ALHIJAZ INDOWISATA TRAVEL | PAKET UMROH MURAH PROMO 2016 2017 - INFO HARGA BIAYA UMROH MURAH - HAJI ONH PLUS - HAJI BATAL GANTI

Tlp. 021-91693870 | Telkomsel. 081219395680 | Indosat. 085743682680 | PIN BB. 7CF96624

Umroh Murah| Umroh Promo | Travel Umroh Murah Promo Jakarta | Umroh Murah Awal Ramadhan, Akhir Ramadhan 2016 | Info Harga Paket Umroh Murah Promo 2016 2017

Paket Umroh Murah Promo 2016 2017 | Harga Umroh Promo Murah 2016 | Info Biro Travel Umroh Murah Promo Jakarta | Jadwal Keberangkatan Wisata Umroh Murah Promo 2016 2017

Menggoncang Kesombongan Kafir Qurais

Menggoncang Kesombongan Kafir Qurais



Kesombongan akan berakhir dengan kehinaan, kesewenang-wenangan akan berakhir dengan kekalahan dan menyerah. Yang menyiksa, mengusir, dan memerangi berbalik menjadi yang tersiksa, terusir, dan diperangi. Yang menang berubah menjadi kalah dan sebaliknya. Itulah hari-hari berlalu digilir oleh Allah, sebagaimana ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Alquran.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memusatkan perhatian kepada Quraisy untuk menghancurkan mereka sebagai balasan atas kejahatan mereka. Perlu diketahui, pangkal kekuatan Quraisy terdapat pada perdagangan mereka dari kedua jalur. Adakalanya beliau berangkat sendiri memimpin pasukan dan adakalanya mengutus para sahabatnya untuk memerangi (sebagaimana mereka telah memerangi dan mengambil harta Muhajirin ed.) dan memanfaatkan harta mereka baik dalam perjalanan kafilah keluar dari Mekah atau sekembalinya dari perdagangan. Tujuannya agar Quraisy dan seluruh umat Islam sepanjang zaman mengetahui bahwa agama Islam dan ahlinya (pemeluknya) bukanlah orang-orang yang hina di hadapan musuh-musuhnya. Juga, supaya umat manusia menyadari bahwa kekuatan dan kemuliaan adalah milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Mengutus Sa’ad bin Aabi Waqqash
Diriwayatkan oleh Al-Waqidi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah Sa’ad, “Berangkatlah engkau, wahai Sa’ad hingga sampai ke Hirar (sebelah timur Madinah) karena rombongan dagang Quraisy akan lewat di sana.” Maka berangkatlah Sa’ad bin Abi Waqqash memimpin 20 orang sahabat. Ternyata setiba di Hirar rombongan dagang Quraisy telah berlalu sehari sebelumnya. Sa’ad berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikat janji denganku untuk tidak melampaui Hirar. Seandainya bukan karena itu maka akan kususul mereka.”

Perang Abwa atau Waddan
Sebelum ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengirim utusan perang yang disebut dengan sariyah sedang beliau di Madinah. Adapun pada kesempatan ini, beliau sendiri yang berangkat memimpin pasukan perang.

Pada bulan Shafar tahun ke-2 Hijriah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk menghadang rombongan dagang Quraisy dan juga bermaksud memerangi Bani Dhamrah hingga beliau tiba di Abwa namun tidak terjadi pertempuran. Ini merupakan kesempatan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdamai dengan Bani Dhamrah dari Suku Kinanah agar tidak memerangi beliau dan tidak membantu musuh dalam memerangi beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis perjanjian ini dan diserahkan kepada pemimpin mereka, Mahsyi bin Amr adh-Dhamri. Inilah perang pertama kali yang diikuti oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar (Al-Fath, 15:142)

Pasukan Ubaidah bin Harits
Peperangan ini adalah kelanjutan dari Perang Abwa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bendera perang kepada Ubaidah bin Harits untuk memimpin 60 orang dari kaum Muhajirin. Ubaidah berangkat hingga menemui rombongan besar Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan atau Ikrimah bin Abi Jahal pada sebuah sumur di Hijaz (antara Madinah dengan Mekah). Mereka saling memanah. Di pihak kaum muslimin, Saad bin Abi Waqqash yang pada saat itu melontarkan panah. Dengan demikian, beliaulah yang pertama kali melontarkan panah di jalan Allah dalam Islam. Kemudian mereka bubar.

Perang Buwath
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat memimpin 200 orang sahabatnya untuk menghadang rombongan dagang Quraisy yang dipimpin oleh Umayyah bin Kholaf yang berkekuatan 100 orang Quraisy dan 2500 ekor unta hingga beliau sampai di Buwath, salah satu gumang Juhainah di arah Rodhwa. Lalu beliau kembali tatkala tidak menemukan kafilah Quraisy dan tidak terjadi pertempuran. Peperangan ini terjadi pada bulan Robi’ul Awal tahun ke-2 Hijriah.

Perang Badar Pertama
Tatkala Kurzu bin Jabir al-Fihri menyerang dan merampas hewan ternak di pinggiran kota Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar mengejarnya hingga beliau tiba di lembah Safwan di wilayah Badar tetapi beliau tidak mendapatinya. Maka beliau kembali ke Madinah. Ada juga yang menyebut bahwa perang ini terjadi sebelum Perang Dzul Usyairah.

Perang Dzul Usyairah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat memimpin 150 atau 200 orang sahabat untuk menghadang kafilah dagang Quraisy dalam perjalanan menuju ke Syam hingga beliau tiba di Usyairah di wilayah Yanbu (sebelah timur Madinah). Ternyata kafilah telah berlalu. Dan kafilah dagang Quraisy ini juga dihadang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala kembali dari Syam tetapi luput juga. Inilah yang menjadi sebab Perang Badar Kubra (besar).

Pada perang ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdamai dengan Bani Mudlij dan sekutu mereka dari Bani Dhamrah lalu beliau kembali ke Madinah tanpa terjadi pertempuran. Perang ini terjadi pada bulan Jumadil Awal tahun ke-2 Hijriah.

Perang Nakhlah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abdullah bin Jahsy pada bulan Rajab untuk memimpin delapan orang sahabat dari kaum Muhajirin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuliskan surat untuknya dan beliau memerintahkannya agar tidak membuka surat tersebut hingga ia telah berjalan selama dua hari dengan tujuan untuk memperkuat rahasia dan agar seorang pun tidak ada yang mengetahui kemana mereka akan pergi. Tatkala Abdullah bin Jahsy membuka surat itu ternyata isinya adalah perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar terus berjalan hingga sampai di Nakhlah, antara Mekah dengan Tha’if dan hanya beberapa kilometer dari Mekah. Ini menunjukkan bahwa para sahabat tidak hanya menghadang kafilah dagang Quraisy di jalur Utara (menuju Syam) saja, tetapi mereka pun menghadang jalur perjalanan kafilah Quraisy ke arah Selatan (menuju Yaman). Ketika mereka di Nakhlah lewatlah kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Ibnul Hadhrami. Maka para sahabat bermusyawarah apakah menyerang kafilah tersebut ataukah tidak, karena waktu itu adalah hari terakhir dari bulan Rajab (di antara bulan yang haram untuk melakukan peperangan). Mereka khawatir akan timbul fitnah jika mereka menyerang. Di sisi lain, para sahabat memandang bahwa apabila tidak menyerang pada malam itu, maka kafilah akan masuk di wilayah haram untuk berlindung dari serangan. Dengan alasan ini para sahabat sepakat untuk menyerang mereka dan merampas harta mereka. Waqid bin Abdullah at-Tamimi memanah Amr bin Hadhrami (ketua rombongan Quraisy) hingga terbunuh. Kaum muslimin berhasil menawan dua pemimpin mereka lalu dibawa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan mereka, beliau tidak memerintahkan mereka untuk berperang pada bulan haram dan beliau tidak mau menerima dua tawanan dan rampasan mereka sehingga para anggota pasukan muslim itu mengira bahwa diri mereka telah binasa karena kesalahan itu. Dan dengan kejadian ini maka Quraisy menyebarkan isu bahwa Muhammad dan sahabatnya menghalalkan perang pada bulan haram dengan membnuh, merampas harta, dan menawan. Maka Allah menurunkan ayat,

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan-bulan haram maka katakanlah bahwa berperang pada bulan-bulan tersebut adalah dosa besar. Akan tetapi, menghalangi manusia di jalan Allah, kekafiran, dan menghalangi manusia dari Masjidil Haram serta mengusir penghuninya adalah lebih besar dosanya di sisi Allah, dan fitnah (kufur dan syirik) itu lebih besar dosanya daripada membunuh pada bulan haram…” (QS. Al-Baqarah: 217-218)

Dengan ayat ini Allah memberi jalan keluar bagi kaum muslimin dari kesempitan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menerima tawaran itu.

