ALHIJAZ INDOWISATA TRAVEL | PAKET UMROH MURAH PROMO 2016 2017 - INFO HARGA BIAYA UMROH MURAH - HAJI ONH PLUS - HAJI BATAL GANTI

Tlp. 021-91693870 | Telkomsel. 081219395680 | Indosat. 085743682680 | PIN BB. 7CF96624

Umroh Murah| Umroh Promo | Travel Umroh Murah Promo Jakarta | Umroh Murah Awal Ramadhan, Akhir Ramadhan 2016 | Info Harga Paket Umroh Murah Promo 2016 2017

Paket Umroh Murah Promo 2016 2017 | Harga Umroh Promo Murah 2016 | Info Biro Travel Umroh Murah Promo Jakarta | Jadwal Keberangkatan Wisata Umroh Murah Promo 2016 2017

Kecintaan Nabi kepada Aisyah (Seri 1)

Kecintaan Nabi kepada Aisyah (Seri 1)



Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan dirinya terhadap Aisyah sebagaimana Abu Zar’ agar Aisyah sebagaimana Abu Zar’ terhadap istrinya Ummu Zar’ agar Aisyah tahu sayangnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada dirinya

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Aisyah, “Wahai Aisyah diriku bagimu sebagaimana Abu Zar’ bagi Ummu Zar’ “. Berkata Imam An-Nawawi, “Para ulama berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata demikian untuk menyenangkan hati Aisyah dan menjelaskan bahwa ia telah bersikap baik dalam kehidupan rumah tangga bersama Aisyah.”[1]

Bagaimanakah kisah Abu Zar’ dan Ummu Zar’?, marilah kita simak tuturan Ummul mukminin Aisyah[2] beserta penjelasan kisah mereka yang dirangkum dari kitab Fathul Bari[3], serta Faidah yang di ambil dari beberapa sumber[4].

((Sebelas orang wanita berkumpul lalu mereka berjanji dan bersepakat untuk tidak menyembunyikan sedikitpun kabar tentang suami mereka. Maka wanita pertama berkata, “ Sesungguhnya suamiku adalah daging unta yang kurus[5] yang berada di atas puncak gunung yang tanahnya berlumpur[6] yang tidak mudah untuk di daki dan dagingnya juga tidak gemuk untuk diambili.”))

Maksudnya adalah sang wanita memisalkan keburukan akhlak suaminya seperti gunung terjal, yang sulit untuk di daki, demikian juga sifat sombong suaminya yang merasa di atas. Dan menyamakan suaminya yang pelit dengan daging unta yang kurus. Daging unta tidak sama dengan daging kambing karena daging unta rasanya kurang enak, oleh karena itu banyak orang yang tidak begitu senang dengan daging unta. Orang-orang lebih mendahulukan daging kambing kemudian daging sapi baru kemudian daging unta. Ditambah lagi dagingnya dari unta yang kurus. Lebih parah lagi daging tersebut memiliki bau yang kurang enak. Yaitu meskipun sang istri butuh terhadap apa yang dimiliki suaminya namun ia tahu bahwa suaminya pelit, kalau ia meminta dari suaminya maka akan sangat sulit sekali untuk diberi, kalaupun diberi hanyalah sedikit karena pelitnya suaminya, ditambah lagi akhlak suaminya yang sombong lagi merasa tinggi.

Peringatan

Terkadang akhlak yang jelek yang timbul dari seorang istri adalah akibat jeleknya akhlak sang suami. Terkadang sang suamilah yang secara tidak langsung mengajar sang istri untuk pandai berbohong. Bagaimana bisa…??? Jika sang suami adalah suami yang pelit, tidak memberikan nafkah yang cukup kepada istrinya maka istrinya akan berusaha mencuri uang suaminya yang pelit tersebut, dan jika ditanya oleh suaminya maka ia akan berbohong. Lama kelamaan pun karena terbiasa akhirnya ia menjadi tukang bohong. Padahal jika seorang suami menampakkan pada istrinya bahwasanya ia tidak pelit, dan memberikan kepada istrinya suatu yang bernilai meskipun hanya sedikit, maka hal ini menjadikan sang istri percaya kepadanya dan mendukung sang istri untuk menjadi wanita yang shalihah.

Bukankah sekecil apapun harta yang ia keluarkan untuk memberi nafkah kepada istrinya maka ia akan mendapatkan pahala, bahkan sesuap nasi yang ia berikan kepada istrinya!!??

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya bagaimanapun nafkah yang kau berikan kepada istrimu maka ia merupakan sedekah, bahkan sesuap makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu.[7]

Dalam riwayat Muslim[8],

“Dan tidaklah engkau memberi nafkah dengan mengharapkan wajah Allah kecuali engkau mendapatkan pahala, bahkan sampai sesuap makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu.”

Berkata An-Nawawi, “ Seorang suami meletakkan sesuap makanan di mulut istrinya, biasanya hal ini terjadi tatkala sang suami sedang mencumbui, bercanda, dan berlezat-lezat dengan perkara yang diperbolehkan (dengan istrinya). Kondisi seperti ini sangat jauh dari bentuk ketaatan (bentuk ibadah) dan perkara-perkara akhirat. Meskipun demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan jika sang suami menghendaki wajah Allah dengan suapan yang ia berikan kepada istrinya maka ia akan mendapatkan pahala.”[9]

Berkata Ibnu Hajar, “ Perkara yang mubah jika diniatkan karena Allah maka jadilah ia merupakan ketaatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan perkara dunia yang sangat ringan dan biasa yaitu menyuap istri dengan sesuap makanan, yang hal ini biasanya terjadi tatkala sang suami sedang mencumbu dan mencandai sang istri, namun meskipun demikian ia mendapatkan pahala jika berniat yang baik. Maka bagaimana lagi jika pada perkara-perkara yang lebih dari itu…!!!”[10]

Apalagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa memberi nafkah kepada istri merupakan amalan yang sangat besar pahalanya di sisi Allah.

Sekeping dinar yang engkau infakkan pada jihad fi sabilillah, sekeping dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, sekeping dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin, dan sekeping dinar yang engkau infakkan kepada istrimu, maka yang paling besar pahalanya adalah sekeping dinar yang engkau infakkan kepada istrimu,[11]

((Wanita yang kedua berkata “ Suamiku…aku tidak akan menceritakan tentang kabarnya, karena jika aku kabarkan tentangnya aku khawatir aku (tidak mampu) meninggalkannya. Jika aku menyebutkan tentangnya maka aku akan menyebutkan urat-uratnya yang muncul di tubuhnya dan juga perutnya.”[12]))

Maksudnya yaitu jika ia menceritakan tentang kabar suaminya maka ia akan menyebutkan aibnya yang banyak sekali baik aib yang nampak maupun yang tersembunyi. Aib yang nampak ia ibaratkan dengan urat-uratnya yang muncul dan nampak di tubuhnya, adapun aib yang tersembunyi diibaratkan seperti urat yang timbul di perutnya yang tidak dilihat oleh orang karena tertutup pakaian. Dan jika suaminya tahu bahwa ia membeberkan aib-aib suaminya maka ia akan di cerai oleh suaminya padahal ia tidak siap untuk ditinggal suaminya. Intinya yaitu ia mengeluhkan suaminya yang banyak aibya dan kaku serta tidak murah hati.

Faidah :

Hendaknya istri semangat untuk tetap bisa bersama suami meskipun pada suami terdapat beberapa aib.

((Wanita  yang ketiga berkata, “ Suamiku tinggi, jika aku berucap maka aku akan dicerai, dan jika aku diam maka aku akan digantung.”))

