ALHIJAZ INDOWISATA TRAVEL | PAKET UMROH MURAH PROMO 2016 2017 - INFO HARGA BIAYA UMROH MURAH - HAJI ONH PLUS - HAJI BATAL GANTI

Tlp. 021-91693870 | Telkomsel. 081219395680 | Indosat. 085743682680 | PIN BB. 7CF96624

Umroh Murah| Umroh Promo | Travel Umroh Murah Promo Jakarta | Umroh Murah Awal Ramadhan, Akhir Ramadhan 2016 | Info Harga Paket Umroh Murah Promo 2016 2017

Paket Umroh Murah Promo 2016 2017 | Harga Umroh Promo Murah 2016 | Info Biro Travel Umroh Murah Promo Jakarta | Jadwal Keberangkatan Wisata Umroh Murah Promo 2016 2017

Sumayyah binti Khayyat

Sumayyah binti Khayyat



Dialah Sumayyah binti Khayyat, hamba sahaya dari Abu Hudzaifah bin Mughirah. Beliau dinikahi oleh Yasir, seorang pendatang yang kemudian menetap di Mekkah, sehingga tak ada kabilah yang dapat membelanya, menolongnya, dan mencegah kezaliman atas dirinya. Dia hidup sebatang kara, sehingga posisinya sulit di bawah aturan yang berlaku pada masa jahiliah.

Begitulah Yasir mendapati dirinya menyerahkan perlindungannya kepada Bani Makhzum. Beliau hidup dalam kekuasaan Abu Hudzaifah, yang dia dinikahkan dengan budak wanita bernama Sumayyah, tokoh yang kita bicarakan ini, dan beliau hidup bersamanya serta tenteram bersamanya. Tidak berselang lama dari pernikahannya, lahirnya anak mereka berdua yang bernama Ammar dan Ubaidullah.

Tatkala Ammar hampir menjelang dewasa dan sempurna sebagai seorang laki-laki, beliau mendengar agama baru yang didakwahkan oleh Muhammad bin Abdullah kepada beliau. Berpikirlah Ammar bin Yasir sebagaimana yang dipikirkan oleh penduduk Mekkah, sehingga kesungguhan beliau dalam berpikir dan lurusnya fitrah beliau, menggiringnya untuk memeluk dinul Islam.

Ammar kembali ke rumah dan menemui kedua orang tuanya dalam keadaan merasakan lezatnya iman yang telah terpatri dalam jiwanya. Beliau menceritakan kejadian yang beliau alami hingga pertemuannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menawarkan kepada keduanya untuk mengikuti dakwah yang baru tersebut. Ternyata, Yasir dan Sumayyah menyahut dakwah yang penuh berkah tersebut dan bahkan mengumumkan keislamannya. Sumayyah pun menjadi orang ketujuh yang masuk Islam.

Dari sinilah dimulainya sejarah yang agung bagi Sumayyah binti Khayyat, yang bertepatan dengan permulaan dakwah Islam dan sejak fajar terbit untuk yang pertama kalinya.
Penyiksaan kaum kafir Quraisy kepada Sumayyah binti Khayyat

Bani Makhzum mengetahui akan hal itu, karena Ammar dan keluarganya tidak memungkiri bahwa mereka telah masuk Islam, bahkan mereka mengumumkan keislamannya dengan kuat sehingga orang-orang kafir tidak menanggapinya melainkan dengan pertentangan dan permusuhan.

Bani Makhzum segera menangkap keluarga Yasir dan menyiksa mereka dengan bermacam-macam siksaan agar mereka keluar dari din mereka, mereka memaksa dengan cara mengeluarkan mereka ke padang pasir tatkala keadaannya sangat panas dan menyengat. Mereka membuang Sumayyah ke sebuah tempat dan menaburinya dengan pasir yang sangat panas, kemudian meletakkan di atas dadanya sebongkah batu yang berat. Akan tetapi, tiada terdengar rintihan atau pun ratapan, melainkan ucapan, “Ahad … Ahad ….” Sumayyah binti Khayyat ulang-ulang kata tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Yasir, Ammar, dan Bilal.

Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaksikan keluarga muslim tersebut yang tengah disiksa dengan kejam, maka beliau menengadahkan ke langit dan berseru,

“Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.”

Sumayyah binti Khayyat mendengar seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bertambah tegar dan optimis. Dengan kewibawaan imannya, dia mengulang-ulang dengan berani, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar.”

Begitulah, Sumayyah binti Khayyat telah merasakan kelezatan dan manisnya iman sehingga bagi beliau kematian adalah sesuatu yang remeh dalam rangka memperjuangkan akidahnya. Hatinya telah dipenuhi kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala, maka dia menganggap kecil setiap siksaan yang dilakukan oleh para tagut yang zalim; mereka tidak kuasa menggeser keimanan dan keyakinannya, sekalipun hanya satu langkah semut.

Sementara Yasir telah mengambil keputusan sebagaimana yang dia lihat dan dia dengar dari istrinya,Sumayyah binti Khayyat pun telah mematrikan dalam dirinya untuk bersama-sama dengan suaminya meraih kesuksesan yang telah dijanjikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tatkala para tagut telah berputus asa mendengar ucapan yang senantiasa diulang-ulang oleh Sumayyah binti Khayyat maka musuh Allah Abu Jahal melampiaskan keberangannya kepada Sumayyah dengan menusukkan sangkur yang berada dalam genggamannya kepada Sumayyah binti Khayyat. Terbanglah nyawa beliau dari raganya yang beriman dan suci bersih. Beliau adalah wanita pertama yang syahid dalam Islam. Beliau gugur setelah memberikan contoh baik dan mulia bagi kita dalam hal keberanian dan keimanan, beliau telah mengerahkan segala yang beliau miliki dan menganggap remeh kematian dalam rangka memperjuangkan imannya. Beliau telah mengorbankan nyawanya yang mahal, dalam rangka meraih keridhaan Rabbnya. Mendermakan jiwa adalah puncak tertinggi dari kedermawanan.

Sumber: Mereka adalah Para Shahabiyah, Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Musthafa Abu An-Nashir Asy-Syalabi, Pustaka At-Tibyan, Cetakan ke-10, 2009.

Disertai penyuntingan bahasa oleh redaksi www.KisahMuslim.com

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Pernikahan Sahabat Nabi

Pernikahan Sahabat Nabi

Pernikahan Sahabat Nabi



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat berharga kepada segenap pemuda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kelompok pemuda yang tidak mempunyai apa-apa.” Beliau bersabda,

“Wahai sekalian pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah mampu maka menikahlah, karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu maka hendaknya ia berpuasa sebab puasa bisa menjadi perisai baginya.” (H.r. Bukhari, no. 5066; Muslim, no. 1400)

Karena itu, para pemuda tersebut segera menunaikan wasiat Rasulullah, betapapun kondisi sulit yang tengah mereka hadapi. Kitab-kita sirah menceritakan untuk kita contoh-contoh pernikahan dini mereka.