Ketika Quraisy bermaksud untuk menebus dua tawanan ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi syarat kepada mereka agar penebusan dilakukan sepulangnya Sa’ad bin Abi Waqqash dan Utbah bin Ghazawan. Beliau mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua, jangan-jangan telah dibunuh oleh Quraisy. Kedua sahabat ini meninggalkan rombongan pada saat itu karena mencari unta mereka yang hilang.

Pelajaran dari Kisah

Dua ayat di atas menerangkan bahwa kejahatan kaum Quraisy yaitu: kufur, menghalangi manusia dari jalan Allah dan dari Masjidil Haram, mengusir Rasulullah dan para sahabatnya dari Mekah, menindas, menyiksa, dan memfitnah mereka agar murtad dan Islam kepada kekafiran jauh lebih besar dosanya di sisi Allah ketimbang apa yang dilakukan oleh para sahabat yaitu berperang di bulan Haram. Jika demikian besar kejahatan Quraisy terhadap kaum muslimin maka tiadk ada celaan bagi sahabat yang memerangi mereka di bulan haram.
Pelajaran yang lain bahwa orang-orang kafir dan orang-orang sesat menggunakan dan menjunjung tinggi sebuah dalil atau sebuah undang-undang apabila dalil itu menguntungkan dan memberi maslahat bagi mereka. Adapun jika dalil merugikan mereka, maka mereka tolak dengan mengingkarinya atau menakwilnya (memalingkan maknanya) dan yang sebenarnya.
Ayat ini juga menjelaskan bahwa tiadk ada kompromi dengan orang-orang musyrik para pelaku kejahatan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan siasat surat rahasia –bukan yang dikenal dengan surat kaleng- menunjukkan bahwa harus melakukan taktik dan sebab-sebab yang mendatangkan kemenangan dan menunjukkan bahwa Islam telah jauh lebih dahulu dari perang orang-orang yang baru mengenal uslub surat rahasia ini pada perang dunia ke-2.
Pasukan Nakhlah bisa disebut sebagai pasukan berani mati karena mereka menghadang kafilah dagang Quraisy di tempat yang sangat dekat dengan daerah pemukiman mereka yaitu Mekah. (Siroh Dr. Mahdi: 1:403-404)
Syubhat dan Bantahannya

Ada syubhat (kekeliruan paham) yang muncul berkaitan dengan tindakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat menghadang, memerangi, dan merampas kafilah dagang Quraisy. Ada yang menyangka bahwa perbuatan ini adalah mirip dengan perbuatan jahat para perampok dan para pembajak yang merusak, menakut-nakuti, mengganggu keamanan, merampok, dan membunuh.

Jawabannya: Tuduhan itu bisa dibenarkan jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan tindakan ini kepada semua orang. Adapun karena dilakukan kepada Quraisy, tidak dianggap sebagai kejahatan karena Quraisy sedang dalam keadaan perang melawan kaum muslimin. Di antara siasat perang yang berlaku hingga zaman sekarang untuk melumpuhkan kekuatan musuh adalah dengan memerangi kekuatan perekonomiannya dan para tokohnya. Sedangkan rombongan dagang Quraisy ke Syam dan Yaman adalah yang terbesar dan terbanyak dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pembesar pilihan Quraisy yang ahli perang dan ahli menunggang kuda. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sahabat-sahabatnya yang terbaik dalam perang-perang tersebut. Terlebih lagi kalau mengingat kejahatan Quraisy terhadap kaum muslimin di Mekah dan merampas harta mereka ketika hijrah ke Madinah, tentu tindakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut makin bisa dimaklumi.

Kewajiban Puasa

Imam ath-Thabari berkata, “Pada tahun kedua Hijriah puasa Ramadhan diwajibkan. Ada yang mengatakan bahwa ia diwajibkan pada bulan Sya’ban pada tahun itu.”

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika tiba di Madinah mendapati orang-orang Yahudi berpuasa asyura. Maka beliau berpuasa asyura dan memerintahkan kepada orang-orang untuk berpuasa. Tatkala turun perintah puasa Ramadhan, beliau memberi pilihan kepada orang-orang untuk berpuasa atau tidak. (HR. Bukhari: 4503 dan Muslim: 1125)

Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 10 Tahun ke-8 1430 H/2009

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Kilab bin Umaiyah

Kilab bin Umaiyah

Kilab bin Umaiyah


Seorang laki-laki bernama Kilab bin Umayyah bin Askar. Dia memiliki ayah dan ibu yang sudah tua. Dia menyiapkan susu untuk keduanya tiap pagi dan petang hari. Kemudian datanglah dua orang menemui Kilab, mereka membujuknya untuk pergi berperang. Ternyata Kilab tertarik dengan ajakan tersebut, lalu dia membeli seorang hamba sahaya untuk menggantikannya mengasuh kedua orang tuanya. Setelah itu Kilab pun pergi berjihad.

Suatu malam, hamba sahaya tersebut datang dan membawa gelas jatah susu petang hari kepada ibu dan bapak Kilab, ketika keduanya sedang tidur. Dia menunggu sesaat dan tidak membangunkannya lalu pergi. Di tengah malam keduanya terbangun dalam keadaan lapar, bapak Kilab berkata,

“Dua orang telah memohon kepada Kilab dengan kitabullah. Keduanya telah bersalah dan merugi. Kamu meninggalkan bapakmu yang kedua tangannya gemetar, dan ibumu tidak bisa minum dengan nikmat. Jika merpati itu bersuara di lembah Waj karena telur-telurnya, kedunya mengingat Kilab. Dia didatangi oleh dua orang yang membujuknya. Wahai hamba-hamba Allah, sungguh keduanya telah durhaka dan merugi. Aku memanggilnya lalu dia berpaling dengan menolak. Maka dia tidak berbuat yang benar. Sesungguhnya ketika kamu mencari pahala selain dari berbakti kepadaku, hal itu seperti pencari air yang memburu fatamorgana. Apakah ada kebaikan setelah menyia-nyiakan kedua orang tua? Demi bapak Kilab, perbuatannya tidak dibenarkan.”

Jika ada orang luar Madinah yang datang ke kota Madinah, Umar bin Khatab radhiallahu ‘anhu selalu menanyakan tentang berita-berita dan keadaan mereka. Umar bertanya kepada salah seorang yang datang, “Dari mana?” Orang itu menjawab, “Dari Thaif.” Umar bertanya, “Ada berita apa?” Orang itu menjawab, “Aku melihat seorang laki-laki berkata (laki-laki ini menyebut ucapan bapak Kilab di atas).” Umar menangis dan berkata, “Sungguh Kilab mengambil langkah yang keliru.”

Kemudian bapak Kilab, Umaiyah bin Askar dengan penuntunnya menemui Umar yang sedang di masjid. Dia mengatakan, “Aku dicela. Kamu telah mencelaku tiada batas, dan kamu tidak tahu penderitaan yang kurasakan. Jika kamu mencelaku, maka kembalikanlah Kilab manakala dia berangkat ke Irak. Pemuda mulia dalam kesulitan dan kemudahan, kokoh dan tangguh pada hari pertempuran. Tidak, demi bapakmu, cintaku kepadamu tidaklah usang. Begitu pula harapanku dan kerinduanku kepadamu. Seandainya kerinduan yang mendalam membelah hati, niscaya hatiku telah terbelah karena kerinduan kepadanya. Aku akan mengadukan al-Faruq (maksudnya Umar bin Khattab) kepada Tuhannya yang telah menggiring jamaah haji ke tanah berbatu hitam. Aku berdoa kepada Allah dengan berharap pahala dari-Nya di lembah Akhsyabain sampai air hujan mengalirinya. Sesungguhnya al-Faruq tidak memanggil Kilab untuk pulang kepada dua orang tua yang sedang kebingungan.”

Umar menangis, lalu beliau menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari agar memulangkan Kilab ke Madinah. Abu Musa berkata kepada Kilab, “Temuilah Amirul Mukminin Umarbin Khattab.” Kilab menjawab, “Aku tidak melakukan kesalahan, tidak pula melindungi orang yang bersalah.” Abu Musa berkata, “Pergilah!”

Kilab pulang ke Madinah. Ketika Umar bertemu dengannya, beliau mengatakan, “Sejauh mana kamu berbuat baik kepada orang tuamu?” Kilab menjawab, “Aku mementingkannya dengan mencukupi kebutuhannya. Jika aku hendak memerah susu untuknya, maka aku memilih onta betina yang paling gemuk, paling sehat dan paling banyak susunya. Aku mencuci puting susu onta itu, dan barulah aku memerah susunya lalu menghidangkannya kepada mereka.”

Umar mengutus orang untuk menjemput bapaknya. Bapak Kilab datang dengan tertatih-tatih dan menunduk. Umar bertanya kepadanya, “Apa kabarmu, wahai Abu Kilab?” Dia menjawab, “Seperti yang Anda lihat wahai Amirul Mukminin.” Umar bertanya, “Apakah kamu ada kepeluan?” Dia menjawab, “Aku ingin melihat Kilab. Aku ingin mencium dan memeluknya sebelum aku mati.” Umar menangis dan berkata, “Keinginanmu akan tercapai insya Allah.”