Ada dua penafsiran dari perkataan wanita yang ketiga ini,

Pertama :

Maksud dari suaminya yang tinggi yaitu suaminya keras dan tegas, dialah yang mengatur dirinya dan tidak mau diatur orang lain, sehingga suaminyalah yang mengaturnya dan dia (sang istri) tidak bisa mengaturnya, oleh karena itu ia takut pada suaminya.

Jika ia menyebutkan aib-aib suaminya lalu hal ini sampai kepadanya maka ia akan dicerai. Namun jika ia berdiam diri maka ia tergantung terkatung-katung, seperti tidak punya suami dan sekaligus bukan wanita yang tidak bersuami. Seakan-akan ia berkata, “Aku disisi suamiku seperti tidak bersuami karena aku tidak bisa mengambil manfaat dari suamiku, dan tidak juga aku dicerai agar aku bisa lepas darinya dan mencari suami yang lain.”

Kedua :

Yaitu ia menjelaskan akan buruknya suaminya yang tidak sabaran jika mendengar keluhan-keluhannya. Ia mengetahui jika ia mengeluh kepada suaminya maka sang suami langsung mencerikannya dan ia tidak ingin dicerai karena cintanya yang dalam kepada suaminya. Namun jika ia berdiam diri maka ia akan tersiksa karena seperti wanita yang tidak bersuami padahal ia bersuami.

Faidah :

Suami yang shaleh adalah suami yang dekat kepada istrinya, yang bisa menjadi tempat mencurahkan hati istrinya, dan bukan yang ditakuti istrinya.

((Wanita yang keempat berkata, “ Suamiku seperti malam di Tihamah, tidak panas dan tidak dingin, tidak ada ketakutan dan tidak ada rasa bosan.”))

Tihamah adalah daerah yang dikelilingi gunung-gunung dan daerah yang mayoritas musimnya terasa panas dan tidak ada angin segar yang bertiup. Namun pada malam hari panas tersebut tidak begitu terasa maka penduduknya akan merasa nyaman dan nikmat jika dibanding keadaan mereka di siang hari.

Maksud dari sang wanita adalah menceritakan tentang kondisi suaminya yang seimbang, tidak ada gangguan dari suaminya dan tidak ada sesuatu yang di bencinya sehingga tidak membosankan untuk terus bersamanya. Sehingga ia merasa aman karena tidak takut gangguan suaminya sehingga kehidupannya nyaman sebagaimana kehidupan penduduk Tihamah tatkala di malam hari.

((Wanita yang kelima berkata, “Suamiku jika masuk rumah seperti macan dan jika keluar maka seperti singa dan tidak bertanya apa yang telah diperbuatnya (yang didapatinya).”))

Dan macan kuat namun suka tidur.

Ada dua kemungkinan makna yang terkandung dari perkataan wanita yang kelima ini.

Pertama adalah pujian (dan ini adalah pendapat mayoritas pensyarah hadits ini)

Yaitu suaminya jika masuk ke dalam rumah menemuinya maka seperti macan yang kuat yang menerkam dengan kuat. Maksudnya yaitu sang suami sering menjimaknya yang menunjukkan bahwa ia sangat dicintai suaminya sehingga jika suaminya melihatnya maka tidak sabar dan ingin langsung menerkamnya untuk menjimaknya. Dan jika keluar rumah maka seperti singa yang pemberani.

Ia tidak pernah bertanya tentang apa yang telah dikeluarkannya yang menunjukkan ia adalah suami yang baik yang sering bersedekah dan tidak peduli dengan sedekah yang ia keluarkan. Atau jika ia masuk ke dalam rumah maka ia tidak peduli dengan aib-aib yanag terdapat dalam rumah.

Faidah :

Termasuk sifat suami yang baik adalah tidak ikut campur dengan istrinya dalam mengatur urusan rumah, oleh karena itu jika ia melihat perubahan-perubahan atau keganjilan-keganjilan dalam rumahnya hendaknya ia pura-pura tidak tahu, ia membiarkan istrinya lah yang menangani hal itu. Atau jika ia memang harus bertanya kepada istrinya tentang keganjilan yang timbul maka hendaknya ia bertanya dengan lembut. Disebutkan bahwa diantara sifat macan adalah banyak tidur sehingga sering lalai dari mangsa yang terkadang berada di hadapannya. Ini merupakan isyarat bahwa sang suami adalah orang yang kuat namun sering tidak ikut campur dalam urusan sang istri dalam mengatur runah. Inilah makna dari perkataan sang wanita, “tidak bertanya apa yang didapatinya.”[13]

Disebutkan juga bahwa seorang Arab ditanya, “ Siapakah yang disebut dengan orang yang pandai? “, maka ia menjawab “ Orang yang mengerti namun berpura-pura tidak tahu.”

Betapa banyak permasalahan rumah tangga yang timbul karena sang suami terlalu detail dalam menghadapi istrinya, segala yang terjadi di rumahnya bahkan sampai perkara-perkara yang sepele dan ringan ia tanyakan, ia cek pada istrinya. Akhirnya timbullah permasalahan dan cekcok antara dia dan istrinya. Kalau seandainya ia sedikit berpura-pura tidak tahu,terutama pada perkara-perkara yang ringan maka akan banyak permasalahan yang bisa diselesaikan, bahkan hanya dengan salam. Bahkan sebagian kesalahan-kesalahan yang ringan yang dilakukan oleh sang istri –dan sang istri menyadari bahwa ia telah bersalah-  jika dibiarkan saja oleh sang suami maka akan selesai dengan sendirinya. Oleh karena itu seorang yang cerdik adalah yang menerapkan sifat pura-pura tidak tahu pada beberapa permasalahan keluarga yang dihadapinya terutama permasalahan-permasalahan yang ringan[14]. Sifat inilah yang disebut dengan mudaraah (pura-pura tidak tahu atau basa-basi) dan akan datang penjelasannya.

Kedua adalah celaan

Yaitu suaminya jika masuk ke dalam rumah seperti macan dimana jika suaminya menjimaknya maka langsung terkam tanpa dibuka dengan cumbuan dan rayuan karena sifatnya yang keras seperti macan. Atau karena sifatnya yang jelek sehingga kalau masuk ke dalam rumah sering memukulnya dan menamparnya. Dan jika keluar rumah maka seperti singa yang lebih keras lagi dan lebih berani lagi. Dan jika ia masuk rumah maka ia tidak bertanya-tanya, yaitu sang suami tidak pernah perduli dengan keadaan istrinya dan juga urusan rumahnya.

Faidah:

Suami yang baik adalah yang selalu bertanya kepada istrinya tentang kondisi istrinya meskipun sang istri tidak menampakkan tanda-tanda perubahan, yang hal ini menyebabkan sang istri merasa bahwa ia sangatlah diperhatikan oleh suaminya.