Kisah pernikahan Abdullah bin Amru bin Ash amat terkenal. Yakni, ketika ayahnya menikahkan dirinya dengan seorang perempuan dari kalangan Quraisy.

Abu Usaid As-Sa’di, saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan untuk pernikahannya, sebagaimana telah diuraikan di muka.

Jabir bin Abdillah bin Amru bin Haram. Kisahnya amat terkenal. Ia berkata, “Aku menikah dengan seorang perempuan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya, ‘Wahai Jabir, apakah kamu telah menikah?’ Aku menjawab, ‘Iya.’ Beliau bertanya, ‘Dengan perawan ataukah dengan janda?’ Aku menjawab, ‘Dengan janda.’ Beliau bertanya, ‘Mengapa kamu tidak menikah dengan seorang perawan, sehingga kamu bisa bercanda dengannya?’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku mempunyai beberapa orang saudara perempuan, dan aku khawatir jika istriku menjadi penghalang hubunganku dengan mereka.’ Beliau bersabda, ‘Sudah benar jika memang demikian. Sesungguhnya, seorang perempuan itu dinikahi karena agamanya, hartanya, dan kecantikannya. Hendaklah kamu mengutamakan perempuan yang memiliki agama, niscaya kamu tidak akan merugi.’”

Usahamah bin Zaid, sebagaimana tertuang dalam kisah Fathimah binti Qais. Dikisahkan, bahwa suaminya menalaknya tiga kali, sedangkan Rasulullah tidak menetapkan keberhakannya untuk mendapat tempat tinggal dan nafkah. Ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Jika kamu telah halal (selesai masa iddah), maka beritahukan kepadaku.’” Lalu, ia memberitahu beliau (ketika masa iddahnya telah selesai). Kemudian, Mu’awiyah maju melamarnya, juga Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid. Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah, ia seorang fakir dan Abu Jahm mudah memukul wanita. (Menikahlah) dengan Usamah bin Zaid.” Fathimah berkata dengan tangannya yang bergerak-gerak demikian, “Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya adalah lebih baik bagimu.” Fathimah berkata, “Maka aku pun menikah dengannya dan aku menjadi gembira.”

Pemuda yang lain adalah Umar bin Abi Salamah yang lahir dua tahun sebelum hijrah. Ia menikah selagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup dan ia telah bermimpi basah, lalu ia bertanya tentang hukum ciuman bagi orang yang sedang berpuasa.

Selanjutnya adalah Abdullah bin Abi Hadrad. Ia bercerita tentang diri pribadinya, bahwa ia menikah dengan seorang perempuan. Ia datang menemui Rasulullah untuk meminta bantuan terkait mahar si perempuan. Beliau bertanya, “Berapa banyak kamu memberinya mahar?” Ia menjawab, “Dua ratus dirham.” Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimnya dalam sebuah ekspedisi perang dan ia berhasil mendapat rampasan perang sejumlah mahar yang ia inginkan.”

Tidak ketinggalan, Abu Al-Yasar Ka’b bin Amru Al-Anshari. Para ahli sirah menetapkan bahwa anaknya masih termasuk golongan sahabat.

Sumber: Biografi Generasi Muda Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Muhammad bin Abdullah ad-Duwaisy, Zam-Zam, Cetakan 1, 2009.

Disertai penyuntingan bahasa oleh redaksi www.KisahMuslim.com

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Najasyi


Najasyi

Najasyi


Cerita Najasyi sebelumnya..

Najasyi bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib, “Apakah kalian membawa sesuatu yang dibawa oleh Nabi itu tentang Rabb-nya?” Beliau menjawab, “Ya, ada.” Najasyi berkata, “Tolong bacakan untuk kami”

Lalu Ja’far membacakan surat Maryam,

“Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Alquran, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, maka ia mengadakan tabir (yang) melindunginya dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata, ‘Sesungguhnya aku berlindung kepada Rabb yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.’ Ia (Jibril) berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Rabb-mu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.’ Maryam berkata, ‘Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina?’ Jibril berkata, ‘Demikianlah. Rabb-mu berfirman, ‘Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.” Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma; ia berkata, ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.’ Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, ‘Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Rabb-mu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.’” (Q.s. Maryam:16–24)

Tampaklah, Najasyi menangis terharu mendengarnya, demikian pula uskup-uskup yang hadir di situ hingga kitab-kitab mereka basah oleh tetesan air mata.

Najasyi berkata kepada utusan Quraisy tersebut, “Apa yang mereka bacakan kepada kami dan apa yang dibawa oleh Isa ‘alaihissalam berasal dari sumber yang sama. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka sama sekali kepada kalian selama aku masih hidup.” Kemudian dia bangkit dari singgasana dan pertemuan itu pun dibubarkan.

Keluarlah Amru bin Ash dengan gusar. Ia berkata kepada kawannya, “Demi Allah, Aku akan menghadap Najasyi lagi besok. Akan aku katakan sesuatu yang bisa membangkitkan amarahnya sampai ke dasar hatinya sehingga dia menghabisi mereka.”

Abdullah bin Abi Rabi’ah yang lebih lunak sikapnya berusaha mencegah, “Janganlah engkau melakukannya, wahai Amru! Bagaimana pun, mereka masih sanak famili kita meskipun berbeda paham dengan kita.”

Namun, Amru berkata, “Demi Allah, aku akan katakan bahwa mereka telah menyebutkan sesuatu yang buruk tentang Isa bin Maryam, mereka menyembunyikan sesuatu, mereka telah menuduh Isa, dan mengatakan bahwa Isa hanyalah seorang hamba.”

Sesuai yang direncakan, esok harinya Amru bin Ash menghadap kepada Najasyi dan berkata, “Tuanku, kemarin mereka telah menguraikan sesuatu tetapi menyembunyikan banyak hal lainnya. Mereka juga mengatakan bahwa Isa adalah hamba.”

Kaum muslimin kembali dipanggil ke istana. Mereka ditanya, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”

Ja’far menjawab, “Kami mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Najasyi berkata, “Bagaimana kata-katanya?”

Ja’far menjawab, “Beliau berkata bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah. Dia merupakan kalimatullah yang diletakkan pada diri Maryam, seorang perawan suci.”

Najasyi berkata, “Demi Allah, tidak ada pendapat kalian yang salah tentang Isa ‘alaihis salam seujung rambut pun.“

Terdengar bisikan-bisikan para uskup yang terkesan mengingkarinya. Najasyi memandang mereka dengan tajam lalu berkata tegas, “Aku tidak peduli dengan apa yang kalian bisikkan!” Beliau berkata kepada Ja’far dan kawan-kawannya, “Kalian boleh tinggal dengan aman di negeriku. Barang siapa berani menganggu kalian, akan aku tindak dengan tegas. Aku tidak sudi disuap dengan segunung emas untuk menganggu seorang pun di antara kalian.”