Kemudian Umar memerintahkan Kilab agar memerah susu onta untuk bapaknya seperti yang biasa dia lakukan. Umar menyodorkan gelas susu itu kepada bapak Kilab sambil berkata, “Minumlah ini, wahai bapak Kilab.” Ketika bapak Kilab mendekatkan gelas ke mulutnya, dia berkata, “Demi Allah, aku mencium bau kedua tangan Kilab.” Umar mengatakan, “Ini Kilab, dia ada di sini. Kami yang menyuruhnya pulang.” Bapak Kilab menangis dan Umar bersama orang-orang yang hadir juga menangis. Mereka berkata, “Wahai Kilab, temani kedua orang tuamu.” Maka Kilab tidak pernah lagi meninggalkan mereka sampai wafat.

Ditulis oleh Nurfitri Hadi, S.S.,M.A.
Artikel KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Tsumamah bin Utsal

Tsumamah bin Utsal

Tsumamah bin Utsal 


Di tahun keenam hijriyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat memperluas wilayah cakupan dakwah beliau kepada Allah, maka beliau menulis delapan surat kepada raja-raja Arab dan Ajam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkannya kepada mereka untuk menyeru mereka kepada Islam.

Di antara orang yang mendapat surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Tsumamah bin Utsal al-Hanafi.

Tidak mengherankan karena Tsumamah adalah salah seorang pembesar orang-orang Arab di Zaman jahiliyah.

Salah seorang pemuka Bani Hanifah yang terpandang.

Salah seorang raja Yamamah yang perintahnya senantiasa ditaati.

Tsumamah menerima surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sikap angkuh dan melecehkan. Harga dirinya kepada dosa terpicu, maka dia menutup kedua telinganya rapat-rapat agar tidak mendengar dakwah kepada kebaikan dan kebenaran itu.

Kemudian setan menguasai Tsumamah, dia membujuknya agar ia membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menggubur dakwahnya bersamanya. Dia mulai mencari peluang untuk membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dia mendapatkan kesempatan itu. Kejahatan buruk ini hampir terlaksana jika saja salah seorang paman Tsumamah tidak mengurungkan niat Tsumamah di kesempatan terakhirnya, sehingga Allah menyelamatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari keburukannya.

Tsumamah, bila dia bisa menghentikan niat jahatnya terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dia tidak bisa menghentikannya pada diri para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Tsumamah mengincar mereka, sehingga dia berhasil menangkap beberapa orang dari mereka dan membunuh mereka secara emosional, sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghalalkan darahnya dan mengumumkannya di hadapan para shahabatnya.

Tidak lama setelah itu Tsumamah berniat untuk menunaikan ibadah umrah, maka dia berangkat meninggalkan bumi Yamamah menuju Mekah, dia sudah membayangkan akan melaksanakan thawaf dan menyembelih kurban untuk berhalanya.

Ketika Tsumamah dalam perjalanan menuju Mekah di dekat kota Madinah, dia mendapatkan sebuah musibah yang tidak pernah dia duga sebelumnya.

Sebuah pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berpatroli di sekeliling Madinah, yang bertugas menjaga keamanan dari serangan mendadak dari musuh atau melindunginya dari pelanggaran orang yang membawa keburukan, memergoki perjalanan Tsumamah.

Pasukan ini menawannya, sementara mereka tidak mengenal siapa dia, pasukan ini membawanya ke Madinah, mengikatnya di salah satu tiang masjid, menunggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan melihat perkara tawanan ini dan menetapkan perintahnya padanya.

Manakala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke masjid, dan hampir masuk ke dalamnya, beliau melihat Tsumamah terikat di sebuah tiang, maka beliau bersabda, “Apakah kalian tahu siapa dia?”

Mereka menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.”

Beliau berkata, “Ini Tsumamah bin Utsal al-Hanafi, tawanlah dia dengan baik.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang ke keluarga beliau seraya bersabda, “Kumpulkanlah makanan lezat yang kalian miliki dan hidangkalah kepada Tsumamah bin Utsal.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar onta beliau diperah di pagi dan sore hari lalu susunya disuguhkan kepada Tsumamah.

Semua itu dilakukan kepada Tsumamah sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengannya dan sebelumnya beliau berbicara kepadanya.

Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Tsumamah, beliau ngin menyerunya kepada Islam secara perlahan, beliau bertanya kepadanya, “Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?”

Dia menjawab, “Aku mempunyai kebaikan wahai Muhammad, jika kamu membunuh maka kamu membunuh pemilik darah, namun jika kamu memberi maaf maka kamu memberi maaf  kepada orang yang berterima kasih. Jika kamu ingin harta, maka katakan saja niscaya kamu akan kami berikan apa yang kamu inginkan.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkannya dalam keadaan demikian selama dua hari. Makanan dan minuman lezat selalu disuguhkan kepadanya, susu onta tetap diperah untuknya. Kemudian Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya kembali, beliau bertanya, “Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?”

Tsumamah menjawab, “Aku hanya mempunyai apa yang aku katakan sebelumnya. Jika kamu memberi maaf maka kamu memberi maaf kepada orang yang berterima kasih, jika kamu membunuh maka kamu membunuh pemilik darah. Jika kamu menginginkan harta, maka mintalah niscaya akan kami beri seberapapun yang kamu mau.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, di hari berikutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang lagi kepadanya, beliau bertanya kepadanya, “Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?”

Dia menjawab, “Aku mempunyai apa yang telah aku katakan kepadamu. Jika kamu memberi maaf maka kamu memberi maaf kepada orang yang berterima kasih, jika kamu membunuh maka kamu membunuh pemilik darah. Jika kamu menginginkan harta, maka mintalah niscaya kami akan memberi seberapa saja yang kamu mau.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat para shahabatnya dan bersabda, “Lepaskan Tsumamah.” Maka mereka membuka ikatannya dan melepaskannya.

Tsumamah meninggalkan masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berlalu sampai tiba di sebuah kebun kurma di pinggir Madinah dekat al-Baqi’[1] yang ada mata airnya. Tsumamah menghentikan kendaraannya di sana. Dia bersuci dengan menggunakan airnya secara baik, kemudian membalikkan langkahnya menuju masjid.

Begitu dia tiba di masjid, dia berdiri di hadapan sekumpulan orang dari kaum muslimin dan berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhaq di sembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.”

Selanjutnya Tsumamah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Muhammad, demi Allah di muka bumi ini tidak ada wajah yang paling aku benci melebihi wajahmu, namun sekarang wajahmu menjadi wajah yang paling aku cintai. Demi Allah, tidak ada agama yang paling aku benci melebihi agamamu, namun saat ini agamu menjadi agama yang paling aku cintai. Demi Allah tidak ada negeri yang paling aku benci melebihi negerimu, namun saat ini ia menjadi negeri yang paing aku cintai.”

Kemudian dia menambahkan, “Dulu aku pernah membunuh beberapa orang dari shahabat-shahabatmu, apa yang harus aku pikul karenanya?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak ada dosa atasmu wahai Tsumamah, karena Islam menghapus apa yang sebelumnya.”

Maka wajah Tsumamah berbinar, dia berkata, “Demi Allah, aku akan melakukan terhadap orang-orang musyrikin sesuatu yang jauh lebih berat daripada apa yang telah aku lakukan terhadap shahabat-shahabatmu. Aku meletakkan pedangku, jiwaku, dan orang-orangku demi membelamu dan membela agamamu.”

Kemudian Tsumamah berkata, “Ya Rasulullah, pasukanmu menangkapku, pada saat itu aku hendak melaksanakan umrah, menurutmu apa yang aku lakukan?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Teruskan umrahmu namun di atas syariat Allah dan rasul-Nya.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan manasik umrah kepadanya.

Tsumamah melanjutkan langkahnya untuk melaksanakan niatnya, dia tiba di lembah Mekah, maka dia berdiri mengangkat suaranya dengan lantang, “Labbaika Allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarika laka.”

Muslim pertama di muka bumi yang masuk Mekah dengan bertalbiyah.

Orang-orang Quraisy mendengar suara talbiyah, maka mereka hamburan keluar penuh dengan kemarahan dan kekhawatiran, pedang-pedang ditarik dari sarungnya, mereka menuju sumber suara untuk membungkam pemiliknya yang telah mengganggu kandang mereka.

Manakala orang-orang datang kepada Tsumamah, dia pun lebih meninggikan suara talbiyahnya sambil memandang mereka penuh dengan kebangaan. Beberapa anak muda Quraisy berniat melepaskan anak panah kepadanya, namun para pemuka Quraisy mencegah mereka. Para pemuka Quraisy berkata, “Celaka kalian, apakah kalian tahu siapa orang ini? Dia adalah Tsumamah bin Utsal, Raja Yamamah, demi Allah, kalau kalian mencelakainya niscaya kaumnya akan memutuskan pengiriman gandum kepada kita, akibatnya kita akan mati kelaparan.”