=Bersambung insya Allah=

Sumber: Suami Idaman Istri Pilihan (Surat dari Seorang Suami untuk Suami), Abu Abdil Muhsin Firanda, M.A. , Pustaka Muslim

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Infak Sahabat Nabi

Infak Sahabat Nabi

Infak Sahabat Nabi



Begitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, unta beliau menderum di kebun milik dua orang anak dari kalangan sahabat beliau. Maka, tempat itulah yang dijadikan sebagai areal masjid. Kedua anak tersebut lebih memilih menghibahkan tanah itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di dalam hadis tentang peristiwa hijrah yang panjang disebutkan, “Lalu, beliau mengendarai binatang tunggangannya dengan diiringi orang-orang. Sampai akhirnya, binatang tersebut menderum di lokasi (calon) masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Di tempat itu, hari itu juga beliau mendirikan shalat bersama kaum muslimin. Lokasi tersebut adalah kebun kurma milik Suhail dan Sahl, dua orang anak yatim yang berada di bawah asuhan As’ad bin Zurarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika binatang tunggangannya menderum di tempat tersebut, ‘Tempat ini, insya Allah, akan menjadi tempat tinggal (saya).’ Kemudian, beliau memanggil dua orang anak pemilik tanah tersebut dan menawar tanah mereka untuk dijadikan masjid. Keduanya berkata, ‘Tidak, bahkan kami menghibahkannya untukmu, wahai Rasulullah.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam enggan untuk menerimanya sebagai hibah, hingga beliau membelinya dari keduanya ….” (H.r. Bukhari, no. 3906)

Lihatlah, salah seorang dari kaum muda sahabat. Ketika ia menerima warisan dari ibunya berupa sejumlah harta yang menyenangkan jiwa, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sedekah yang mesti ia keluarkan. Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir, ia berkata, “Seorang anak datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –menurut riwayat lain, “Seorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam–, ‘Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dan meninggalkan perhiasan. Apakah aku boleh menyedekahkannya atas nama ibuku?’ Beliau bertanya, ‘Ibumu menyuruhmu untuk melakukannya?’ Ia berkata, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Tahanlah kalung ibumu itu.’”

Ubaidillah bin Abbas terkenal sebagai seorang dermawan. Ibnu Sa’ad berkata, “Abdullah dan Ubaidillah, dua orang putra Abbas. Jika keduanya datang ke kota Mekah maka Abdullah menyebarkan ilmu ke segenap penduduknya, sedang Ubaidillah membagi-bagikan makanan untuk mereka. Ubaidillah adalah seorang pedagang.”

Pada perisitiwa perang Khandaq, di saat penderitaan kaum muslimin menjadi-jadi, Jabir merasa sedih melihat kondisi yang menimpa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia memiliki kisah kepahlawanan tersendiri yang ia tuturkan sendiri, “Pada hari-hari pertempuran Khandaq, kami menggali parit. Ada sebongkah batu keras yang menghalang. Orang-orang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Ada batu keras yang melintang di parit.’ Beliau bersabda, ‘Aku yang akan turun (tangan).’ Lalu, beliau berdiri, sedangkan ketika itu ada batu yang terikat di perut beliau. Kami melewati tiga hari tanpa menyantap makanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil godam dan memukulkannya (ke batu), hingga batu itu hancur menjadi pasir berhamburan. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan aku kembali pulang ke rumah.’ Aku berkata kepada istriku, ‘Aku melihat pada diri Rasulullah sebuah kesabaran. Apakah kamu ada sedikit makanan?’ Istriku menjawab, ‘Aku punya gandum dan seekor anak kambing.’ Aku pun menyembelih kambing dan menumbuk gandum. Lalu, aku masukkan daging ke dalam periuk.

Aku datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika adonan telah melunak dan daging dalam wadah di atas tungku hampir matang. Aku berkata, ‘Aku mempunyai sedikit makanan, silakan Anda datang bersama satu atau dua orang ke rumahku.’ Beliau bertanya, ‘Seberapa banyak makanan itu?’ Aku beritahukan jumlahnya. Beliau bersabda, ‘Makanan yang banyak dan baik.’ Beliau melanjutkan, ‘Katakan kepada istrimu untuk tidak mengangkat pembakaran dan adonan roti dari perapian hingga aku datang.’ Beliau berkata kepada para sahabatnya, ‘Bangkitlah kalian!’ Maka, segenap kaum Muhajirin dan Anshar bangkit berdiri.” Ketika Jabir masuk menemui istrinya, ia berkata, “Rasulullah akan datang bersama kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang ada bersama mereka.” Istrinya bertanya, “Apakah beliau menanyakan sesuatu kepadamu?” Jabir menjawab, “Ya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Masuklah kalian dan jangan berdesak-desakan.”

Beliau mulai memotong-motong roti dan menaruh daging di atasnya, lalu menutup periuk dan perapian bila mengambil (daging atau roti) darinya. Lalu, beliau mendekatkannya kepada para sahabatnya dan mengambilkannya. Beliau terus memotong-motong roti hingga semua orang kekenyangan, dan ternyata makanan itu masih tersisa.” Jabir berkata kepada istrinya, “Makanlah ini dan hadiahkanlah, sungguh orang-orang sedang ditimpa kelaparan.” (H.r. Bukhari, no. 4101; Muslim, no. 2039)

Barangkali, generasi muda saat ini tidak memahami nilai harta bagi keluarga mereka sebab mereka masih hidup di bawah tanggungan biaya keluarga. Adapun mereka, generasi muda sahabat, sangat dermawan menginfakkan harta meskipun hanya sedikit yang mereka miiki. Bahkan, sebagian di antara mereka ada yang rela melewati malam dalam kondisi lapar. Bahan, makanan untuk diri dan keluarganya ia infakkan di jalan Allah.

Alangkah bagusnya bila generasi muda melatih dirinya berinfak dan berderma. Yang menjadi tolak ukur bukan besaran harta yang diinfakkan, melainkan niat tulus yang dengannya mereka mendermakan sedikit harta yang dimiliki. Jumlah yang sedikit ini teramat besar di sisi Allah. Dia tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.

Begitulah perilaku yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya, yakni ketika beliau bersabda,

“Tidak seorang pun di antara kalian kecuali dia akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat. Tidak ada penerjemah antara dirinya dengan Allah. Kemudian ia melihat ternyata tidak ada sesuatu pun yang ia persembahkan. Selanjutnya, ia menatap ke depan ternyata neraka telah menghadangnya. Oleh karena itu, barang siapa di antara kalian yang bisa menjaga diri dari neraka, meski hanya dengan (memberikan) sebelah kurma (maka lakukanlah).”

Menurut riwayat yang lain, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perihal neraka. Lalu beliau memohon perlindungan darinya dan memalingkan wajah beliau. Beliau kembali menyebutkan perihal neraka, lalu memohon perlindungan darinya dan memalingkan wajah. Syu’bah berkata, ‘Untuk dua kali tindakan yang beliau lakukan, aku tidak meragukannya.’ Kemudian beliau bersabda, Jagalah diri kalian dari neraka meski hanya dengan (menginfakkan) sebelah kurma. Biarpun yang tidak mendapatkannya, maka hendaknya ia mengucapkan kata-kata yang baik’.”

Sumber: Biografi Generasi Muda Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Muhammad bin Abdullah ad-Duwaisy, Zam-Zam, Cetakan 1, 2009.

Disertai penyuntingan oleh redaksi www.KisahMuslim.com

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Amr bin Al-Jamuh

Amr bin Al-Jamuh

Amr bin Al-Jamuh



Buah-buah perjuangan Islam mulai tampak di Madinah. Inilah Mush’ab bin Umair radhiyAllahu ‘anhu dikerubungi sejumlah pemuda Yatsrib yang menjadi kota yang baik dan bersinar, tidak seperti sebelumnya, buruk dan gelap. Lebih-lebih menjadi kota Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wasallam.

Disekitar Mush’ab, duduklah Khallad, Mu’adz, dan Mu’awwadz, anak-anak ‘Amr bin Al-Jamuh, tuan bani Salamah. Diantara mereka juga terdapat Mu’adz bin Jabal radhiyAllahu ‘anhu. Mereka mendengarkan Mush’ab bin Umair mengajarkan agama Islam dan membaca Alquran. Akan tetapi, anak-anak ‘Amr bin Al-Jamuh merasa sedih karena ayah mereka (‘Amr bin Al-Jamuh), tuan bani Salamah, masih berada dalam kekafirannya. Ia menyembah berhala yang dinamakannyya Manaf. Ia tidak hanya mencintai berhalanya bahkan sangat perhatian kepadanya. Ia menjadikan temapat khusus baginya di salah satu pojok rumah. Tidak boleh ada yang masuk tempat khusus itu, kecuali dirinya sendiri.