Beliau perintahkan kepada pengawalnya, “Kembalikan hadiah-hadiah dari Amru bin Ash dan kawannya itu! Aku tidak membutuhkannya. Allah tidak menerima suap dariku ketika aku dikembalikan ke negeriku. Untuk apa aku menerima suap dari mereka ini?”
Hampir saja terjadi pertumpahan darah dengan keputusan najasyi

Negeri Habasyah bergolak. Para uskup yang tidak puas dengan keputusan itu menyebarkan isu bahwa Najasyi telah meninggalkan agamanya dan mengikuti agama baru. Mereka juga menghasut rakyat agar menggulingkan rajanya. Beberapa lama, rakyat Habasyah diguncang oleh dilema besar tersebut. Bahkan beberapa orang ingin membatalkan bai’atnya kepada Najasyi.

Melihat hal itu, Najasyi mengabarkan situasi negeri kepada Ja’far bin Abi Thalib dan menyerahkan dua buah kapal. Setelah siap menghadapi para pembangkang, dikatakannya kepada kaum muslimin, “Naiklah kalian ke kapal itu, amati perkembangannya. Bila aku kalah, pergilah ke mana kalian suka. Akan tetapi, kalau aku menang, kalian boleh kembali dalam perlindungan seperti semula.”

Selanjutnya, Najasyi mengambil sehelai kulit kijang dan menuliskan di atasnya, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang terakhir. Aku juga bersaksi bahwa Isa adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, ruh-Nya, dan kalimat-Nya yang ditiupkan kepada Maryam.” Dipakainya tulisan itu di dada, kemudian dia mengenakan pakaian perangnya dan pergi bersama para prajuritnya.

Berdirilah Najasyi menghadapi para penentang-penentangnya. Dia berkata, “Wahai rakyat Habasyah, katakanlah, bagaimana perlakuanku terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Sangat baik, Tuanku.” Najasyi berkata, “Lalu mengapa kalian menentangku?”

Mereka berkata, “Karena Anda telah keluar dari agama kita dan mengatakan bahwa Isa adalah seorang hamba.” Najasyi berkata, “Bagaimana menurut kalian sendiri?” Mereka menjawab, “Dia adalah putra Allah.”

Maka Najasyi mengeluarkan tulisan yang dipakainya di dada diletakkan di atas meja dan berkata: “Aku bersaksi bahwa Isa bin Maryam tidaklah lebih dari yang tertulis di sini.” Di luar dugaan, ternyata rakyat menerima dengan senang pernyataan Najasyi. Mereka membubarkan diri dengan lega.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin percaya kepada Najasyi. Penghargaan Najasyi terhadap Muhajirin yang datang ke negerinya dan membuat mereka aman dalam perlindungannya, menggembirakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi setelah mendengar kecondongannya kepada Islam dan keyakinannya akan kebenaran Alquran. Hubungan Najasyi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin erat.

Memasuki tahun baru 7 Hijriah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkehendak untuk berdakwah kepada enam orang pemimpin negeri tetangga agar mau masuk agama Islam. Beliau menulis untuk mengingatkan mereka akan iman serta menasihatkan tentang bahaya syirik dan kekufuran. Maka beliau menyiapkan enam orang sahabat.

Terlebih dahulu, mereka mempelajari bahasa kaum yang hendak didatangi agar dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna. Setelah siap, keenam shahabat tersebut berangkat pada hari yang sama. Di antara mereka ada Amru bin Umayah Adh-Dhamari yang diutus kepada Najasyi di negeri Habasyah.

Sampailah Amru bin Umayah Adh-Dhamari di hadapan Najasyi. Dia memberi salam secara Islam dan Najasyi menjawabnya dengan lebih indah serta menyambutnya dengan baik.

Setelah dipersilakan duduk di majelis Habasyah, Amru bin Umayah memberikan surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Najasyi dan langsung dibacanya. Di dalamnya tertulis ajakan kepada Islam, disertai beberapa ayat Alquran. Najasyi menempelkan surat itu di kepala dan matanya dengan penuh hormat. Setelah itu, dia turun dari singgasana dan menyatakan keislamannya di depan hadirin. Selesai mengucapkan syahadat, dia berkata, “Kalau saja aku mampu untuk mendatangi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya aku akan duduk di hadapan beliau dan membasuh kedua kakinya.” Kemudian beliau menulis surat jawaban pendek kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi pernyataan menerima dakwahnya dan keimanan atas kenabiannya.

Selanjutnya, Amru bin Umayah menyodorkan surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kedua. Dalam surat itu Rasulullah minta agar Najasyi bertindak sebagai wakil untuk pernikahan beliau dengan Ramlah binti Abu Sufyan yang termasuk rombongan Muhajirin ke Habasyah.

Sepintas tentang Ummu Habibah

Sedangkan Ramlah –yang biasa dipanggil Ummu Habibah itu– memiliki lika-liku hidup yang berakhir dengan kebahagiaan. Meski sepintas, marilah kita simak perjalanannya.

Ramlah binti Abu Sufyan adalah salah satu penentang kepercayaan ayahnya, Sang Pemuka Quraisy itu. Dia menyatakan keimanannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya bersama suaminya, Ubaidullah bin Jahsy. Oleh karena itu, pasangan suami-istri ini termasuk yang mendapat gangguan dari orang-orang Quraisy.

Keduanya ikut dalam rombongan Muhajirin yang berlindung kepada Najasyi di Habasyah, demi mempertahankan dinullah. Seperti yang telah disaksikan, para Muhajirin itu mendapat pelayanan yang baik dan jaminan keamanan dari Najasyi sehingga terbayang dalam angan Ummu Habibah bahwa semua deritanya akan segera berlalu. Dia tidak tahu perihal sesuatu yang disembunyikan takdir untuknya.

Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak menguji Ummu Habibah dengan ujian berat yang mampu mengguncang akal. Tidak disangka, Ubaidullah bin Jahsy menjadi murtad. Dia masuk agama Nasrani dan berbalik memusuhi Islam serta kaum muslimin. Pekerjaannya hanya duduk-duduk di tempat maksiat dan menjadi pemabuk berat. Bahkan, dia memberikan tawaran kepada Ummu Habibah, ikut agama Masehi seperti dirinya atau diceraikan.

Di hadapan Ummu Habibah, ada tiga pilihan yang sulit. Pertama, mengikuti suami dan menjadi seorang Nasrani, yang dengan demikian, dia akan dikutuk dunia dan akhirat. Kedua, kembali kepada ayahnya di Mekkah yang masih hidup dalam kemusyrikan. Ketiga, tetap di Habasyah, seorang diri dalam pengasingan bersama putrinya, Habibah.