Kemudian orang-orang mendekati Tsumamah setelah mereka memasukkan pedang-pedang ke dalam sarung masing-masing, mereka bertanya, “Ada apa denganmu wahai Tsumamah? Apakah kamu telah menjadi shabi’ dan meninggalkan agamamu dan agama leluhurmu?”

Maka Dia menjawab, “Aku tidak menjadi shabi’, tetapi aku mengikuti agama terbaik, aku mengikuti Muhammad.”

Tsumamah menambahkan, “Aku bersumpah demi Ilah Ka’bah ini, setelah aku pulang ke Yamamah tidak ada lagi pengiriman sebiji gandum pun atau sebagian dari hasil buminya sebelum kalian semuanya menikuti Muhammad.”

Tsumamah bin Utsal melaksanakan umrah di hadapan orang-orang Quraisy seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dia menyembelih dam untuk mendekatkan diri kepada Allah bukan untuk berhala-berhala. Setelah dia tiba di tengah kaumnya, dia memerintahkan mereka agar menahan gandum agar tidak dikirim kepada orang-orang Quraisy, mereka pun menaati dan mengikuti perintahnya, mereka menahan hasil bumi mereka dari orang-orang Mekah.

Embargo yang ditetapkan oleh Tsumamah atas Quraisy mulai berdampak terhadap mereka sedikit demi sedikit, harga makanan mulai melambung, kelaparan menyebar di kalangan masyarakat, kesulitan mendera mereka, sehingga mereka khawatir atas diri mereka dan anak-anak mereka akan mati kelaparan.

Pada saat itu mereka menulis surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang isinya:

“Yang kami tahu tentangmu adalah bahwa kamu penyambung tali silaturahim dan memerintahkan untuk melakukannya. Namun sekarang kamu telah memutuskan rahim-rahim kami, kamu membunuh bapak-bapak kami dengan pedang, dan mematikan anak-anak kami dengan kelaparan. Tsumamah bin Utsal telah memutus pengiriman gandum sehingga hal itu menyulitkan kami. Jika kamu berkenan untuk menulis kepadanya agar dia mengirim apa yang kami perlukan, maka lakukanlah.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis kepada Tsumamah agar mengirimkan kembali gandum kepada orang Quraisy, maka dia pun melakukannya.

Tsumamah bin Utsal selama hidupnya tetap setia kepada agamanya, menjaga janjinya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Manakala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan orang-orang Arab mulai murtad meninggalkan Islam, baik sendiri-sendiri maupun berjamaah dan Musailamah muncul di antara Bani Hanifah menyeru mereka agar beriman kepadanya, Tsumamah menghadangnya, dia berkata kepada kaumnya, “Wahai Bani Hanifah, jauhilah perkara gelap yang tidak mempunyai cahaya ini. Demi Allah ia adalah kesengsaraan yang Allah tetapkan atas siapa yang mengambilnya dari kalian dan ujian bagi siapa yang tidak mengambilnya.”

Kemudian dia berkata, “Wahai Bani Hanifah, tidak berkumpul dua orang nabi dalam satu waktu. Bahwa Muhammad adalah utusan Allah yang tiada Nabi sesudahnya, tiada nabi yang berserikat dengannya.”

Kemudian dia membacakan firman Allah Ta’ala:

“Haa Miim. Alquran ini diturunkan dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, yang mengampuni dosa dan menerima taubat lagi keras hukumanNya yang mempunyai karunia. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Hanya keadaNyalah semua makhluk kembali.” (Q.S. Ghafir: 1-3).

Kemudian dia berkata, “Bagaimana mungkin firman Allah Ta’ala ini dibandingkan dengan ucapak Musailamah, “Wahai kodok, bersihkanlah apa yang kamu bersihkan, bukan makanan yang kamu halangi dan bukan air yang kamu keruhkan.”

Kemudian Tsumamah menyingkir bersama orang-orang yang masih memegang Islam dari kaumnya, dia berperang melawan orang-orang murtad demi menegakkan jihad di jalan Allah dan meninggikan kalimat-Nya di muka bumi.

Semoga Allah membalas Tsumamah bin Utsal atas jasa baiknya kepada Islam dan kaum muslimin dengan kebaikan serta memuliakannya dengan surga yang dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa.[2]

Diketik ulang oleh Abu Abdillah Ridwansyah As-Slemani dari buku Mereka Adalah Para Sahabat Penulis DR. Abdurrahman Ra’fat Basya Penerbit At-Tibyan

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Ath Thaufail bin Amru

Ath Thaufail bin Amru

Ath Thaufail bin Amru


Ath-Thufail bin Amru ad-Dausi adalah kepala kabilah Daus di masa jahiliyah, salah seorang pemuka orang-orang Arab yang berkedudukan tinggi, satu dari para pemilik muru’ah yang diperhitungkan orang banyak.

Panci miliknya tidak pernah turun dari api karena senantiasa di pakai untuk memasak dalam rangka menjamu tamu dan pintu rumahnya tidak pernah tertutup dari tamu yang mengetuk untuk bermalam.

Dia adalah potret manusia yang memberi makan orang yang lapar, memberi rasa aman bagi orang yang takut, dan memberi perlindungan kepada orang yang memerlukan perlindungan.

Di samping itu, dia adalah seorang sastrawan cerdik lagi ulung, seorang penyair dengan ilham besar dan perasaan lembut, mengenal dengan baik kata-kata yang manis dan pahit, dimana kalimat berperan padanya layaknya sihir.

Ath-Thufail meninggalkan kampung halamannya di Tihamah[1] menuju Mekah pada saat terjadi pertentangan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  dengan orang kafir Quraisy, di saat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha menyampaikan dakwah Islam kepada penduduknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka kepada Allah, senjata beliau adalah iman dan kebenaran. Sementara orang-orang kafir Quraisy memerangi dakwah beliau dengan segala macam senjata, menghalang-halangi manusia darinya dengan berbagai macam cara.

At-Thufail melihat dirinya masuk ke dalam pertentangan ini tanpa persiapan, menerjuni lahannya tanpa dia kehendaki sebelumnya.

Dia tidak datang ke Mekah untuk tujuan tersebut, perkara  Muhammad dan orang-orang Quraisy tidak pernah terbesit dalam pikirannya sebelum ini.

Dari sini ath-Thufail bin Amru ad-Dausi mempunyai    kisah dengan pertentangan ini yang tidak terlupakan. Kita simak kisah tersebut, karena ia termasuk kisah yang sangat menarik.

Ath-Thufail berkisah,

Aku datang ke Mekah, begitu para pembesar Quraisy melihatku, mereka langsung menghampiriku, menyambutku dengan sangat baik dan menyiapkan tempat singgah yang terbagus bagiku.

Kemudian para pemuka dan pembesar Quraisy mendatangiku sembari berkata, “Wahai Thufail, sesungguhnya kamu telah datang ke negeri kami, dan laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai nabi itu telah merusak urusan kami dan memecah-belah persatuan kami serta mencerai-beraikan persaudaraan kami. Kami hanya khawatir apa yang menimpa kami ini akan menimpamu sehingga mengancam kepemimpinanmu atas kaummu. Oleh karena itu, jangan berbicara dengan laki-laki itu, jangan mendengar apa pun darinya, karena dia mempunyai kata-kata seperti sihir, memisahkan seorang anak dari bapaknya, seorang saudara dari saudaranya, seorang istri dari suaminya.”

Ath-Thufail berkata,

Demi Allah, mereka terus menceritakan berita-beritanya yang aneh, menakut-nakutiku atas diri dan kaumku dengan perbuatan-perbuatan Muhammad yang terkutuk dan tercela sampai aku pun bertekad bulat untuk tidak mendekat kepadanya, tidak berbicara dengannya dan tidak mendengar apa pun darinya.

Manakala aku berangkat ke Masjidil Haram untuk melakukan thawaf di Ka’bah dan mencari keberkahan kepada berhala-berhala yang kepada merekalah kami menunaikan ibadah haji dan kepada merekalah kami mengagungkan, aku menyumbat kedua telingaku dengan kapas karena aku takut ada perkataan Muhammad yang menuyusup ke telingaku.

Begitu aku masuk masjid, aku melihat Muhammad sedang berdiri. Dia shalat di Ka’bah dengan shalat yang berbeda dengan shalat kami, beribadah dengan ibadah yang berbeda dengan ibadah kami, pemandangan itu menarik perhatianku, ibadanya menggugah nuraniku. Tanpa sadar aku melihat diriku telah mendekat kepadanya sedikit demi sedikit, sehingga tanpa kesengajaan diriku telah benar-benar dekat kepadanya.

Allah pun membuka hatiku, sebagian apa yang diucapkan Muhammad terdengar olehku, aku mendengar ucapan yang sangat indah. Aku berkata kepada diriku, “Celaka kamu wahai Thufail, sesungguhnya kamu adalah laki-laki penyair yang cerdas, kamu mengetahui yang baik dan yang buruk, apa yang menghalangimu untuk mendengar ucapan laki-laki ini? Jika apa yang dia bawa itu baik, maka kamu harus menerimanya, jika buruk maka kamu harus membuangnya.”