Setiap ingin melakukan sesuatu ia masuk di tempat khusus tersebut, bersujud dan meminta berkah darinya.

Melihat keadaanya seperti itu, .anak-anaknnya ingin menunjukkannya jalan yang benar dan mengajaknya masuk agama Islam. Ibu mereka sebenarnya telah masuk Islam, namun secara sembunyi-sembunyi: dan Allah mengabulkan keinginan mereka ini, namun dengan cara yang lembut, indah, dan menakjubkan.

‘Amr bin Al-Jamuh adalah tuan diantara sejumlah tuan di Yatsrib yang masih kafir. Anak-anak dan istrinya merahasiakan Islam yang telah mereka pegang. ‘Amr mendengar apa yng dikatakan Mush’ab dan yang di dakwahkannya, maka ‘Amr mengutus seseorang untuk bertanya kepada Mush’ab : “ Apa yang kamu bawa kepada kami?”

Mush’ab berkata : “ Jika kamu mau, maka kami akan datang  kepadamu dan memperdengarkan kepadamu.” Mereka pun membuat perjanjian untuk bertemu pada suatu hari.

Pertemuan antara Mush’ab dan ‘Amr pada awalnya tampak kering dan keras. Akan tetapi, Mush’ab bersabar, karena ia hanya berniat menunjukkan manusia pada jalan yang lurus. Mush’ab membaca surat Yusuf :

“ Alif lam ra. Ini adalah ayat-ayat kitab (Alquran) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”(QS. Yusuf [12]: 1-2)

Ayat ini membuat ‘Amr bin Al-Jamuh takjub. Akan tetapi, ia masih mencintai berhalanya dan tidak memutuskan suatu perkara pun tanpa terlepas darinya. Oleh karena itu, Mush’ab berkata : “ Sesungguhnya aku memiliki cara yang tepat untuk membuatnya takluk pada Islam.”

‘Amr bin Al-Jamuh kembali pada berhalanya, lalu bersujud kepadanya. Ia berkata : “ Wahai Manaf, kamu  mengetahui apa yang diinginkan orang-orang terhadapku, apakah kamu menolaknya?”

‘Amr bin Al-Jamuh meletakkan pedangnya di atas berhalanya. Kemudian meninggalkannya. Mu’adz, anaknya mengambil pedang tersebut dan menyembunnyikannya. Tujuannya agar ayahnya mengetahui bahwa berhala ini itdak menimbulkan manfaat atau mudharat, tidak juga menguasai  dirinya sendiri.

‘Amr bin Al-Jamuh datang. Setelah melihat pedang tidak ada, ia berkata : “ Dimanakah pedangku, wahai Manaf ? Celaka kamu! Kambing yang lemah saja mampu membela dirinya.”

Selanjutnya ia berkata lagi : “ Sesungguhnya aku besok akan pergi untuk melihat hartakku yang berada Alya, Madinah.” Ia berpesan kepada keluarganya agar memperlakukan berhalanya dengan baik.

Ia pun pergi ke Alya, maka anak-anaknya mendatangi berhala. Mereka mengikatnya dengan tali dan meletakkanya di lobang tanah yang digunakann penduduk Yatsrib sebagai tempat sampah dan kotoran mereka.

Beberapa lama kemudian ‘Amr bin Al-Jamuh pulang. Ia menuju berhalanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika berhala tersebut tidak ditemukannya, maka ia berteriak kepada keluarganya : “ Dimana Manaf ? Dimana Tuhanku yang aku cintai?” Namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya.

‘Amr bersungguh-sungguh mencari berhalanya yang raib. Setiap sudut rumah dan tempat yang dicurigainya diamatinya dengan baik. Tidak ketinggalan juga rumah-rumah disekitarnya. Ia selalu menanyakan orang disekelilingnya : “  Tahukah kamu, dimana berhalaku? “ Akhirnya, ia menemukan sesembahannya itu tergeletak di tempat sampah. Baginya ini adalah hal yang tragis dan sangat menyedihkan.

=Bersambung insya Allah=

Sumber: Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thair, Irsyad Baitus Salam 2006.

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Biografi Khalid bin Walid

Biografi Khalid bin Walid

Biografi Khalid bin Walid



Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.. Amma Ba’du:

Tulisan ini adalah bagian kecil dari biografi seorang tokoh terkemuka umat ini, dia salah seorang pahlawan dan kesatria umat ini, dia salah seorang tokoh shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, dan dari perjalanan hidupnya ini kita akan menggali berbagai pelajaran dan ibroh.

Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini masuk Islam pada tahun kedelapan hijriyah dan telah terjun dalam puluhan peperangan.

Para sejarawan mencatat, dia tidak pernah kalah dalam satu peperanganpun baik pada saat jahiliyah atau setelah masuk Islam, dia berkata tentang dirinya, “Sungguh dengan tanganku ini telah terpotong sembilan pedang pada saat peperangan Mu’tah sehingga tidak tertinggal di tanganku kecuali sebuah pedang yang berasal dari Yaman.”

Hal ini membuktikan tentang keberaniannya yang brilian dan kekuatan besar yang telah dianugrahkan baginya oleh Allah pada jasadnya. Dan beliau adalah komando pasukan kaum muslimin pada perang yang masyhur yaitu perang Yamamah dan Yarmuk, dan beliau telah melintasi perbatasan  negeri Iraq menuju ke Syam dalam lima malam bersama para tentara yang mengikutinya. Inilah salah satu keajaiban komandan perang ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggelarinya dengan sebutan pedang Allah yang terhunus, dan beliau memberitahukan bahwa dia adalah salah satu pedang Allah terhadap orang-orang musyrik dan kaum munafiq.

Dia adalah seorang kesatria, Khalid bin Walid bin Al-Mugiroh Al-Qurasy Al-Makhzumy Al-Makky, anak saudari ummul mukminin Maimunah binti Al-Harits radhiallahu ‘anhu, dia seorang lelaki yang kekar, berpundak lebar, bertubuh kuat, sangat menyerupai Umar bin Al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Shahabat memiliki sikap kepahlawanan besar yang mencerminkan dirinya sebagai seorang pemberani dalam  membela agama ini, di antara cerita tentang kepahlawanan beliau adalah apa yang terjadi pada perang Mu’tah, pada tahun ke delapan hijriyah, pada tahun dia memeluk Islam. Jumlah tentara kaum muslimin pada saat itu sekitar tiga ribu personil sementara bangsa Romawi memilki dua ratus ribu personil, melihat tidak adanya keseimbangan jumlah tentara kaum muslimin di banding musuh mereka, terkuaklah sikap kesatria dan kepahlawanan kaum muslimin pada peperangan ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan agar pasukan dipimpin oleh Zaid bin Haritsah, dan jika dia terbunuh maka kepeminpinan berpindah kepada Ja’far bin Abi Thalib, dan jika terbunuh maka kepeminpinan digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. Semua pemimpin di atas mati syahid pada peperangan ini, lalu bendera diambil alih oleh Tsabit bin Aqrom, dan dia berkata kepada kaum muslimin: Pilihlah seorang lelaki sebagai pemimpin kalian, maka mereka memilih Khalid bin Walid, maka pada peristiwa inilah tampak jelas keberanian dan kejeniusannya. Dia kembali mengatur para pasukan, maka dia merubah strategi dengan menjadikan pasukan sayap kanan berpindah ke sayap kiri dan sebaliknya pasukan sayap kiri berpindah ke sebelah kanan, kemudian sebagian pasukan diposisikan agak mundur, setelah beberapa saat mereka datang seakan pasukan batuan  yang baru datang, hal ini guna melemahkan semangat berperang musuh kemudian kesatuan tentara kaum muslimin terlihat menjadi besar atas pasukan kaum Romawi sehingga menyebabkan mereka mundur dan semangat mereka melemah. Dia radhiyallahu ‘anhu telah memperlihatkan berbagai macam bentuk keberanian dan kepahlawanan yang  tidak bisa tandingi oleh semangat para pahlawan. Selain itu, dengan keahliannya dan kecerdasannya dia mulai mengarahkan pasukan kaum muslimin untuk mundur secara teratur dengan cara yang unik, dan cukuplah  dengan pukulan yang seperti itu, dan beliau melihat agar pasukan kaum muslimin tidak terserang pada sebuah peperangan yang tidak sebanding. Dan Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hal itu sebagai kemenangan dan beliau bersabda pada saat menyebut ketiga komandan yang gugur syahid kemudian bendera akan diambil oleh salah satu pedang Allah sehingga Allah memberikan kemenangan bagi kaum muslimin atas musuhnya.