Akhirnya, beliau mengutamakan ridha Allah subhanahu wa ta’ala di atas segala masalah dan bertekad tetap tinggal di Habasyah bersama Muhajirin lainnya sampai Allah subhanahu wa ta’ala menunjukkan jalan keluar.

Tak berselang lama, beliau merasakan duka cita, suaminya mati dalam keadaan mabuk. Setelah masa iddah-nya habis, datanglah pertolongan Allah untuknya.

Pagi itu amat cerah, saat terdengar suara ketukan di pintu rumah Ummu Habibah. Ketika dibuka, seorang wanita utusan Najasyi memberi salam dan berkata, “Tuanku Najasyi mengirimkan salamnya untuk Anda dan berpesan bahwa Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meminang Anda. Baginda Najasyi ditunjuk sebagai wakil untuk akad nikah. Maka bila Anda menerima pinangan itu, bersiaplah segera menunjuk pihak yang menjadi wali Anda.”

Betapa tidak terukur kebahagiaan Ummu Habibah. Beliau berkata kepada utusan tersebut, “Semoga Anda mendapatkan kebagiaan dari Allah, semoga Anda mendapatkan kebahagiaan dari Allah.” Kemudian Ummu Habibah berkata, “Aku menunjuk Khalid bin Sa’id bin Ash sebagai waliku karena dialah kerabatku yang terdekat di negeri ini.”

Begitulah, hari itu, istana Najasyi tampak semarak. Seluruh sahabat yang ada di Habasyah hadir untuk menyaksikan pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah segalanya siap, Najasyi mengucapkan tahmid dan berkata, “Amma ba’du, saya penuhi permintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikah dengan Ramlah binti Abu Sufyan. Saya berikan mahar sebagai wakil Rasulullah berupa empat ratus dinar emas berdasarkan sunnatullah dan sunah Rasul-Nya.”

Khalid bin Sa’id bin Ash sebagai wali Ummu Habibah berkata, “Saya terima permintaan Rasulullah dan saya nikahkan Ramlah binti Abu Sufyan yang memberi saya perwakilan dengan Rasulullah. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberkahi Rasul dan istrinya. “Selamat untuk Ramlah atas anugerah yang agung tersebut.”

Kerinduan ‘tuk berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Kemudian, Najasyi mempersiapkan dua buah kapal untuk mengantarkan Ummul Mukminin Ramlah binti Abi Sufyan dan putrinya, Habibah, beserta sisa-sisa kaum muslimin yang ada di Habasyah. Sejumlah rakyat Habasyah yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya turut bersama mereka. Mereka rindu untuk berjumpa langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shalat di belakang beliau. Rombongan tersebut dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib.

Najasyi juga memberikan hadiah-hadiah kepada Ummu Habibah berupa wewangian mahal milik istri-istrinya, juga beberapa bingkisan untuk Rasulullah, di antaranya ada tiga batang tongkat Habasyah yang terbuat dari kayu-kayu pilihan. Di kemudian hari, satu tongkat itu dipakai oleh beliau sendiri, dan yang lain dihadiahkan kepada Umar bin Khathab dan Ali bin Abi Thalib. Bilal selalu membawanya bila berjalan di muka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tongkat tersebut juga biasa didirikan di hadapan Nabi (sebagai sutrah) ketika ditegakkan shalat. Yakni tatkala tempat-tempat yang tidak ada masjid atau bangunan lainnya atau di dalam perjalanan, dalam shalat-shalat id dan shalat istisqa.

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Bilal yang memegang tongkat itu. Lalu pada zaman Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan, tongkat tersebut beralih ke tangan Sa’ad Al-Qarazhi. Begitu seterusnya, berganti setiap pergantian khalifah.

Ada juga hadiah perhiasan-perhiasan, di antaranya ada cincin emas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerimanya tetapi tidak dipakai sendiri melainkan diberikan kepada Umamah, cucu dari putri beliau, Zainab, “Pakailah ini, wahai cucuku.”

Tidak berselang lama sebelum Fathu Makkah, Najasyi wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil para sahabat untuk melakukan shalat ghaib. Padahal, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah shalat ghaib sebelum kematian Najasyi dan tidak pula setelahnya. Semoga Allah meridhai Najasyi dan menjadikan surga-Nya yang kekal sebagai tempat kembalinya. Sungguh, dia telah menguatkan kaum muslimin di saat mereka lemah, memberikan rasa aman di saat mereka ketakutan dan dia melakukan hal itu semata-mata karena mencari ridha Allah ta’ala.

Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan,Cetakan VIII, 2009.

Disertai penyuntingan oleh redaksi www.KisahMuslim.com

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Amr bin Al-Jamuh Masuk Islam


Amr bin Al-Jamuh Masuk Islam

Amr bin Al-Jamuh Masuk Islam



Ia mengambilnya, memandikannya, dan mengembalikannya ke tempat semula. Setelah itu ia bersujud kepadanya seraya berkata : “ Jika aku tahu orang yang melakukan perbuatan ini, maka aku akan membunuhnya.”

Pada malam ketiga, anak-anaknya mendatangi lagi berhala tersebut. Mereka mengikatnya dengan tali-tali pada bangkai anjing dan melemparkannya di sumur Bani Salamah yang menjadi tempat pembuangan kotoran dan sampah mereka. Untuk ketiga kalinya, ‘Amr bertanya kepada anak-anaknya : “ Bagaimana keadaan kalian ?”

Mereka menjawab : “ Baik, Allah telah meluaskan rumah kami dan mensucikannya dari kotoran.”

Selanjutnya, ‘Amr bin Al-Jamuh mendatangi berhalanya, namun dijumpai berhalanya tidak ada, lalu ia bertanya : “ Dimanakah ia?”

Merka menjawab : “ Ia berada disana. Lihatlah  di dalam sumur itu.”

‘Amr bin Al-Jamuh melihat berhalanya terlumuri kotoran lagi dan tidak mampu menolak gangguan terhadap dirinya, maka ‘Amr bin Al-Jamuh pun yakin bahwa berhalanya hanyalah batu yang tidak dapat mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Ia menjadi tahu bahwa keimanan lebih baik daripada kekufuran.

Ia berkata kepada anak-anaknya : “ Apakah kalian bersamaku ?”

Mereka menjawab :” Ya, engkau adalah tuan kami.”

‘Amr berkata : “ Sesungguhnya aku bersaksi di hadapan kalian bahwa aku beriman dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassallam.”

Lalu ia membaca syair :

    Segala puji bagi Allah Yang Maha tinggi dan memiliki karunia

    Sang Pemberi karunia dan rizqi

    Dan Sang Pemilik agama ini

    Dialah Yang menyelamatkanku

    Sebelum aku berada dalam gelapnya kuburan

    Demi Allah jika kamu Tuhan, kamu tidak akan mungkin tergeletak bersama anjing di dalam sumur bertahun-tahun



Setelah berada di Madinanh, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam menngetahui ‘Amr sebagai orang yang terhormat dan punya pendapat yang baik. Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Wahai Bani Salamah, siapakah tuanmu ?”