Ath-Thufail berkata, “Aku diam sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan tempatnya menuju rumahnya, aku mengikutinya sampai dia masuk ke dalam rumahnya dan aku pun masuk kepadanya. Aku berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya kaumku telah berkata tentangmu begini dan begini. Demi Allah, mereka terus menakut-nakuti dari ajaranmu sampai aku menutup kedua telingaku dengan kapas agar aku tidak mendengar kata-katamu. Kemudian Allah menolak itu semua dan membuatku mendengar sebagian dari ucapanmu. Aku melihatnya baik, maka jelaskan ajaranmu kepadaku.”

Di saat itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan agamanya kepadaku, beliau membacakan surat al-Ikhlas dan al-Falaq. Demi Allah, aku tidak pernah mendengar sbuah ucapan yang lebih bagus dari ucapannya, aku tidak melihat sebuah perkataan yang lebih adil daripada perkaranya.

Pada saat itu aku ulurkan tanganku untuknya, aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, aku masuk Islam.”

Ath-Thufail berkata,

Kemudian aku tinggal di Mekah beberapa waktu. Selama di sana aku belajar ajaran-ajaran Islam dan aku menghafal Alquran yang mungkin untuk aku hafal. Ketika aku berniat untuk pulang ke kabilahku, aku berkata, “Rasulullah, sesungguhnya aku ini adalah laki-laki yang ditaati di kalangan kaumku, aku akan pulang untuk mengajak mereka kepada Islam. Berdoalah kepada Allah agar Dia memberiku sebuah bukti untuk mendukungku dakwahku kepada mereka.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah berikanlah dia sebuah bukti.”

Aku pun pulang kepada kaumku, ketika aku tiba di sebuah tempat yang dekat dengan perkampunganku, tiba-tiba secercah cahaya muncul di keningku seperti lampu, maka aku berkata, “Ya Allah, pindahkanlah ia ke tempat lain, karena aku khawatir mereka akan mengira bahwa ini merupakan hukuman yang menimpa wajahku karena aku meninggalkan agama mereka.”

Maka cahaya itu berpindah ke ujung semetiku, orang-orang melihat cahaya tersebut di ujung cemetiku seperti lampu yang tergantung, aku turun kepada mereka dari sebuah jalan di bukit. Manakala aku tiba di perkampungan, bapakku yang sudah berumur lanjut menyambutku, aku berkata kepadanya, “Menjauhlah engkau dariku, aku bukan termasuk golonganmu dan engkau bukan termasuk golonganku.”

Bapakku bertanya, “Mengapa wahai anakku?”

Aku menjawab, “Aku telah masuk Islam, aku mengikuti Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Dia berkata, “Anakku, agamamu adalah agamaku juga.”

Aku berkata, “Pergilah, mandilah dan sucikanlah pakaianmu, kemudian kemarilah aku akan mengajarimu apa yang aku ketahui.”

Maka bapakku pun pergi, dia mandi dan menyucikan bajunya, kemudian dia datang dan aku menjelaskan Islam kepadanya dan dia masuk Islam.

Kemudian istriku datang kepadaku, aku berkata kepadanya, “Menjauhlah dariku, aku bukan termasuk golonganmu dan kamu bukan termasuk golonganku.

Dia bertanya, “Bapak dan ibumu sebagai jaminanku, mengapa?”

Aku menjawab, “Islam memisahkan antara diriku dengan dirimu, aku telah mengikuti Muhammad.”

Dia berkata, “Agamamu adalah agamaku.”

Aku berkata, “Pergilah dan jauhilah air Dzi asy-Syura.”[2]

Dia berkata, “Bapak dan ibuku sebagai jaminanku, apakah kamu takut sesuatu terhadap wanita ini karena Dzi asy-Syura?”

Aku menjawab, “Celaka kamu dan celaka juga Dzi asy-Syura, aku katakan kepadamu, ‘Pergilah, mandilah di sana jauh dari penglihatan orang-orang aku menjamin bahwa batu pejal itu tdak akan melakukan apa pun terhadapmu.”

Dia pun pergi untuk mandi, kemudian dia datang, aku menjelaskan Islam kepadanya, maka dia masuk Islam.

Kemudian aku mengajak kaumku Daus, namun mereka tidak menjawab dengan segera, kecuali Abu Hurairah, dia adalah orang yang paling cepat menjawab seruanku.

Ath-Thufail berkata,

Aku datang bersama Abu Hurairah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Di saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Hati kaummu masih tertutupi sekat tebal dan kekufuran yang keras. Orang-orang Daus telah dikuasai oleh kefasikan dan kemaksiatan.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri mengambil air, beliau wudhu kemudian mengerjakan shalat, beliau mengangkat kedua tangan beliau ke langit. Abu Hurairah berkata, “Manakala aku melihat beliau melakukan itu, aku takut beliau berdoa buruk atas kaumku, akibatnya mereka akan binasa. Maka aku berkata, ‘Celaka kaumku.”

Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada Daus. Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada Daus. Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada Daus.”

Kemudian beliau menoleh kepada ath-Thufail dan berkata, “Pulanglah kepada mereka, serulah mereka kepada Islam dengan lemah lembut.”

Ath-Thufail berkata,

Aku terus tinggal di kampung Daus, aku mengajak mereka kepada Islam sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah. Perang Badar, Uhud, dan Khandaq berlalu. Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama delapan puluh keluarga dari Daus yang telah masuk Islam dan mereka konsisten terhadap ajaran Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbahagia dengan kehadiran kami, beliau memberikan bagian dari harta rampasan perang Khaibar kepada kami sama dengan kaum muslimin lainnya.

Kami berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, jadikanlah kami sebagai sayap kanan pasukanmu dalam setiap peperangan yang engkau terjuni. Jadikanlah syiar kami, ‘Mabrur.”

Ath-Thufail berkata,

Setelah itu aku terus bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai Allah Ta’ala membuka Mekah untuk beliau. Aku berkata, “Ya Rasulullah, tugasilah aku ke Dzul Kafain untuk menghancurkan berhala Amru bin Hamamah, aku ingin menghancurkannya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya, ath-Thufail berangkat dengan sebuah pasukan yang terdiri dari kaumnya.

Ketika ath-Thufail tiba di sana, dia hendak membakarnya, kaum laki-laki wanita dan anak-anak memperhartikannya, mereka berharap ath-Thufail akan ditimpa keburukan, mereka berharap sebuah halilintar menyambarnya jika dia menghancurkan Dzul Kafain.

Namun ath-Thufail tetap bergerak maju kepada berhala tersebut di hadapan tatapan mata para pemujanya.

Ath-Thufail menyalakan api, membakar dada berhala itu sambil bersyair,

Wahai Dzul Kafain, aku tidak termasuk pemujamu

Kelahiran kami mendahului kelahiranmu

Sesungguhnya aku membakar dadamu dengan api.

Api melahap berhal itu, sekaligus melahap sisa-sisa syirik yan ada pada kabilah Daus, maka mereka semuanya masuk Islam dan mereka pun memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam.

Setelah itu ath-Thufail bin Amru ad-Dausi senantiasa mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau wafat dan berpulang ke hadapan Rabbnya.

Setelah itu khilafah berpindah ke tangan Abu Bakar, ath-Thufail memberikan jiwanya, pedangnya dan anaknya dalam menaati khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika perang Riddah berkecamuk ath-Thufail berada di barisan depan bala tentara kaum muslimin untuk memerangi Musailamah al-Kadzdzab, putranya pun ikut bersamanya.

Ketika dia sedang menuju Yamamah, ath-Thufail bermimpi, dia berkata kepada kawan-kawannya, “Aku bermimpi, tolong jelaskan kepadaku apa artinya?”

Mereka bertanya, “Mimpi apa?”

Dia berkata, “Aku bermimpi kepalaku dicukur, seekor burung keluar dari mulutku, seorang wanita memasukkanku ke dalam perutnya, anakku Amru mencari-cari diriku dengan gigih namun antara diriku dengan dirinya terdapat penghalang.”

Mereka berkata, “Itu mimpi yang baik.”

Selanjutnya ath-Thufail berkata, “Aku sudah bisa mengartikan makna mimpiku. Kepalaku dicukur, artinya ia dipotong. Seekor burung keluar dari mulutku, artinya arwahku meninggalkan jasadku. Wanita yang memasukkanku ke dalam perutnya adalah bumi yang digali lalu aku dikubur di sana. Anakku yang gigih mencariku, artinya dia mengharapkah syahadah yang akan aku dapatkan dengan izin Allah, anakku akan mendapatkannya kelak.”

Di perang Yamamah, shahabat yang mulia Amru bin ath-Thufail ad-Dausi berperang dengan gigih, memperlihatkan kepahlawanannya dengan gagah berani, sampai dia gugur sebagai syahid di bumi perang Yamamah.