Khalid juga ikut serta dalam peperangan melawan kaum yang murtad, beliau juga ikut berperang menuju Iraq, dan para ulama berbeda pendapat tentang  sebab dipecatnya Khalid sebagai komando perang di Syam, dan semoga yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu: Tidak, aku akan memecat Khalid sehingga masyarakat mengetahui bahwa sesungguhnya Allah membela agamanya tidak dengan Khalid.

Di antara ungkapannya yang agung adalah tidaklah sebuah malam di mana aku bersama seorang pengantin yang aku cintai lebih aku sukai dari sebuah malam yang dingin lagi bersalju dalam sebuah pasukan kaum muhajirin guna menyerang musuh.

Dia pernah menulis sebuah surat kepada kaisar Persia yang mengatakan, “Sungguh aku telah telah datang kepada kalian dengan pasukan yang lebih mencintai kematian sebagaimana orang-orang Persia menyenangi minum khamr.”

Qais bin Hazim berkata,  “Aku telah mendengar Khalid berkata, ‘Berjihad telah menghalangiku mempelajari Al-Qur’anul Karim.’”

Abu Zannad berkata, “Pada saat Khalid akan meninggal dunia dia menangis dan berkata, ‘Aku telah mengikuti perang ini dan perang ini bersama pasukan, dan tidak ada satu jengkalpun dari bagian tubuhku kecuali padanya terdapat bekas pukulan pedang atau lemparan panah atau tikaman tombak dan sekarang aku mati di atas ranjangku terjelembab sebagaimana matinya seekor unta. Janganlah mata ini terpejam seperti mata para pengecut. ‘“

Sungguh Khalaid mengharapkan mati syahid dan semoga Allah menyampaikannya pada derajat yang dicita-citakannya.

Dari Sahl bin Abi Umamah bin Hanif dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meminta kepada Allah mati syahid dengan sebenarnya maka Allah akan menyampaikannya kepada derajat orang-orang yang mati syahid sekalipun dirinya mati di atas ranjangnya.”

Lalu pada saat wafat, dia tidak meninggalkan kecuali kuda, senjata dan budaknya yang dijadikannya sebagai sedekah dijalan Allah, pada saat berita kematian tersebut sampai kepada Amirul Mu’minin, Umar bin Al-Kattab dia berkata, “Semoga Allah meberikan rahmatnya kepada Abu Sulaiman, sesungguhnya dia seperti apa yang kami perkirakan.”

Dan disebutkan  di dalam hadits riwayat Umar bin Al-Khattab tentang zakat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Khalid maka dia telah menyimpan baju besinya dan perlengkapan berperangnya di jalan Allah.”

Dia wafat pada tahun 21 H. di Himsh pada usia 52 tahun, semoga Allah memberikan kepada Khalid balasan yang lebih baik dan semoga Allah mempertemukan kita dengannya surga yang mulia, dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau.

Sumber:  Biografi Khalid bin Walid Radhiyallahu’anhu, Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, http://www.islamhouse.com/p/285620

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Terbunuhnya Sang Ayah

Terbunuhnya Sang Ayah

Terbunuhnya Sang Ayah



Peperangan yang tidak seimbang, kaum muslimin berjumlah 314 sementara kuffar Quraisy 950 pasukan. Dalam perang Badar, tersebutlah seorang sahabat bernama Abu Ubaidah yang berperang penuh keberanian, beliau menerjang musuh, orang-orang kufar Quraisy segan berhadapan bahkan mereka takut menghadapi pejuang ini, karena Abu Ubaidah berperang tidak ada rasa takut untuk mati. Tatkala perang berkecamuk, tiba-tiba ada diantara tentara Quraisy yang berusaha menghadang Abu Ubaidah, beliaupun menghindar dari hadangan tentara tersebut dan berusaha menjauh, tetapi upaya tersebut tidak mendapatkan hasil, tentara Quraisy tersebut senantiasa mengikuti kemana Abu Ubaidah pergi bahkan menghadangnya penuh dengan berani. Diwaktu dimana Abu Ubaidah dalam keadaan sempit dan susah untuk menghindar maka Abu Ubaidah mengayunkan pedangnya dan menebas orang tersebut, tersungkurlah tentara Quraisy itu. Ternyata tentara itu adalah Abdullah bin Jarrah, ayah Abu Ubaidah.

Beliau tidak membunuh ayahnya, yang beliau bunuh adalah kesyirikan yang ada pada pribadi ayahnya, yang dengannya Allah menurunkan wahyu-Nya,

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat- Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah: 22)

Abu Ubaidah adalah seorang sahabat yang berperawakan tinggi, kurus dan berwajah tampan. Orang yang melihatnya akan merasa senang dan membuat jiwa tenang dan ingin selalu berjumpa dengannya. Beliau sangat tawadhu, pemalu, tetapi jika keadaan harus memaksa beliau untuk bertindak dan berbuat, maka ia bergegas melakukan bagaikan singa yang hendak menerkam mangsanya.

Abu Ubaidah bernama Amir bin Abdillah bin Jarrah Al-Qurasy dan memiliki kunyah Abu Ubaidah.

Abdullah bin Umar bin Khaththab berkata, “Tiga orang yang merupakan pemuka orang Quraisy dan sangat dihormati akhlak mereka, mulia, pemalu, jika mereka berbicara kepada kalian tidak akan berdusta, jika kalian berbicara dengan mereka, merekapun tidak mendustakan kalian. Mereka adalah Abu Bakar as Siddiq, Utsman bin Affan dan Abu Ubaidah bin Jarrah.”
Menurut tarikh, Abu Ubaidah termasuk orang yang pertama masuk dalam agama islam. Beliau masuk Islam setelah mendapat ajakan Abu Bakar As Siddiq, sehari setelah Abu Bakar menyatakan keislamannya. Setelah itu berturut-turut diikuti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mad’uun dan Al Arqam bin Abi al Arqam. Mereka semua masuk Islam di hadapan Rasulullah dan mengumumkan keislaman mereka dan merekalah tonggak dan pilar umat ini.