Mereka menjawab : “ Jadd bin Qais, tetapi kami melihatnya seorang yang kikir.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Penyakit apakah yang lebih buruk daripada kikir ? Tuanmu adalah orang yang putih, ‘Amr bin Al-Jamuh. Sesungguhnya sebaik-baik manusia dalam jahiliyah adalah sebaik-baik manusia dalam Islam.” Dengan demikian, ‘Amr bin Al-Jamuh radhiyallahu ‘anhu telah menjadi seorang tuan, baik sebelum maupun setelah masuk Islam.

‘Amr bin Al-Jamuh adalah seorang yang pincang. Karena itu, ia tidak dapat hadir dalam perang Badar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah pasukan Islam kembali dari perang, maka kisah-kisah kepahlawanan menambah kerinduan yang meluap-luap dalam hati orang-orang Islam untuk berperang. Orang-orang yang tidak ikut perang Badar ingin menambal ketertinggalannya itu, maka perang Uhud adalah tempat mereka memperoleh ganti apa yang sebelumnya mereka terlewatkan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berseru kepada kaum muslimin : “ Bangkitlah menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.”

‘Amr ingin keluar dalam perang Uhud, namun anak-anaknya melarang. Mereka berkata : “ Allah memaafkanmu.”

‘Amr datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata kepadanya : “ Sesungguhnya anak-anakku menahanku agar aku tidak keluar berrsamamu dalam perang. Demi Allah, aku ingin menginjak surga dengan kepincanganku ini.”

Rasulullah Shallllahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Adapun kamu, maka Allah telah memaafkan: tiada kewajiban jihad bagimu.”

Karena permintaan yang terus menerus dari ‘Amr, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda kepada anak-anaknya : “ Tidak ada alasan bagi kalian untuk menghalanginya, karena barangkali Allah akan mengaruniakannya mati syahid. Karenanya, tinggalkan ia.”

Sementara itu istrinya, Hindun binti ‘Amr bin Hizam, berkata : “ Sungguh ia telah mengambil perisainya, kemudian berdoa kepada Allah : “ Ya Allah,, janganlah Engkau kembalikan aku dalam keluargaku.”

Demikian ‘Amr bin Al-Jamuh berangkat bersama dengan saudara kandung istrinya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram. Ikut bersama mereka berdua Khallad bin ‘Amr bin Al-Jamuh.

Pada awal perang, medan perang dikuasai pasukan Islam karena mereka taat pada perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan perintah pemimpin pasukan mereka, ‘Abdullah bin Jubair. Akan tetapi, para pemanah tidak menaati Rasulullah dan ‘Abddullah bin Jubair, sehingga pasukan Islam terdesak dan barisan Islam pun menjadi kacau tak terkendali.

Ketika itu ‘Amr bin Al-Jamuh berteriak : “ Demi Allah, sungguh aku rindu kepada surga.”  Ia bersama anaknya, Khallad, ikut menceburkan diri dalam peperangan yang hebat hingga keduanya mati syahid.

‘Amr bin Al-Jamuh menginjak surga  dengan kepincangannya seperti yang dia inginkan. Ia tidak kembali kepada keluarganya sebagaimana yang telah ia mohon  dari Allah sebelumnya dan Allah pun kini mengabulkannya.

Setelah perang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  melihatnya mati syahid dan tergeletak disamping jasad ‘Abdullah bin ‘Amr bin Hizam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Kuburlah ;Amr bin Al-Jamuh bersama ‘Abdullah bin ‘Amr, karena keduanya telah salimg mencintai dengan tulus di dunia.”

Suatu saat pada masa pemerintahan Muawiyah, ada banjir bandang yang merusak kubur ‘Amr bin Al-Jamuh dan ‘Abdullah bin ‘Amr, maka orang-orang membuat kubur lain agar keduanya ditempatkan disitu. Jabir bin ‘Abdillah bin ‘Amr bin Hizam datang untuk melihat kedua mayat itu. Ia melihatnya seolah ‘Amr bin Al-Jamuh dan ‘Abdullah bin ‘Amr baru meninggal kemarin. Jasadnya tidak berubah sama sekali. Salah satu diantara keduanya ketika meninggal dalam keadaan terluka, sehingga tangannya menutupi lukanya dan dikuburkan  dalam keadaan yang seperti itu. Ketika tangan tersebut diangkat, tangan itu kembali lagi seperti semula menutupi luka di tubuh layaknya tangan orang yang masih hidup, padahal jarak antara perang Uhud dan waktu kejadian ini adalah empat puluh enam tahun.

Sesungguhnya kejadian di atas adalah fakta, bukan ilusi. Jasad orang-orang yang mati syahid tidak di makan tanah. Mereka hidup dan mendapatkan rizqi disisi Tuhannya.

Sumber: Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thair, Irsyad Baitus Salam 2006

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: IKrimah bin Abu Jahal

IKrimah bin Abu Jahal

IKrimah bin Abu Jahal



Siapakah diantara kita yang tidak mengenal nama ini, Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam, lelaki yang dihormati kaumnya sebelum baligh? Memang benar jika kita mengatakan bahwa dia adalah junjungan  bagi kaumnya, lelaki yang terhormat, ditaati, dan mempunyai pangkat dan kekuasaan.

Akan tetapi, dia telah mengubur dirinya dalam pasir-pasir kekafiran, padahal jika dia menghendaki, dia dapat menghidupkan dirinya itu  dengan menggunakan cahaya iman. Karena itulah, ia berhak untuk mendapatkan laknat Tuhan daripada keridhaan-Nya.

Abu Jahal adalah Fir’aun umat ini. Ia hidup di Makkah sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya. Ia selalu berusaha membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia melihat sejumlah ayat (tanda kekuasaan) Allah dan sejumlah mukjizat, tetapi mata hatinya telah lebih dulu buta sebelum mata kepalanya. Karenanya,ia pun menjadi seperti setan yang sangat pembangkang.

Sering kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya merasakan gangguan dan pengingkarannya. Akan tetapi, suatu hari beliau berharap dia masuk Islam. Beliau bersabda:

“Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan ‘Amr bin Hisyam atau ‘Umar bin Khattab.”

