar menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengajaknya bicara, tetapi beliau diam tidak menjawabnya sedikit pun. Maka Abu Sufyan kembali ke Mekah dalam keadaan sia-sia dan ini pertanda bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaafkan karena mereka dalam pelanggaran ini.
Rasulullah Menyiapkan Pasukan

Tibalah saatnya untuk memerangi Quraisy dengan hak, dimana selama ini mereka memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya tanpa alasan yang dapat dibenarkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah para sahabatnya untuk bersiap perang, beliau merahasiakan tujuannya agar Quraisy tidak bersiap perang, hingga umat Islam kepung negeri mereka.”

Mereka bersiap hinggap terkumpul 10.000 tentara. Tidak ada yang tertinggal seorang pun dari Muhajirin dan Anshar serta kabilah-kabilah yang tinggal di dekat Madinah. Bilangan yang sangat banyak ini menunjukkan betapa besarnya kemenangan Islam selama masa perjanjian Hudaibiyah (yang disebut oleh Allah dalam Surat Al-Fath sebagai hari kemengan) yang baru berlangsung kurang dari dua tahun, betapa banyak yang masuk Islam dalam selang waktu gencatan senjata antara Quraisy dan kaum muslimin. Pada waktu Perang Ahzab tahun ke-5 pasukan sahabat hanya sebanyak 3.000 tentara dan yang ikut di Hudaibiyah pada tahun ke-6 hanya 1400 sahabat. Ini menunjukkan pengaruh positif dakwah Islam tatkala dibiarkan leluasa tanpa dihalangi atau diperangi.

Di tengah perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan tujuannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menutup semua berita kepada kaum Quraisy sebab beliau menghendaki penduduk Mekah meneyrah dengan damai dan tidak menghendaki adanya peperangan terhadap kaumnya di Mekah.
Kisah Hathib bin Abi Balta’ah

Sebagaimana kita ketahui bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat merahasiakan peperangan ini dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menutup semua berita kepada kaum Quraisy, sebab beliau menghendaki penduduk Mekah menyerah dengan damai dan tidak menghendaki adanya peperangan terhadap kaumnya di Mekah. Akan tetapi, Hathib bin Abi Balta’ah radhiallahu ‘anhu demi kemaslahatan diri dan keluarganya mengirim surat ke Mekah lewat seorang wanita memberitahukan kepada keluarganya dan penduduk Mekah tentang tujuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wahyu datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perbuatan Hathib ini, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Ali, Zubair, dan Miqdad radhiallahu ‘anhum untuk mengejar wanita tersebut sebelum tiba di Mekah. Seraya berkata, “Berangkatlah kalian hingga sampai di Raudhah Khah, di sana ada seorang wanita membawa surat.”

Tatkala mereka mendapati wanita itu di tempat tersebut, mereka meminta kepadanya untuk menyerahkan surat tetapi dia mengingkari bahwa dirinya tidak membawa surat, maka mereka mengatakan, “Keluarkan surat itu atau kami buka pakaianmu.” Lalu dia (wanita itu) mengeluarkannya dari jalinan rambutnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Hathib radhiallahu ‘anhu, “Kenapa engkau melakukan ini, wahai Hathib?” Dia menjawab, “Saya tidak melakukannya karena murtad atau cinta kekafiran, tetapi saya hendak memiliki penolong dari Quraisy yang dapat menjaga kerabat saya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia jujur.” Adapun Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Izinkan saya bunuh orang munafik ini, wahai Rasulullah.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Sesungguhnya dia ikut Perang Badar. Tahukah kamu, sesungguhnya Allah berkata, ‘Beramallah kalian hai ahli badar, sungguh Aku telah mengampuni dosa kalian’.” Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat,

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai wali yang kalian cintai padahal mereka kafir.” (QS. Al-Mumtahanan: 1)

Maka Umar radhiallahu ‘anhu menangis menyesali perkataannya tersebut.

Mereka berangkat pada bulan Ramadhan tahun ke-8 dalam keadaan berpuasa hingga tiba di Kudaid lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dan menyuruh para sahabat untuk berbuka puasa.

Sebagaimana biasa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala meninggalkan Madinah, maka beliau memilih khalifah di Madinah Abu Ruhmin Kulsum bin Hushain.
Pembesar Quraisy Masuk Islam

Sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya tiba di Mekah beberapa tokoh Quraisy bertemu beliau untuk masuk Islam yang semula mereka akan menuju ke Madinah di antaranya Abu Sufyan bin Haris sepupu beliau dan Abdullah bin Abi Umayyah radhiallahu ‘anhu –dahulu bersama Abu Jahal- menghalangi Abu Thalib mengatakan syahadat.

Juga paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Abbas radhiallahu ‘anhu, bersama keluarganya bertemu dengan beliau untuk hijrah ke Madinah. Abbas radhiallahu ‘anhu telah masuk Islam sebelum itu, tetapi beliau tetap tinggal di Mekah karena maslahat dakwah.

Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya Abbas radhiallahu ‘anhu telah masuk Islam sebelum Perang Khaibar pada tahun ke-6, tetapi beliau menyembunyikan Islamnya karena maslahat dakwah dan menjadi mata-mata bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Quraisy di Mekah.”

Ibnu Hajar berkata, “Sesungguhnya Umar radhiallahu ‘anhu tidak memasukkan Abbas radhiallahu ‘anhu dalam anggota majlis syura karena beliau tidak hijrah sebelum fathu makkah padahal Umar radhiallahu ‘anhu mengetahui keutamaannya dan pernah bertawassul dengannya dalam istiqa.

Pelajaran dari Kisah

Sesungguhnya dalam kisah para sahabat terdapat ibrah (pelajaran) bagi orang-orang yang datang sesudah mereka. Di antara ibrah yang kita ambil dari kisah dia atas antara lain:

    Abu Sufyan tidak memaksakan kehendaknya pada putrinya dengan melarangnya menikah dengan Rasulullah dan tidak menghukum anaknya ketika melipat tikar padahal dia pembesar Quraisy dan tokoh kufur.
    Wala’ hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya sekalipun kerabat atau manusia murka.
    Semua yang terjadi pada sahabat, meski tampaknya tidak baik, atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menjelaskan hukum syariat berkaitan dengan peristiwa tesebut, seperti kisah Hathib radhiallahu ‘anhu.
    Fathu makkah menyingkap tabir syubhat yang menghalangi manusia dari Islam, maka tidak ada kebaikan bagi yang tidak masuk Islam setelah fathu makkah hingga akhir zaman.
    Seorang yang mulia terkadang melakukan pelanggaran namun tidak kafir karenanya, sebab kejelakannya tenggelam dalam lautan kebaikannya.

Lihat Sirah Nabawiyyah oleh Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad: 535-541.

Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 8 Tahun Ke-11 1433

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Kepemimpinan Umar bin Khaththab

Popular Posts

Category