Suatu ketika datanglah utusan dari orang-orang Nasrani kepada Rasulullah. Merekapun berkata, “Wahai abul Qasim(panggilan untuk Rasulullah), utuslah kepada kami seorang laki-laki dari sahabatmu, yang engkau ridhai untuk menjadi hakim dan penengah diantara kami dalam suatu urusan yang kami miliki dari harta kami yang kita berselisih didalamnya, karena kaum muslimin dihadapan kami sangat terhormat dan kami ridha dengan kalian. ”Maka Rasulullah bersabda, ‘Datanglah nanti sore, niscaya aku akan kirim orang yang kuat dan terpercaya.’ Umar berkata, “Maka aku datang untuk shalat dhuhur di awal waktu dan aku tidak berharap untuk memperoleh jabatan sebagai pemimpin kecuali waktu itu, dan harapanku adalah orang yang di pilih Rasul adalah aku, sesudah sholat dhuhur, maka baginda Nabi menoleh ke kanan dan ke kiri, maka akupun berusaha menampakkan diriku sehingga baginda Nabi melihatku. Nabi kembali menengok ke kanan dan ke kiri, kemudian beliau melihat Abu Ubaidah dan memanggilnya dan berkata, ’Pergilah bersama mereka(orang-orang Nasrani) dan jadilah penengah diantara mereka, hakimilah apa yang mereka perselisihkan dengan adil’, maka aku(Umar) berkata,’’Abu Ubaidahlah yang telah meraihnya.”

Sesudah Rasulullah wafat, maka Umar berkata kepada Abu baidah, ”Bentangkanlah tanganmu wahai Abu Ubaidah karena aku mendengar Nabi bersabda, ’Tiap umat memiliki orang yang dipercaya dan sesungguhnya orang yang terpercaya untuk umat ini adalah Abu Ubaidah.’ Maka beliau menjawab, ‘Aku tidak akan maju dan didepanku ada orang yang diperintah Rasulullah untuk menjadi imam shalat dan kami akan mempercayakannya sampai wafat.” Kemudian Abu Bakar dibaiat dan kaum muslimin pun sepakat untuk membaiatnya.
Menjelang wafat, Abu Ubaidah berwasiat kepada tentaranya dan waktu itu beliau berada di negeri Syam. “Sesungguhnya aku berwasiat kepada kalian, dan kalian akan semakin baik selama kalian memeganginya yaitu dirikanlah shalat, berpuasalah Ramadhan, bersedekahlah, berhajilah dan berumrahlah, dan lakukanlah saling memberi nasihat, nasihatilah pemimpin kalian dan janganlah kalian curangi mereka dan janganlah kalian mencampakkan dalam kebinasaan karena dunia…”

Tidak lama sesudah beliau memberi nasihat, ajalpun menyongsongnya, semoga Allah meridhainya dan meridhai kita semua. Amiin, ya Rabbal alamin..

Sumber: Majalah Al-‘Ibar, Edisi VI
Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Ummu Rumman

Ummu Rumman

Ummu Rumman



Beliau adalah putri dari Amir bin Uwaimar bin Abdi Syams bin Itab bin Adzinah bin Subai’ bin Dahman bin Haris bin Ghanam bin Malik bin Kinanah. Tentang nama asli beliau, ada perbedaan pendapat; ada yang mengatakan Zainab, ada pula yang mengatakan Da’ad.

Ummu Rumman tumbuh di Jazirah Arab, di satu daerah yang disebut “As-Sarah”. Beliau adalah seorang wantia yang cantik, memiliki adab, dan fasih lidahnya. Pada mulanya, beliau dinikahi oleh seorang pemuda yang terpandang pada kaumnya, yang bernama Al-Haris bin Sakhirah Al-Azdi, kemudian melahirkan seorang anak yang bernama Thufail.

Suami beliau ingin tinggal menetap di Mekkah maka dia melakukan perjalanan dengan beliau dan juga putranya menuju ke sana. Telah menjadi kebiasaan bangsa Arab bahwa Al-Haris harus mengikuti perjanjian dengan salah satu orang yang terpandang yang akan melindungi dirinya, maka dia mengikat perjanjian dengan Abdullah bin Abi Quhafah (Abu bakar Ash-Shiddiq). Hal itu terjadi sebelum datangnya Islam.

Setelah berlalu beberapa lama, wafatlah Al-Haris bin Sakhirah, maka tiada yang dilakukan oleh Abu Bakar melainkan melamar Ummu Rumman sebagaimana yang menjadi kebiasaan ketika itu sebagai bukti memuliakan sahabatnya setelah kematiannya. Ummu Rumman menerima lamaran Abu Bakar sebagai suami yang mulia yang mau menjaganya setelah suaminya yang pertama wafat.

Sebelumnya, Abu Bakar telah menikah dan telah memiliki anak bernama Abdullah dan Asma’, kemudian pernikahannya dengan Ummu Rumman melahirkan dua orang anak yang bernama Abdurrahman dan Aisyah Ummul Mukminin.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, Abu Bakar adalah laki-laki pertama yang beriman kepada beliau. Selanjutnya, melalui perantaraan dakwahnya, berimanlah beberapa laki-laki. Kemudian, beliau juga mendakwahi istrinya. Ummu Rumman yang mana beliau berdialog dengannya dan mengajaknya kepada kebaikan yang diinginkan pula oleh jiwanya, maka berimanlah Ummu Rumman bersama beliau. Akan tetapi, beliau meminta agar Ummu Rumman merahasiakan urusan tersebut hingga datangnya keputusan dari Allah tentang urusan tersebut.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mondar-mandir ke rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq dari waktu ke waktu, maka Ummu Rumman dapat menjumpainya dengan gembira dan senang hati, beliau menjamunya dengan sebaik-baik jamuan dan menyediakan untuk beliau segala sarana istirahat dan bersenang-senang.

Begitulah, rumah Abu Bakar menjadi tempat tinggal yang mulia bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rumah yang islami dan baik. Adapun Ummu Rumman adalah profil wanita salehah yang berdiri di samping suaminya untuk meringankan penderitaannya, membantunya di saat-saat sulit, dan melewati rintangan keras yang menimpa kaum muslimin pada permulaan. Bahkan, beliau secara maksimal membantu suaminya dengan mendorong semangatnya dan mendorong agar suaminya mencurahkan segenap kemampuannya di jalan dakwah Islam untuk memenangkan kebenaran serta berjuang demi memerdekakan kebanyakan kaum muslimin yang tertindas.

Dilihat dari sisi lain, Ummu Rumman adalah ibu yang penuh kasih dalam mendidik putra-putrinya, yakni Abdurrahman dan Aisyah, dengan didikan terbaik dan menjaga keduanya dengan sebaik-baiknya.

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk melamar Aisyah sebagai tanda ketaatan terhadap perintah Allah ta’ala maka bergembiralah Ummu Rumman dengan kebahagiaan yang tiada tara karena mendapatkan hubungan mertua dan menantu yang mulia, dan tidak ada kemuliaan yang lebih darinya.

Bersamaan dengan semakin kerasnya gangguan dari kaum musyrikin terhadap kaum muslimin dan memuncaknya kekejaman serta kezhaliman mereka maka Allah subhanahu wa ta’ala mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah. Lalu, tinggallah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama keluarga dan para sahabat serta Abu Bakar yang bersama keluarganya yang menunggu perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk berhijrah.

Kemudian datanglah perintah dan kemudian berhijrahlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ditemani Abu Bakar. Setelah itu, yang masih tinggal di Mekkah di antaranya adalah Ummu Rumman yang memikul tanggung jawab yang besar dengan menanggung kesombongan orang-orang jahiliah yang juga mengancam dan menakut-nakuti dirinya. Asma’ binti Abu Bakar berkata, “Tatkala Abu Jahal bin Hisyam keluar kemudian berdiri di depan pintu, aku pun keluar menemui mereka. Mereka berkata, ‘Di manakah bapakmu, wahai anak Abu bakar?’ Aku (Asma’) menjawab, ‘Aku tidak tahu keberadaan ayahku.’ Maka Abu Jahal yang dikenal bengis dan kejam mengangkat tangannya kemudian menampar pipiku hingga jatuhlah anting-antingku.”