Allah mengabulkan doa Rasulullah ini, sehingga orang yang paling baik diantara kedua itu adalah ‘Umar bin Khattab yang pada akhirnya dia masuk Islam, sedangkan orang yang paling jahat diantara keduanya adalah Abu Jahal yang senantiasa memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sesungguhnya Abu Jahal adalah pengatur siasat perang Badar bagi musuh Islam. Ia berkeinginan memberikan pelajaran bagi umat Islam. Akan tetapi, ia telah tertipu setannya bahwa ia akan mengalahkan nabi dan para sahabatnya dan tiba-tiba ia mati terbunuh berlumuran darah; dan sebelum mati, ia sempat berkata: “Bagi siapakah kemenangan hari ini?” Maka dikatakan kepadanya: “Bagi Allah dan Rasul-Nya.”

Mendengar itu, Abu Jahal mencela kaum muslimin dan bertambah kafir. Hal ini membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Fir’aun umat ini lebih parah daripada Fir’aun Musa.”

Memang benar, Fir’aun musa beriman saat akan meninggal dunia meskipun Allah tidak menerimanya. Adapun Fir’aun arab ini mati dalam keadaan kafir dan mencela Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam kondisi yang buruk penuh dengan kedengkian terhadap Islam dan nabi-Nya, tumbuh seorang remaja yang bernama Ikrimah. Ikrimah melihat ayahnya di Makkah tidak henti-hentinya memusuhi umat Islam, kemudian melihat kaumnya kalah dalam perang Badar. Ia kembali ke Makkah tanpa disertai ayahnya seperti ketika dia berangkat ke Badar. Ia membiarkan ayahnya tewas di tangan pasukan Islam, bahkan sampai penguburannya pun ia membiarkannya.

Adapun dalam perang Uhud kondisi sedikit berbeda. Pasukan Quraisy keluar dengan membawa pasukan kuda dan kebesarannya. Ikrimah berada dalam pasukan inti bersama Khalid bin Walid yang menjadi pemimpin pasukan sayap kanan. Bahkan Ikrimah membawa istrinya, Ummu Hakim, yang bertugas menabuh rebana bersama dengan Hindun binti ‘Utbah. Saat itu, Ummu Hakim mendendangkan syair:

Ayolah, wahai bani ‘Abdid Dar

Ayolah, para pembela kaumnya

Pukulah musuhmu dengan pedang

Para pasukan kafir ini menjadi bersemangat. Ikrimah mengendarai kudanya yang dikendalikan setan dan kedengkiannya untuk memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Tetapi, Ikrimah meletakkan di depan matanya peristiwa tewasnya sang ayah di tangan kaum muslimin pada perang Badar. Sampai akhirnya peperangan berakhir dengan kemenangan di tangan pasukan kafir. Akan tetapi, kemenangan mereka itu merupakan kemenangan  yang tidak sempurna, sebab mereka takut serangan kaum muslimin, sehingga mereka lari menuju kota Makkah.

Dalam perang Khandaq atau Al-Ahzab, Ikrimah adalah salah satu dari ribuan anggota pasukan kafir yang mengepung kota Madinah, kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-oranng Islam. Akan tetapi, mereka tercengang ketika melihat parit besar yang belum pernha mereka lihat sebelumnya. Parit ini membuat senjata-senjata di tangan mereka tidak berguna. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Pengepungan pun berlangsung lama. Ikrimah tidak sabar, maka ia keluar bersama dengan ‘Amr bin Wud untuk mengajak pasukan Islam melakukan pertandingan jawara (duel satu lawan satu) dari kedua pasukan. ‘Ali radhiyAllahu ‘anhu keluar menanggapi ajakan ini. ‘Ali melawan ‘Amr bin Wud dan memperoleh kemenangan karena berhasil memenggal kepala ‘Amr bin Wud dan melemparkannya pada pasukan musyrik.

Melihat kejadian ini, Ikrimah takut sehingga ia lari seperti tikus yang ketakutan. Ikrimah meninggalkan peralatan perang dan barang-barang lainnya. Oleh karena itu, ‘Ali radhiyAllahu ‘anhu mengambilnya dan memberikannya sebagai hadiah untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah memenangkan Islam dan kaum muslimin. Mereka berhasil menaklukkan kota Makkah. Akan tetapi, kemenangan ini tidak terlepas dari perlawanann  kecil. Ikrimah bersama dengan Shafwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, dan seorang lelaki dari bani Bakar (namanya Hammas bin Qais) melakukan perlawanan terhadap kaum muslimin.

Ketika melihat apa yang dilakukan Qais, istrinya berkata: “Wahai Hammas, apa yang kamu persiapkan?”

“Aku mempersiapkannya untuk Muhammad,” ujar Hammas.

“Demi Allah, kamu tidak akan mampu melawan Muhammad dan para sahabatnya,” tukas istrinya.

Dengan sombong Hammas berkata: “Kami akan membunuh mereka dan kamu akan mempunyai pembantu dari mereka.”

Sementara itu Ikrimah bersama teman-temannya berkumpul di tempat yang dinamakan Al-Khandamah mereka ingin melakukan permusuhan dan perlawanan terhadap kaum muslimin. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meladeni mereka dengan mengajukan pedanngnya yang terhunus, yaitu Khalid bin walid (yang mempunyai julukan Saifullah wa Rasulihi Al-Maslul yang berarti pedang Allah dan Rasul-Nya yang terhunus). Maka mereka kalah dan lari tunggang langgang, termasuk juga Hammas. Oleh karena itu, Hammas masuk ke rumahnya dan menutup pintunya, kemudian dia mengucapkan syair:

Sungguh andai kamu menyaksikan hari Al-Khandamah

Saat Shafwan dan Ikrimah lari kalah

Kami disambut pedang-pedang muslim

Yang memotong-motong setiap tengkorak kepala dan tangan

Pelarian Ikrimah bin Abu Jahal

Ikrimah lari, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkan untuk membunuhnya bersama sembilan orang lainnya. Melihat ancaman mati dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, Ikrimah melarikan diri ke Yaman. Pada saat itu istrinya yang bernama Ummu Hakim masuk Islam dan meminta perlindungan dan keamanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Ikrimah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Dia aman”

Ummu Hakim melakukan perjalanan untuk mengembalikan suaminya ke Makkah. Dalam perjalanannya ini, ia ditemani seorang lelaki Romawi. Lelaki ini melihat adanya kesempatan untuk berbuat mesum karena mereka hanya berdua saja, sementara jarak perjalanan sangat jauh. Akan tetapi, Ummu Hakim menolaknya hingga akhirnya mereka berdua sampai di suatu pantai. Disinilah takdir menundukkan Ikrimah.

Ikrimah berkata kepada salah satu seorang nahkoda kapal: “Bawalah aku sampai ke Yaman dan aku akan memberikan apa yang kamu inginkan.”

Nahkoda kapal berkata, “Tidak, kecuali kamu ikhlas.”

“Bagaimana cara berikhas?” Tanya Ikrimah.

“Kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad utusan Allah.” Jawab nahkoda kapal.