Adapun anaknya, Amru, maka dia terus berperang sampai tubuhnya penuh luka, tangan kananya terpotong, dia pulang ke Madinah meninggalkan bapaknya sementara tangan kanannya dikubur di bumi Yamamah.

Di masa khilafah Umar bin al-Khatthab, Amru bin ath-Thufail datang menemuinya, tatkala makanan dihidangkan kepada al-Faruq sementara orang-orang yang duduk di sekelilingnya dipersilahkan untuk menyantap hidangan, Amru justru malah menjauh darinya. Maka al-Faruq bertanya kepadanya,

“Ada apa dengan dirimu? Apakah kamu menjauh dari makanan ini karena kamu merasa malu kepada tanganmu?”

Dia menjawab, “Benar wahai Amirul Mukminin.”

Umar pun berkata, “Demi Allah, aku tidak menyantap makanan ini sehingga kamu mencampurnya melalui bagian tanganmu yang terputus itu. Demi Allah, di antara yang hadir ini tidak ada seseorang yang sebagian organnya telah tinggal di surga selainmu –maksudnya adalah tangannya-.

Impian syahadah terus berkibar dalam angan-angan Amru sejak dia berpisah dari bapaknya. Perang Yarmuk[3] tiba, Amru bin ath-Thufail bersegera berpartisipasi di dalamnya bersama orang-orang yang bersegera, dia berperang sehingga dia meraih syahadah yang diharapkan oleh bapaknya untuknya.

Semoga Allah merahmati ath-Thufail bin Amru ad-Dausi, seorang syahid dan bapak dari seorang syahid.[4]

Diketik ulang oleh Abu Abdillah Ridwansyah As-Slemani dari buku Mereka Adalah Para Sahabat Penulis DR. Abdurrahman Ra’fat Basya Penerbit At-Tibyan

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Said bin Amir al-Jumahi

Said bin Amir al-Jumahi

Said bin Amir al-Jumahi


Anak muda ini, Said bin Amir, adalah satu dari ribuan orang yang keluar ke daerah Tan’im di luar Mekah atas undangan para pemuka Quraisy untuk menyakikan pelaksanaan hukum mati atas khubaib bin Adi, salah seorang sahabat Muhammad setelah mereka menangkapnya dengan cara licik.

Sebagai pemuda yang kuat dan tangguh, Said mampu bersaing dengan orang-orang yang lebih tua umurnya untuk berebut tempat di depan, sehingga dia mampu duduk sejajar di antara para pemuka Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan lain-lainya yang menyelenggarakan acara tersebut.

Semua ini membuka jalan baginya untuk menyaksikan tawanan Quraisy yang terikat dengan tambang itu. Sementara tangan anak-anak, para pemuda, dan kaum wanita mendorongnya ke pelataran kematian dengan kuatnya, mereka ingin melampiaskan dendam kesumat terhadap Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, membalas kematian orang-orang mereka yang terbunuh di Badar dengan membunuh Khubaib.

Manakala rombongan besar dengan seorang tawanan tersebut telah tiba di tempat yang sudah disiapkan untuk membunuhnya, si anak muda Said bin Amir al-Jumahi berdiri tegak memandang Khubaib yang sedang digiring ke tiang salib. Said mendengar suara Khubaib di antara teriakan kaum wanita dan anak-anak, dia mendengarnya berkata, “Bila kalian berkenan membiarkanku shalat dua rakaat sebelum aku kalian bunuh?”

Said melihat Khubaib menghadap kiblat, shalat dua rakaat, dua rakaat yang sangat baik dan sangat sempurna.

Said melihat Khubaib menghadap para pembesar Quraisy dan berkata, “Demi Allah, kalau aku tidak khawatir kalian menyangka bahwa aku memperlama shalat karena takut mati, niscaya aku akan memperlama shalatku.”

Kemudia Said melihat kaumnya dengan kedua mata kepalanya mencincang jasad Khubaib sepotong demi sepotong padahal Khubaib masih hidup, sambil berkata, “Apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini sedangkan kamu selamat?[1]

Khubaib menjawab sementara darah menetes dari jasadnya, “Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam keadaan aman dan tenang sementara Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.”

Maka orang banyak pun mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi ke udara, teriakan mereka gegap gempita menggema di langit.

Di saat itu Said bin Amir melihat Khubaib mengangkat pandangannya ke langit dari atas tiang salib dan berkata, “Ya Allah, balaslah mereka satu persatu, bunuhlah mereka sampai habis, dan jangan biarkan seorang pun dari mereka hidup dengan aman.”

Akhirnya Khubaib pun menghembuskan nafas terakhirnya, dan tidak ada seorang pun yang mampu melindunginya dari tebasan pedang dan tusukan tombak orang-orang kafir.

Orang-orang Quraisy kembali ke Mekah, mereka melupakan Khubaib dan kematiannya bersama dengan datangya peristiwa demi peristiwa besar yang mereka hadapi.

Namun tiak dengan anak muda yang baru tumbuh ini, Said bin Amir, Khubaib tidak pernah terbenam dari benaknya sesaat pun.

Said melihatnya dalam mimpinya ketika dia tidur, membayangkannya dalam khayalannya ketika dia terjaga, berdiri di depannya ketika dia shalat dua rakaat dengan tenang dan tenteram di depan kayu salib, Said mendengar bisikan suaranya di keua telinganya ketika dia berdoa atas orang-orang Quraisy, maka dia khawatir sebuah halilintar akan menyambar atau sebuah batu dari langit akan jatuh menimpanya.

Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan sesuatu kepada Said tentang persoalan besar yang belum dia ketahui selama ini.

Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa kehidupan sejati adalah jihad di jalan akidah yang diyakininya sampai mati.

Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa iman yang terpancang kuat bisa melahirkan dan menciptakan keajaiban-keajaiban.

Khubaib mengajarkan kepadanya perkara lainnya, yaitu seorang laki-laki yang dicintai sedemikian rupa oleh para sahabatnya adalah seorang nabi yang di dukung oleh kekuatan dan pertolongan langit.

Pada saat itu Allah Ta’ala membuka dada Said bin Amir kepada Islam, maka dia berdiri di hadapan sekumpulan orang banyak, mengumumkan bahwa dirinya berlepas diri dari dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan orang Quraisy, menanggalkan berhala-berhala dan patung-patung menyatakan diri sebagai seorang muslim.

Said bin Amir al-Jumahi berhijrah ke Madinah tinggal bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ikut bersama beliau dalam perang khaibar dan peperangan lain sesudahnya.

Manakala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dipanggil menghadap keharibaan Rabbbnya alam keadaan ridha, Said bin Amir tetap menjadi sebilah pedang yang terhunus di tangan para khalifah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Said bin Amir hidup sebagai contoh menawan lagi mengagumkan bagi setiap mukmin yang telah membeli akhirat dengan dunia, mementingkan ridha Allah dan pahalaNya di atas segala keinginan jiwa dan hawa nafsu.

Dua orang khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenal kejujuran Said dan ketakwaannya, keduanya mendengar nasihatnya dan mencamkan kata-katanya.

Said datang kepada Umar bin al-Khatthab di awal khilafahnya, dia berkata, “Wahai Umar, aku berpesan kepadamu agar kamu bertakwa kepada Allah dalam bermuamalah dengan manusiadan jangan takut kepada manusia dengan melakukan kemaksiatan kepada Allah. Janganlah kata-katamu menyelisihi perbuatanmu, karena kata-kata yang baik adalah yang dibenarkan oleh perbuatan. Wahai Umar, perhatikanlah orang-orang yang Allah Ta’ala telah menyerahkan perkara mereka kepadamu, baik mereka dari kalangan kaum muslimin yang dekat maupun yang jauh, cintailah sesuatu yang bermanfaat untuk dirimu dan keluargamu, bencilah sesuatu yang mereka alami, yang kamu pun benci apabila hal itu terjadi kepada dirimu dan keluargamu, hadapilah kesulitan-kesulitan untuk menuju pada kebenaran dan jangan takut celaan orang-orang yang mencela ketika engkau berbuat ketaatan kepada Allah.”

Maka Umar menjawab, “Siapa yang mampu melakukannya wahai Said?”

Said berkata, “Hal itu bisa dilakukan oleh orang-orang sepertimu yang Allah Ta’ala serahi perkara umat Muhammad dan di antara dia dengan Allah tidak terdapat seorang pun.”

Pada saat itu Umar mengundang Said untuk mendukungnya, Umar berkata, “Wahai Said, aku menyerahkan kota Himsh kepadamu.” Maka Said menjawab, “Wahai Umar, dengan nama Allah aku memohon kepadamu agar mencoret namaku.”

Maka Umar marah, dia berkata, “Celaka kalian, kalian meletakkan perkara ini di pundakku kemudian kalian berlari dariku. Demi Allah, aku tidak akan membiarkanmu.”

Umar mengangkat Said sebagai gubernur Himsh, Umar bertanya kepadanya, “Aku akan mentapkan gaji untukmu.”