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya sampai dan menetap di Madinah, beliau mengutus Zaid bin Haritsah bersama Abu Rafi’, dan Abu Bakar mengutus Abdullah bin Uraiqath untuk menjemput keluarganya. Kebetulan, mereka berpapasan dengan Thalhah yang hendak berhijrah. Akhirnya, mereka bersama-sama hijrah ke Madinah. Mereka bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga orang-orang yang beriman di Madinah.

Di Madinah itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal seatap dengan Aisyah. Adanya ikatan perkawinan yang baru tersebut merupakan salah satu penyebab kuatnya hubungan antara dua rumah tangga yang mulia, dan hal itu juga membesarkan hati Ummu Rumman karena beliau melihat betapa sayang dan cintanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah, begitu pula menjadi leluasa bagi beliau untuk kembali ke rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menambah bekal dari mata air nubuwwah yang jernih.
Kesedihan Ummu Rumman atas putrinya

Hari-hari berputar hingga terjadilah suatu peristiwa yang di luar perhitungan, yaitu tatkala Aisyah Ummul Mukminin Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq dituduh dengan tuduhan dusta. Fitnah tersebut –yang disebarkan oleh seorang pendusta dan pesuruh munafik yang bernama Ibnul Salul– kemudian tersebar dari mulut ke mulut hingga Ummu Rumman mendengar dusta yang mereka katakan dan berita yang tersebat tersebut. Bahkan, beliau pingsan karena hebohnya isu yang beliau dengar. Akan tetapi, tatkala beliau tersadar, beliau merahasiakan kabar tentang putrinya tersebut karena kasih sayangnya dan beliau memohon kepada Allah agar melepaskan tuduhan yang ditujukan kepada putrinya.

Tatkala Allah menghendaki Aisyah mengetahui isu yang telah tersebar dari mulut ke mulut –beliau mendengar dari Ummu Masthah bin Atsatsah– beliau langsung kembali ke rumah ayahnya untuk mengadukan dan menangis serta menyalahkan ibunya karena menyembunyikan urusan itu.

Berkatalah Ummu Rumman, sedangkan di pipinya menetes air mata, “Wahai putriku, ringankanlah urusan ini bagimu …. Demi Allah, tiada seorang wanita pun yang bersuamikan seseorang yang mencintainya sedangkan dia memiliki madu, melainkan pastilah akan banyak cobaan dari manusia.”

Maka Allah menjawab suara hati dari seorang mukminah dan shadiqah tersebut, hingga turunlah ayat yang membebaskan Ash-Shiddiqah Ummul Mukminin dari tuduhan dusta. Ayat yang senantiasa dibaca dan bernilai ibadah bagi siapa saja yang membacanya hingga hari kiamat,

“Sesungguhnya, orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu ….” (Q.s. An-Nur:11)

Sungguh, masa tersebut adalah masa yang paling pahit yang dialami oleh Ummu Rumman dalam hidupnya, sehingga hal itu berpengaruh besar pada diri beliau yang menyebabkan beliau sakit, maka Aisyah merawatnya selama beberapa waktu untuk berkhidmat kepada beliau, hingga Allah subhanahu wa ta’ala melewatkannya.

Rasulullah mengunjungi kuburnya dan memohonkan ampun kepada Allah baginya kemudian berdoa,

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mahatahu apa yang telah dikerjakan oleh Ummu Rumman karena-Mu dan Rasul-Mu.”

Semoga Allah meridhai Ummu Rumman karena beliau termasuk rombongan pertama yang masuk Islam, menegakkan seluruh hal yang menjadi konsekuensi iman. bBeliau berhijrah, bersabar dan menghadapi ujian dakwah karena Allah.

Sumber: Mereka adalah Para Shahabiyah, Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Musthafa Abu An-Nashir Asy-Syalabi, Pustaka At-Tibyan, Cetakan ke-10, 2009.

Disertai penyuntingan bahasa oleh redaksi www.KisahMuslim.com

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Abu Bakar

Abu Bakar

Abu Bakar RA


Beliau adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib Al-Qurasyi At-Taimy. Nasab beliau bertemu dengan nasabnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kakek keenam yaitu Murrah bin Ka’ab.

Bapak beliau, Utsman bin Amir, akrab dipanggil Abu Quhafah. Ibu beliau adalah Ummul Khair yaitu Salma binti Shohr bin Amir. Berarti sang ibu adalah putrid pamannya (sepupu) bapak. Beliau dilahirkan dua tahun enam bulan setelah Tahun Gajah.

Di masa jahiliah Abu Bakar dikenal sebagai seorang yang jujur, berakhlak mulia, dan mahir dalam berdagang. Hal ini diketahui oleh semua manusia sehingga beliau sering didatangi para pemuda Quraisy untuk diminta keterangan tentang ilmu pengetahuan, strategi berdagang, dan sopan santunnya. Selain itu, beliau juga termasuk salah satu dari ahli nasab Quraisy hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan,

“Sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang Quraisy yang paling mengetahui tentang nasab mereka.” (HR. Muslim, 2490)

Bahkan Abu Bakar tidak pernah meminum Khamer sampaipun di masa jahiliah. Tatkala beliau ditanya, beliau menjawab, “Aku adalah orang yang menjaga kehormatan dan menjaga muru’ah, siapa yang meminum Khamer maka berarti dia telah melalaikan kehormatan dan muru’ahnya.” (Lihat Tarikh Al-Khaulafa, 49)

Ketika cahaya Islam menerangi bumi Makkah dibawa oleh seorang Al-Amin (yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka Abu Bakar radiyallahu ‘anhu menyambut baik hidayah Islam, bahkan beliau adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan kaum laki-laki yang merdeka.

Sahabat Ammar bin Yasir bercerita, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  di Makkah dan tidakkah bersamanya kecuali lima orang budak, dua wanita, dan Abu Bakar.” (HR. Bukhari, 3857)

Setelah mengikrarkan keislamannya, Abu Bakar Radiyallahu ‘anhu mengajak sahabat-sahabatnya untuk masuk Islam, sehingga dengan sebab dakwahnya banyak para pemuda Makkah yang menyatakan keislamannya. Beliau pun banyak menginfakkan hartanya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan beliau pernah menginfakkan seluruh hartanya hingga sahabat Umar tidak dapat mengalahkannya dalam berinfak. Selain itu, Abu Bakar radiyallahu ‘anhu memerdekakan para budak dan tidak mengharapkan dari hal itu semua kecuali wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Aisyah radiyallahu ‘anha bercerita, “Abu Bakar pernah memerdekakan tujuh budak yang telah disiksa di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antara mereka adalah Bilal dan Amir bin Fuhairah.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 3/321)

Ahlus sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa manusia terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para sahabat dan sebaik-baik sahabat adalah Abu Bakar dan Umar atas seluruh para sahabat.” (Kitabul I’tiqad, 192)

Berkata Al-Imam asy-Syafi’i, “Tidak ada seorang pun yang berselisih dari kalangan para sahabat dan tabi’in tentang keutamaan Abu Bakar dan Umar atas seluruh para sahabat.” (Kitabul I’tiqad, 192)

Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir, “(Orang yang) paling mulia di antara para sahabat bahkan paling mulia di antara seluruh makhluk setelah para Nabi adalah Abu Bakar, kemudian setelahnya Umar bin Khaththab, kemudian Utsman bin Affan, dan kemudian Ali bin Abi Thalib.” (Al-Ba’itsul Hatsis, 183)

Di antara hal yang menunjukkan kemuliaan Abu Bakar radiyallahu ‘anhu adalah peristiwa bersejarah yang telah dicatat oleh Alquran dan akan selalu dikenang oleh seluruh kaum muslimin hingga hari kiamat yaitu peristiwa besar hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kota Makkah ke kota Madinah. Orang-orang kafir Quraisy tidak begitu saja membiarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kota Makkah dalam keadaan aman. Mereka telah menyiapkan pasukan berkuda untuk menyusul dan membawa kembali Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hidup atau mati. Begitulah keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah beratnya safar panjang di bawah terik matahari, di atas kerikil panas padang pasir yang luas seakan lautan tak bertepi, ditambah lagi di belakang sana ada serambongan serigala padang pasir dengan bersenjata lengkap semakin mendekat.