Dengan kesal Ikrimah berrkata: “Ini adalah Tuhan Muhammad yang kami diajak kepada-Nya.”  Ikrimah mengetahui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Ia berputar. Ia kaget, karena di depannya terdapat istrinya. Istrinya berkata: “Aku datang kepadamu dari manusia yang paling baik, mannusia yang paling penyayang, manusia yang paling santun, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku telah meminta perlindungan dan keamanan untukmu darinya. Beliau telah menjamin keamananmu, maka janganlah kamu binasakan dirimu sendiri! Kembalilah, karena sesungguhnya kamu akan aman.”

Ummu Hakim menceritakan hal ihwal pemuda Romawi yang bersamanya. Ia telah meminta bantuan kepada sebagian orang-orang pedalaman dan mereka mau memberikan bantuan. Ia masih tetap bersama dengan pemuda ini, sehingga nafsu pemuda ini tertuju kepadanya. Maka dalam perjalanan menuju Makkah, Ikrimah pun membunuh pemuda tersebut.

Saat diajak berduaan oleh Ikrimah, Ummu Hakim berkata: “Wahai Ikrimah, sesungguhnya kamu musyrik, sedang aku muslimah. Allah telah mengharamkan diriku atasmu.” Kata-kata yang seperti panah ini telah menancap di hati Ikrimah, sehingga hati Ikrimah pun terluka dan pikirannya menjadi kacau balau.

Sementara di Makkah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri diantara para sahabatnya sambil bersabda: “Sesungguhnya Ikrimah bin Abi Jahal akan datang kepadamu dalam keadaan beriman dan berhijrah, maka janganlah kamu mencela ayahnya, karena mencela orang yang sudah mati dapat menyakitkan orang yang masih hidup, walaupun celaan itu tidak sampai kepada orang yang sudah mati.”

Masuk islamnya Ikrimah bin Abu Jahal

Ikrimah pun datang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Selamat datang, pengendara yang berhijrah.”Beliau berdiri kepadanya, meluaskan kain untuknya, dan menyambutnya dengan sebaik-baik sambutan.

Ikrimah berkata: “Aku mendengar bahwa engkau telah menjamin keamananku, wahai Muhammad ?”

“Ya sungguh kamu aman,” jawab Rasul

“Untuk apa kamu menngajakku ?” tanya Ikrimah.

“Untuk menyembah Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu  bagi-Nya, melaksanakan shalat, membayar zakat, menunaikan puasa, dan berhaji di Baitullah,” kata Rasul.

Ikrimah berkata: “Demi Allah, engkau tidak mengajakku, kecuali kepada kebenaran; dan engkau tidak memerintahku, kecuali kepada kebaikan.” Ikrimah mengulur tangannya dan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.

Ikrimah berkata: “Wahai Rasulullah, aku memohon kepadamu untuk mengampuniku atas setiap permusuhanku terhadapmu, setiap jejak langkahku, setiap kesempatan aku bertemu denganmu, dan setiap perktaan yang aku ucapkan dihadapanmu atau tidak dihadapanmu.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa untuk Ikrimah:

“ Ya Allah ampunilah setiap permusuhan yang dilakukannya terhadapku, setiap jejak langkahnya yang ia inginkan untuk memadamkan cahaya-Mu. Ampunilah perkataan yang diucapkan guna merendahkan martabatku, baik ketika dia berada di hadapanku maupun tidak dihadapanku.”

Ikrimah berkata: “Wahai Rasulullah, tidaklah aku mengeiuarkan satu hartapun yang telah aku gunakan untuk memusuimu, kecuali aku juga akan menginfakkan harta yang sama di jalan Allah.”

Setelah masuk Islam, Ikrimah bersumpah: “Demi Dzat yang telah menyelamatkanku saat perang Badar.” Ia bersyukur kepada Tuhannya karena ia tidak mati terbunuh dalam perang Badar (karena pada waktu itu Ikrimah masih dalam keadaan kafir, red). Ia masih tetap hidup sampai akhirnya Allah pun memuliakannya dengan Islam. Ia selalu membawa mushaf sambil menangis: “Kitab Tuhanku ! Kitab Tuhanku !“

Syahidnya Ikrimah bin Abu Jahal

Pada saat perang Yarmuk meletus dengan hebatnya dan pasukan Romawi hampir mengalahkan pasukan Islam, maka singa buas Ikrimah pun bangkit dan berkata: “Minggirlah, wahai Khalid bin Walid, biarkan aku menebus apa yang telah aku dan ayahku lakukan. Dulu aku memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah sekarang aku akan lari dari pasukan Romawi ? Demi Allah tidak, selamanya tidak akan terjadi !”

Ikrimah berteriak: “Siapa yang akan membaiatku untuk mati ? “

Pamannya Harits bin Hisyam, dan juga Dhirar bin Al-Azwar berdiri untuk membaiatnya. Ikut bersama mereka 400 pasukan muslim. Mereka memasuki arena peperangan hingga mereka dapat mengalahkan pasukan Romawi, dan Allah pun memberikan kemenangan dan kemuliaan bagi pasukan-Nya.

Perang pun selesai. Ikrimah tergeletak terkena 70 tikaman di dadanya, sedang disampingnya adalah Al-Harits bin Hisyam dan Ayyasy bin Abi Rabi’ah. Al-Harits memanggil-manggil meminta air namun ia melihat Ikrimah sangat kehausan maka ia berkata: “Berikanlah air kepada Ikrimah.” Ikrimah melihat Ayyasy bin Abi Rabi’ah juga sangat kehausan, lalu ia berkata: “Berikanlah air kepada Ayyasy.” Ketika air hampir diberikan, Ayyasy sudah tidak bernyawa. Para pemberi air dengan cepat menuju Ikrimah dan Al-Harits, namun keduanya pun sudah tiada untuk meminum air surga dan sungai-sungainya.

Sumber: Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, Irsyad Baitus Salam, 2006 (Dipublikasikan ulang oleh KisahMuslim.com)

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi

Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi

Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi



Awwanah bin Al-Hakam berkata, “Manusia yang paling tampan rupanya, ialah seseorang yang Malaikat Jibril datang dalam bentuk rupanya. Yakni Dihyah.”

Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi adalah salah satu di antara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah lama masuk Islam. Beliau masuk Islam sebelum perang Badar. Akan tetapi, dalam peperangan itu, beliau belum sempat mengikutinya. Baru, setelah itu, beliau tidak pernah absen dalam jihad di medan peperangan.

Dia juga salah seorang sahabat Rasulullah yang masyhur. Dia dikaruniai Allah berupa keutamaan yang tidak dimiliki sahabat lainnya. Di antara keutamaan yang beliau miliki, yaitu Malaikat Jibril seringkali datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wujud menyerupai dirinya. Imam An-Nasaa’i meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Yahya bin Ya’mur dari Ibnu Umar:

“Malaikat Jibril mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rupa Dihyah Al-Kalbi.