Said menjawab, “Apa yang aku lakukan dengan gaji itu wahai Amirul Mukminin? Pemberian dari baitul maal kepadaku melebihi kebutuhanku.” Said pun berangkat ke Himsh menunaikan tugasnya.

Tidak lama berselang, Amirul Mukminin Umar bin Khatthab didatangi oleh orang-orang yang bisa dipercaya dari penduduk Himsh, Umar berkata kepada mereka, “Tulislah nama penduduk miskin dari Himsh agar aku bisa membantu mereka.”

Mereka menulis dalam sebuah lembaran, di dalamnya tercantum nama fulan dan fulan serta Said bin Amir.

Umar bertanya, “Siapa Said bin Amir?”

Mereka menjawab, “Gubernur kami.”

Umar menegaskan, “Gubernur kalian miskin?”

Mereka menjawab, “Benar di rumahnya tidak pernah dinyalakan api dalam waktu yang cukup lama.”

Maka Umar menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, kemudia dia mengambil seribu dinar dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong. Umar berkata, “Sampaikan salamku kepadanya dan katakana kepadanya bahwa Amirul Mukminin mengirimkan harta ini agar kamu bisa menggunakannya untuk memenuhi kebutuhanmu.”

Delegasi pun pulang dan mendatangi rumah Said dengan menyerahkan kantong dari Umar bin Khatthab. Said melihatnya dan ternyata isinya adalah dinar, maka dia menyingkirkannya seraya berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Seolah-olah Said sedang ditimpa musibah besar atau perkara berat.

Istrinya datang tergopoh-gopoh dengan penuh kecemasan, dia berkata, “Apa yang terjadi wahai Said? Apakah Amirul Mukimin wafat?”

Said menjawab, “Lebih besar dari itu.”

Istrinya bertanya, “Aa yang lebih besar ?”

Said menjawab, “Dunia datang kepadaku untuk merusak akhiratku, sebuat fitnah telah menerpa rumahku.”

Istrinya berkata, “Engkau harus berlepas diri darinya,” Dia belum mengerti apa pun terkait dengan perkara dinar tersebut.

Said bertanya, “Kamu bersedia membantuku?”

Istrinya menjawab, “Ya”

Maka Said mengambil dinar itu, memasukkannya ke dalam kantong-kantong dan membagi-baginya kepada kaum muslimin yang miskin.

Tidak berselang lama setelah itu, Umar bin al-Khatthab datang ke negeri Syam untuk mengetahui keadaannya. Ketika Umar tiba di Himsh, kota ini juga dikenal dengan Kuwaifah, bentuk kecil dari Kufah, kota Himsh disamakan dengan Kufah karena banyaknya keluhan penduduknya terhadap para gubernurnya seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kufah, ketika Umar tiba di sana, orang-orang Himsh bertemu dengan Umar untuk memberi salam kepadanya. Umar bertanya, “Bagaimana dengan gubernur kalian?”

Maka mereka mengadukannya dan menyebutkan empat hal dari sikapnya, yang satu lebih besar daripada yang lain.

Umar berkata, “Maka aku mengumpulkan mereka dengan pribadi Sa’id sebagai gubernur mereka dalam sebuah majelis, aku memohon kepada Allah agar dugaanku kepadanya selama ini tidak salah, aku sangat percaya kepadanya. Ketika mereka dengan gubernur mereka berada di hadapanku, aku berkata, “Apa keluhan kalian terhadap gubernur kalian?”

Mereka menjawab, “Dia tidak keluar kepada kami kecuali ketika siang sudah naik.”

Aku berkata, “Apa jawabanmu wahai Said?”

Said diam sesaat kemudian berkata, “Demi Allah, aku sebenarnya tidak suka mengatakan hal ini, akan tetapi memang harus dikatakan. Keluargaku tidak mempunyai pembantu. Setiap pagi aku menyiapkan adonan mereka, kemudian aku menunggunya beberapa saat sampai ia mengembang, kemudian aku membuat roti untuk mereka, kemudian aku berwudhu dan keluar untuk masyarakat.”

Umar berkata, aku pun berkata kepada mereka, “Apa yang kalian keluhkan darinya juga?”

Mereka menjawab, “Dia tidak menerima seorang pun di malam hari.”

Said berkata, “Demi Allah, aku juga malu mengatakan hal ini. Aku telah memberikan siang bagi mereka, sedangkan malam maka aku memberikannya kepada Allah Ta’ala.

Aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”

Mereka menjawab, “Dia tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.”

Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”

Said menjawab, “Aku tidak mempunyai wahai Amirul Mukminin, aku pun tidak mempunyai pakaian selain yang melekat di tubuhku ini. Aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan menunggu sampai kering, baru kemudian aku keluar di sore hari.”

Kemudian aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”

Mereka menjawab, “Terkadang ia jatuh pingsan sehingga tidak ingat terhadap orang-orang di sekitarnya.”

Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”

Said menjawab, “Aku menyaksikan kematian Khubaib bin Adi ketika aku masih musyrik, aku melihat orang-orang Quraisy mencincang jasadnya sambil berkata kepadanya, ‘Apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini?’ Lalu dia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam keadaan tenang sedangkan Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.’ Demi Allah setiap aku teringat hari itu, yakni ketika aku membiarkannya dan tidak menolongnya sehingga aku senantiasa dikejar ketakutan bahwa Allah tidak akan mengampuniku, maka aku pun pingsan.”

Saat itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang membenarkan dugaanku kepadamu.”

Kemudian Umar memberinya seribu dinar agar dia gunakan untuk memenuhi kebutuhannya.

Istrinya melihatnya, dia pun berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mencukupkan kami dari pelayananmu, belilah kebutuhan kami dan ambillah seorang pelayan.”

Said berkata kepadanya, “Apakah kamu mau aku tunjukkan kepada yang lebih baik dari itu? Istrinya balik bertanya, “Apa itu?”

Said berkata, “Kita memberikan hatra tersebut kepada yang memberikannya kepada kita, kita lebih memerlukan hal (amalan) itu.”

Istrinya bertanya, “Apa maksudmu?”

Said menjawab, “Kita berikan kepada Allah dengan cara yang baik.”

Istrinya berkata, “Setuju dan semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”

Said tidak meninggalkan majelisnya hingga dia membagi dinar tersebut di beberapa kantong, lalu dia berkata kepada salah seorang anggota keluarganya, “Berikanlah ini kepada janda fulan, berikanlah ini kepada anak-anak yatim fulan, berikanlah ini kepada keluarga fulan, berikanlah ini kepada orang-orang miskin dari keluarga fulan.”

Semoga Allah meridhai Said bin Amir al-Jumahi, dia termasuk orang-orang yang mementingkan saudaranya sekalipun dia sendiri memerlukan.[2]

Diketik ulang oleh Abu Abdillah Ridwansyah As-Slemani

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Anas bin Malik

Anas bin Malik

Anas bin Malik


Usia Anas masih sangat muda, ketika ibunya al-Ghumaisha mentalqinnya dengan dua kalimat syahadat. Ibunya mengisi hatinya yang bersih dengan kecintaaan kepada Nabi al-Islam Muhammad bin Abdullah.

Maka di benak Anas pun mulai tumbuh rasa cinta kepada Rasul sekalipun dia belum pernah bersua dengan Nabi yang mulia tersebut, hanya mendengar kisah beliau sebatas dari orang ke orang.

Tidak mengherankan, karena terkadang telinga lebih dulu merindukan sesuatu daripada mata.

Betapa seringnya Anas kecil berangan bisa berkelana menemui Nabinya di Mekah atau beliau bisa dating kepada mereka di Yatsrib sehingga dia bisa berbahagia karena bisa melihatnya dan tenteram karena berjumpa dengannya.

Angan-angan itu dalam waktu dekat ternyata telah berubah menjadi kenyataan, Yatsrib yang membanggakan dan berbahagia mendengar bahwa Nabi dan shahabatnya, ash-Shiddiq, sedang dalam perjalanan ke arahnya. Maka keceriaan menaungi setiap rumah dan kebahagiaan menyelimuti semua hati.

Mata dan hati bergayut dengan jalan yang penuh berkah, jalan yang membawa langkah nabi dan shahabbatnya ke Yatsrib.

Anak-anak muda bergumam setiap cahaya pagi bersinar, Muhammad telah datang.

Maka Anas bersama anak-anak kecil lainnya berlari-lari hendak menyambutnya, namun dia pun pulang dengan sedih lagi kecewa.

Di suatu pagi yang indah yang penuh asa dan keceriaannya yang semerbak, orang-orang Yatsrib pun saling berbisik satu sama lain, “Muhammad dan shahabatnya telah berjalan mendekati Madinah.”

Maka orang banyak pun berhamburan ke jalan-jalan yang penuh berkah, jalan yang membawa Nabi petunjuk dan kebaikan kepada mereka.