Namun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sendiri. Beliau ditemani oleh Sahabat setianya yang selalu berbagi baik dalam suka dan duka, dialah Abu Bakar Ash-Shiddiq radiyallahu ‘anhu, manusia pertama yang beriman dan membenarkan kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga akhirnya keduanya dapat berlindung di sebuah gua menyelamatkan diri dari kejaran musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabadikan peristiwa besar tersebut di dalam firman-Nya,

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Alah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad).” (Q.S. At-Taubah, 40)

Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sahabat Abu Bakar telah menceritakan kepadaku, beliau (Abu Bakar) mengatakan, ‘Aku melihat ke arah kaki-kaki kaum musyirikin yang berada tepat di atas kami, sedangkan kami berada di dalam gua, maka aku katakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya salah satu di antara mereka mau melihat ke arah kakinya maka pasti mereka di bawah kaki-kaki mereka. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memenangkan beliau seraya mengatakan,

“Wahai Abu Bakar, bagaimana menurutmu kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah yang ketiga dari kita berdua.” (HR. Bukhari, 4386 dan Muslim, 2381)

Beliau adalah shiddiqul akbar yaitu seorang yang selalu membenarkan berita yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam semustahil apa pun menurut manusia. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah bukti nyata bahwa beliau adalah shiddiqul akbar. Tatkala manusia datang beramai-ramai sambil mengolok-olok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ceritanya tersebut, tetapi apa yang diucapkan oleh sahabat Abu Bakar? Beliau justru mengatakan, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan hal itu, maka sungguh dia telah benar.”

Karena itu, tidak berlebihan bila beliau di sebut sebagai Ash-Shiddiq. Bahkan yang menggelari beliau Ash-Shiddiq adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.

Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke Gunung Uhud dan bersama beliau ada Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Maka Uhud bergetar, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memenangkannya seraya mengatakan,

“Tenang wahai Uhud, karena di atasmu ada seorang Nabi, Shiddiq dan dua orang Syahid.” (HR. Bukhari, 3472)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Az-Zumar, 33)

Al-Imam Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Muhammad dan Abu Bakar. (Jami’ul Bayan, 24/3)

Abu Bakar radiyallahu ‘anhu adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat berhati-hati dalam hal makanan. Aisyah radiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa suatu waktu Abu Bakar memiliki seorang budak yang setiap harinya budak tersebut memberi beliau hasil usaha kesehariannya. Abu Bakar pun memakan dari hasil usaha budaknya tersebut. Suatu hari budak tersebut membawa makanan dan Abu Bakar memakan sebagian dari makanan tersebut. Lantas budak tersebut mengatakan kepadanya, “Wahai tuanku, tahukan Anda dari mana makanan ini?” Abu Bakar menjawab, “Dari mana engkau dapat makanan ini?” Budak itu menjawab, “Dahulu saya pernah berlagak seperti orang pintar (dukun) kepada seseorang, padahal saya sama sekali tidak tahu tentang ilmu perdukunan. Saya hanya menipunya dan ia memberikan upah kepadaku, termasuk apa yang engkau makan tadi.” Mendengar hal itu Abu Bakar Radiyallahu ‘anhu langsung memasukkan jari ke mulutnya dan memuntahkan semua makanan yang tadi ia makan. (HR. Bukhari, 3629)

Zaid bin Arqam radiyallahu ‘anhu bercerita, “Salah satu budak Abu Bakar radiyallahu ‘anhu pernah melakukan ghulul dan darinya ia membawa makanan kepada Abu Bakar. Setelah Abu Bakar selesai makan, budak tersebut mengatakan, ‘Wahai Tuanku, biasanya setiap malam engkau bertanya kepadaku tentang setiap hasil usahaku, tetapi mengapa malam ini engkau tidak bertanya terlebih dahulu?’ Abu Bakar menjawab, ‘Yang menyebabkan hal itu tidak lain adalah karena rasa lapar. Memangnya dari mana harta tersebut?’ Maka budak tersebut menceritakan usahanya. Serta-merta Abu Bakar menjawab, ‘Hampir saja engkau membunuhku.’ Lalu Abu Bakar memasukkan tangannya ke mulut dan berusaha memuntahkan setiap suapan makanan yang tertelan, tetapi usahanya tidak berhasil, kemudian dikatakan, ‘Sesungguhnya makanan itu tidak dapat keluar kecuali dengan air.’ Maka beliau meminta segelas air lalu meminumnya dan memuntahkannya hingga keluar semua makanan yang tadi beliau makan. Lalu dikatakan kepada beliau, ‘Engkau lakukan ini hanya karena ingin memuntahkan makanan yang telah engkau makan?’ Beliau menjawab, ‘Seandainya ia tidak keluar kecuali bila harus bersama jiwaku maka akan aku lakukan’.” (Lihat Shafwatush Shafwah 1/252, Hilyatul Auliya 1/31)

Allahu Akbar, wahai Shiddiq Umar ini, sungguh inilah sikap wara’ yang sangat tinggi, yang hampir-hampir tidak dijumpai lagi di zaman akhir seperti zaman ini. Inilah ketaqwaan. Inilah keimanan. Aku bersaksi bahwa engkau adalah orang yang termulia setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka hendaklah bertakwa kepada Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang-orang yang selalu memakan harta yang haram baik siang maupun malam, hingga jasadnya dan jasad anak-anaknya tumbuh dari hasil yang haram.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati para wanita salaf, di mana tatkala sang suami akan keluar ke pasar, ia memegang pundaknya seraya berpesan, “Wahai suamiku, bertaqwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari apa yang engkau berikan kepada kami. Jangan engkau berikan kepada kami barang yang haram. Sesungguhnya kami dapat bersabar dari beratnya rasa lapar, tetapi kami tidak dapat bersabar dari panasnya api neraka Jahannam.”!!!
Mutiara faidah dari kisah Abu Bakar Ash-Shidiq

Demikianlah perjalanan hidup manusia terbaik setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Darinya kita dapat memetik teladan yang sangat banyak, di antaranya,

    Seorang muslim hendaklah berhias dengan akhlak yang mulia dan meninggalkan perkara-perkara yang dapat menghilangkan kemuliaan dan muru’ah-nya.
    Anjuran untuk berinfak dan bersedekah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Harta yang diinfakkan dan disedekahkan oleh seseorang itulah harta yang akan bermanfaat baginya.
    Merupakan adab dan kewajiban seorang mukmin adalah membenarkan semua kabar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau tidak berbicara melainkan dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
    Sesama muslim adalah bersaudara, hendaklah mereka saling ta’awun ‘alal birri wat taqwa (tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa), saling meringankan beban saudaranya sesuai dengan kadar yang ia mampu.
    Wara’ dari memakan barang yang haram adalah sifat khusus seorang muslim, karena jasad yang tumbuh dari harta yang haram maka nerakalah tempat yang pantas untuknya. Hampir-hampir sifat wara’ ini hilang dari diri kaum muslimin kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sumber: Majalah Al-Furqon, Edisi 10 Tahun ke-10 1432/2011

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Sumayyah binti Khayyat

Popular Posts

Category