Dalam hadits lain disebutkan:

Dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Telah diperlihatkan kepadaku para nabi, maka aku melihat Musa adalah seorang laki-laki yang kuat, seakan-akan dia adalah lelaki dari kaum Syanu’ah. Dan aku melihat Isa bin Maryam, dan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah aku lihat, adalah Urwah bin Mas’ud. Dan aku melihat Ibrahim, dan yang paling mirip denganya di antara yang pernah aku lihat ialah sahabat kalian –yaitu diri beliau sendiri—dan aku pun melihat Jibril, dan yang paling mirip dengnanya di antara yang pernah aku lihat adalah Dihyah.” (H.r.Muslim)

Dari Abu Utsman, ia berkata, “Telah diberitakan kepadaku bahwa Malaikat Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Ummu Salamah sedang bersama beliau. Maka, dia pun berbicara lantas berdiri, sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepada Ummu Salamah, ‘Siapakah Ini?’ – atau seperti ucapan beliau – lantas Ummu Salamah pun berkata: ‘Ini adalah Dihyah’. Ummu Salamah berkata, ‘Demi Allah, sungguh aku mengira, ia adalah Dihyah, sampai aku mendengar khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengabarkan bahwa dia adalah Malaikat Jibril’.”

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan surat-surat seruan memeluk Islam kepada para raja, kisra dan kaisar, yaitu pada akhir tahun ke enam hijriah, Dihyah termasuk salah satu delegasi yang ditugaskan. Adapun tugas yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Dihyah, yaitu agar ia menyampaikan surat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hiraklius kaisar Romawi.

Dalam satu riwayat disebutkan:

“Dari Abdullah bin Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada kaisar untuk mengajaknya masuk Islam. Beliau pun mengutus Dihyah Al-Kalbi untuk menyampaikan suratnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memintanya supaya menyerahkan surat tersebut kepada penguasa kota Bushra, agar ia menyampaikannya kepada kaisar.”

Ibnu Katsir menyebutkan di dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, sepulang dari menemui kaisar – dan Dihyah mendapatkan hadiah yang banyak dari kaisar – ketika ia telah sampai di daerah Hisma, ia dihadang oleh sekelompok orang dan mereka pun mengambil semua yang ada padanya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Zaid bin Haritsah untuk memerangi mereka.

Demikian, sekilas kisah Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi. Pada masa hidupnya, beliau tinggal di daerah Mizzah di Damaskus, dan beliau hidup hingga sampai amsa kekhilafan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Semoga keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa tercurahkan pada sahabat yang mulia ini. (Ustadz Ahmad Danil)

Sumber: Majalah As-Sunnah, Edisi 4 Tahun XII 1429 H / 2008 M. (Dipublikasikan oleh KisahMuslim.Com)

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Abu Umamah Al-Bahili

Abu Umamah Al-Bahili

Abu Umamah Al-Bahili



Abu Umamah Al-Bahili, demikian panggilan popular sahabat ini. Panggilan ini (kun-yah) mengalahkan ketenaran nama aslinya. Terlahir dengan nama Shudai bin Ajlan, dari suku Bahilah. Termasuk sahabat yang banyak memiliki riwayat dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Wafat pada tahun 81 atau 86 H.

Dakwah di Kampung Halaman

Tugas dakwah dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjadi tanggungan di pundaknya. Ia didelegasikan untuk menyeru kaumnya sendiri, orang-orang yang masih terkait hubungan darah dengannya. Imam Ath-Thabrani meriwayatkan misi dakwah Abu Umamah di kampung halamannya, suku Bahilah. Ia menuturkan,

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku (untuk berdakwah) kepada kaumku, suku Bahilah. Sesampai di sana aku dalam keadaan lapar. Saat itu, mereka sedang menyantap makanan. Namun mereka menyatap makanan yang terbuat dari darah. Mereka menghormati diriku dengan menyambut kedatanganku;

“Selamat datang wahai Shudai bin Ajlan. Kami dengar engkau telah keluar dari agama nenek moyang untuk mengikuti laki-laki itu (Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam).”

“Bukan seperti itu. Aku hanya beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Ia pula mengutusku untuk menawarkan Islam dan syariat kepada kalian.” Jawab Abu Umamah radhiallahu’anhu.

Mereka malah mempersilakan aku untuk bersantap bersama menikmati hidangan dari darah, “Kemarilah, makan (bersama kami).”

“Celaka kalian. Aku datang untuk melarang kalian dari ini (makan darah). Aku adalah utusan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam agar kalian mau mengimani beliau.” Terang Abu Umamah.

Mulailah Abu Umamah radhiallahu’anhu mendakwahi dan menyeruk mereka untuk memeluk Islam. Akan tetapi, mereka mendustakan dan membentaknya. “Bisa saya minta sedikit air, aku haus sekali.” Kata Abu Umamah meminta.

Akan tetapi mereka menolaknya dan mengatakan, “Tidak, kami akan membiarkan engkau mati kehausan!” sergah mereka.

Dalam keadaan lapar dan haus yang menjerat, Abu Umamah beranjak dari sisi mereka. Ia bersedih hati. Kain imamah ia tutupkan ke kepalanya. Kemudian tertidur meskipun dalam keadaan cuaca yang sangat panas itu. Dalam tidurnya, ia bermimpi disodori minuman dari susu, tidak pernah ada susu yang lebih lezat darinya. Ia meminumnya sampai kenyang sehingga perutnya tampak penuh.

Setelah perlakuan kasar yang ditujukan kepada Abu Umamah, orang-orang di sukunya berkata (karena menyesal), “Seorang lelaki dari tokoh dan pembesar suku datang, tapi kalian mencampakkannya. Cari dan berilah ia makan dan minum yang ia inginkan.”

Kemudian mereka mendatangi Abu Umamah radhiallahu’anhu dengan membawa makanan. Beliau menyambut kedatangan mereka sambil mengatakan, “Aku sudah tidak butuh lagi makanan dan minuman dari kalian. Allah ‘Azza wa Jalla telah memberi makan dan minuman kepadaku. Lihatlah kondisiku sekarang.”

Beliau perlihatkan perutnya yang penuh. Mereka melihatnya dan akhirnya beriman kepada apa yang Abu Umamah dakwahkan dari sunah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam. Semuanya pun beriman kepada Allah dan rasul-Nya.

Pelajaran dari Kisah:

Seorang dai harus memberi perhatian kepada keluarga terdekat dalam dakwahnya, sebelum mengalihkan perhatian kepada komunitas lain.
Seorang dai tidak boleh ikut serta dalam perbuatan haram yang dilakukan oleh masyarakat.
Allah ‘Azza wa Jalla menolong para hamba yang berjuang di jalan-Nya.
Sumber: Majalah As-Sunnah, edisi 12, Th. XIII

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Ja'far bin Abi Thalib

Popular Posts

Category