Mereka berondong-bondong menyambut kedatangan beliau secara bergelombang, kelompok demi kelompok, disela-sela mereka ada sekumpulan anak-anak yang tak kalah bersemangat, wajah-wajah mereka dihiasi kebahagiaan dan menyatu dengan hati kecil mereka serta yang penuh suka cita memenuhi jiwa mereka yang jernih.

Di barisan depan anak-anak tersebut adalah Anas bin Malik al-Anshari.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shahabatnya ash-Shiddiq datang, keduanya berjalan di antara kumpulan orang-orang dewasa dan anak-anak dalam rombongan yang besar.

Adapun kaum wanita dan gadis-gadis remaja yang biasa tinggal di rumah, mereka naik ke atap-atap rumah, mereka ingin melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bergumam, “Yang Mana dia? Yang mana dia?”.

Hari itu adalah hari yang tidak terlupakan. Anas bin Malik senantiasa mengingatnya sampai dia berumur seratus tahun lebih.

Tidak lama setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Madinah, al-Ghumaisha binti Milhan, datang kepada beliau dengan disertai Anak anak laki-lakinya yang masih kanak-kanak, anak laki-laki itu berlarian di depan ibunya dengan ujung rambut yang jatuh di keningnya.

Al-Ghumaisha mengucapkan salam kepada Nabi dan dia berkata, “Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semua laki-laki dan wanita dari Anshar telah memberimu hadiah, tetapi aku tidak mempunyai apa pun yang bisa aku jadikan hadiah untukmu selain anak laki-lakiku ini. Terimalah dia, dan dia akan berkhidmat kepadamu sesuai dengan apa yang engkau inginkan.”

Nabi berbahagia, beliau memandang anak muda ini dengan wajah berseri-seri, beliau mengusap kepalanya dengan tangan beliau yang mulia, menyentuh ujung rambutya dengan jari-jemari beliau yang lembut dan beliau menganggapnya sebagai keluarga.

Anas bin Malik atau Unais (Anak kecil), begitu terkadang mereka memanggilnya sebagai ungkapan sayang kepadanya, berumur sepuluh tahun manakala dia berbahagia bisa berkhidmat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Anas hidup di samping Nabi dan berada di bawah bimbingan beliau sampai Nabi berpulang ke ar-Rafiq al-A’la yaitu selama kurang lebih 10 tahun.

Selama itu Anas memperoleh bimbingan dari Nabi yang dengannya dia menyucikan jiwanya, mwmahami hadits beliau yang memenuhi dadanya, mengenal akhlak beliau yang agung, rahasia-rahasia dan sifat-sifat terpuji beliau yang tidak dikenal oleh orang lain.

Anas bin Malik mendapatkan perlakuan yang mulia dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak pernah diperoleh oleh seorang anak dari bapaknya. Mengenyam keluhuran perangai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keangungan sifat-sifatnya yang membuat dunia patut untuk iri kepadanya.

Biarkanlah Anas sendiri yang menyampaikan sebagian lembaran cemerlang dari perlakuan mulia yang dia dapatkan di bawah naungan seorang nabi yang pemurah dan berhati mulia, karena Anas lebih tahu tentangnya dan lebih berhak untuk menceritakannya.

Anas bin Malik berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya, paling lapang dadanya dan paling besar kasih sayangnya. Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan, aku berangkat, tetapi aku menuju anak-anak yang sedang bermain di pasar dan bukan melaksanakan tugas Rasul, aku ingin bermain bersama mereka, aku tidak pergi menunaikan perintah yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beberapa saat setelah berada di tengah-tengah anak-anak itu, aku merasa seseorang berdiri di belakangku dan memegang bajuku. Aku menoleh, ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tersenyum, beliau bersabda, “Wahai Unais, apakah kamu telah pergi seperti yang aku perintahkan?” Maka aku pun salah tingkah aku menjawab, “Ya, sekarang aku berangkat wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Demi Allah, aku telah berkhidmat kepada beliau selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang aku lakukan, “Mengapa kamu melakukan ini?” Beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang aku tinggalkan, “Mengapa kamu tinggalkan ini?”

Bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Anas, terkadang beliau memanggilnya dengan Unais sebagai ungkapan cinta dan kasih sayang, dan di lain waktu Nabi memanggilnya, Wahai anakku.

Nabi memberikan nasihat-nasihat dan petuah-petuah beliau yang memenuhi hati dan jiwanya.

Di antara nasihat-nasihat itu adalah sabda Nabi kepadanya:

“Wahai anakku, jika kamu mampu mendapatkan pagi dan petang sementara hatimu tidak membawa kebencian kepada seseorang, maka lakukanlah. Wahai anakku, sesungguhnya hal itu termasuk sunahku, barangsiapa menghidupkan sunahku maka dia mencintaiku. Barangsiapa mecintaiku maka berarti dia bersamaku di surga. Wahai anakku, jika kamu masuk kepada keluargamu maka ucapkanlah salam, karena ia merupakan keberkahan bagimu dan keluargamu.”

Anas bin Malik hidup setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat selama delapan puluh tahun lebih, selama itu Anas mengisi dada umat dengan ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung dan menumbuhkan akal pikiran mereka dengan fikih kenabian.

Selama itu Anas menghidupkan hati umat dengan petunjuk Nabi yang dia sebarkan diantara para sahabat dan tabiin, dengan sabda-sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berharga dan perbuatan-perbuatan beliau yang mulia yang dia tebarkan di antara manusia.

Dengan umurnya yang panjang, Anas menjadi rujukan bagi kaum muslimin di masa hidupnya, mereka bertanya kepada Anas tentang hal itu, Anas pun berkata, “Aku tidak pernah menyangka akan bisa hidup sehingga aku melihat orang-orang seperti kalian yang berdebat dalam perkara telaga Nabi, sungguh aku telah meninggalkan wanita-wanita tua di belakangku, setiap dari mereka tidak melakukan shalat terkecuali dia memohon kepada Allah agar memberinya minum dari telaga Nabi.

Anas bin Malik terus hidup bersama kenangannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kehidupan berlangsung.

Dia sangat berbahagia pada hari pertemuannya dengan beliau, sangat bersedih di hari perpisahannya dengan beliau, sangat sering mengulang-ulang sabda beliau.

Dia sangat bersungguh-sungguh untuk mengikuti beliau dalam sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan beliau, mecintai apa yang beliau cintai, membenci apa yang beliau benci. Dua hari yang paling diingat oleh Anas dalam hidupnya: Hari pertama kali pertemuannya dengan Nabi dan hari perpisahannya dengan beliau untuk terakhir kali.

Bila Anas teringat hari pertama, maka dia berbahagia dan bersuka cita, namun jika hari kedua terlintas di benaknya maka dia menangis berduka, membuat orang-orang yang di sekelilingnya ikut menangis.

Anas sering berkata, “Sungguh aku telah melihat hari dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada kami dan aku juga melihat hari di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kami. Aku tidak melihat dua hari yang menyerupai keduanya. Hari kedatangan belau di Madinah, segala sesuatu di sana bercahaya. Tetapi di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir menghadap kepada Rabbya, segala sesuatu terasa gelap gulita.

Pandangan terakhirku kepada beliau terjadi di hari Senin, ketika kain penutup kamar beliau dibuka, aku melihat wajah beliau seperti kertas mushaf, pada saat itu banyak orang berdiri di belakang, Abu Bakar memberi isyarat kepada mereka agar tetap berada di tempat.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat di pagi hari itu. Kami tidak pernah melihat suatu pemandangan yang paling kami kagumi daripada wajah beliau manakala kami memasukkan tanah ke kubur beliau.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa untuk Anas bin Malik lebih dari sekali.

Di antara doa Nabi untuknya:

“Ya Allah, limpahkanlah harta dan anak kepadanya, berkahilah dia padanya.”

Allah Ta’ala mengabulkan doa Nabi. Anas menjadi orang Anshar yang palik banyak hartanya, paling banyak keturunannya, sampai-sampai dia melihat anak-anak dan keturunannya melebihi angka seratus.

Allah Ta’ala memberkahi umurnya sehingga dia hidup selama 103 tahun.

Anas sangat berharap mendapatkan syafaat Nabi di hari Kiamat, Anas sering berkata, “Sesungguhnya aku berharap bisa bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Kiamat, lalu aku berkata kepada beliau, “Aku adalah pelayan kecilmu, Unais.”

Ketika Anas sakit, sebelum wafatnya, dia berkata kepada keluarganya, “Talqinlah aku dengan Laa Ilaaha Illallaah, Muhammadur Rasulullaah.” Maka Anas senantiasa mengucapkannya sampai dia meninggal.

Anas mewasiatkan agar mengubur tongkat kecil milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersamanya, maka tongkat itu diletakkan disampingnya.

Selamat untuk Anas bin Malik al-Anshari yang telah mendapatkan limpahan kebaikan dari Allah. Dia hidup dalam bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung selama sepuluh tahun sempurna.

Dia adalah orang ketiga setelah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semoga Allah membalasnya dan membalas ibunya atas apa yang dia berikan untuk Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baiknya balasan.

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Khalid bin Walid

Popular Posts

Category