ALHIJAZ INDOWISATA TRAVEL | PAKET UMROH MURAH PROMO 2016 2017 - INFO HARGA BIAYA UMROH MURAH - HAJI ONH PLUS - HAJI BATAL GANTI

Tlp. 021-91693870 | Telkomsel. 081219395680 | Indosat. 085743682680 | PIN BB. 7CF96624

Umroh Murah| Umroh Promo | Travel Umroh Murah Promo Jakarta | Umroh Murah Awal Ramadhan, Akhir Ramadhan 2016 | Info Harga Paket Umroh Murah Promo 2016 2017

Paket Umroh Murah Promo 2016 2017 | Harga Umroh Promo Murah 2016 | Info Biro Travel Umroh Murah Promo Jakarta | Jadwal Keberangkatan Wisata Umroh Murah Promo 2016 2017

Abu Ubaidah Al-Jarrah

Abu Ubaidah Al-Jarrah



Sahabat inilah yang pertama-tama dijuluki sebagai pemimpin para pemimpin (Amirul Umara). Dialah orang yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kanannya seraya bersabda mengenai dirinya,

“Sesungguhnya setiap umat memiliki orang kepercayaan, dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.“

Orang kepercayaan inilah yang disebut-sebut Al-Faruq radhiallahu ‘anhu pada saat akan menghembuskan nafas terakhirnya, “Seandainya Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu ‘anhu masih hidup, niscaya aku menunjuknya sebagai penggantiku. Jika Rabb-ku bertanya kepadaku tentang dia, maka aku jawab, ‘Aku telah menunjuk kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya sebagai penggantiku’.”

Ia masuk Islam lewat perantaraan Ash-Shiddiq di masa-masa awal Islam sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk Darul Arqam. Ia berhijrah ke Habasyah yang kedua. Kemudian kembali untuk berdiri di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salalm dalam Perang Badar. Ia mengikuti peperangan seluruhnya, kemudian melanjutkan berbagai peperangan bersama Ash-Shiddiq dan Al-Faruq radhiallahu ‘anhuma.

Sikap yang ditunjukkannya dalam perang Uhud menjelaskan kepada kita bahwa ia benar-benar kepercayaan umat ini, di mana ia tetap menebaskan pedangnya yang terpercaya kepada pasukan kaum paganis. Setiap kali situasi dan kondisi perang mengharuskannya jauh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berperang sembari kedua matanya memperhatikan di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertempur.

Di salah satu putarannya dan peperangan telah mencapai puncaknya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu dikepung oleh segolongan kaum musyrikin. Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu kehilangan kesadarannya, ketika melihat anak panah meluncur dari tangan orang musyrik lalu mengenai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menyerang orang-orang yang mengepungnya dengan pedangnya dan seolah-olah ia memegang seratus pedang, sehingga membuat mereka tercerai berai. Lantas ia berlari bak terbang menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia melihat darah beliau yang suci mengalir dari wajahnya, dan melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap darah itu dengan tangan kanannya seraya bersabda,

“Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melumuri wajah Nabi mereka, padahal dia menyeru kepada Rabb mereka.” (Lihat, Tafsir al-Qurthubi, 4/ 199)

Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu menerangkan kepada kita tentang fenomena ini lewat pernyataannya, “Pada saat perang Uhud, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena lemparan sehingga dua bulatan besi menancap di dahinya, aku cepat-cepat menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara ada seseorang yang datang dari arah timur berlari kencang seperti terbang, maka aku katakan, ‘Ya Allah, jadikanlah itu sebagai ketaatan.’ Ketika kami sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata ia adalah Abu Ubaidah bin Jarrah yang telah datang lebih dulu daripadaku. Ia berkata, ‘Aku meminta kepadamu, dengan nama Allah, wahai Abu Bakar, biarkan aku mencabutnya dari wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Aku pun membiarkannya. Ubaidah mengambil dengan gigi serinya salah satu bulatan besi itu, lalu mencabutnya dan jatuh ke tanah, gigi serinya pun jatuh bersamanya. Kemudian ia mengambil sepotong besi lainnya dengan gigi serinya yang lain sampai jatuh. Sejak saat itu, Abu Ubaidah di tengah khalayak dijuluki dengan Atsram (yang terpecah giginya, atau jatuh dari akarnya).

Pada saat delegasi Najran dari Yaman datang untuk menyatakan keislaman mereka, dan meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengutus bersama mereka orang yang mengajarkan kepada mereka Alquran, Sunnah dan Islam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka,

“Aku benar-benar akan mengutus bersama kalian seorang pria yang sangat dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya.” (Thabaqat Ibn Sa’d, 3/ 314)

Semua sahabat berharap bahwa dialah yang bakal dipilih oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata persaksian ini menjadi keberuntungannya.

Umar Al-Faruq radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak menyukai suatu jabatan pun sebagaimana aku menyukainya pada saat itu, karena berharap akulah yang bakal memperolehnya. Aku pergi untuk shalat Zhuhur dengan berjalan kaki. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur bersama kami, beliau mengucapkan salam, kemudian memandang ke kanan dan ke kiri. Aku menegakkan punggungku agar beliau melihatku. Tapi beliau terus mengarahkan pandangannya hingga melihat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Kemudian beliau memanggilnya seraya bersabda,

‘Keluarlah bersama mereka. Putuskan perkara di antara mereka dengan haq dalam segala hal yang mereka perselisihkan’.“

Akhirnya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu pergi bersama mereka.

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu berjalan di bawah panji Islam. Sekali waktu ia bersama para pasukan biasa, dan pada kesempatan yang lain bersama para panglima. Sampai datanglah masa Umar radhiallahu ‘anhu, ia menjabat sebagai panglima pasukan Islam di salah satu peperangan besar di Syam. Ia mendapatkan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peperangan ini, hingga ia menjadi hakim dan gubernur negeri Syam, dan perintahnya ditaati.

Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu mengunjungi Syam, dan bertanya kepada orang-orang yang menyambutnya, “Di manakah saudaraku?” Mereka bertanya, “Siapa?” Ia menjawab, “Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” Ketika Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu datang, Umar memeluknya. Kemudian Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu membawa Umar radhiallahu ‘anhu ke rumahnya. Di dalam rumah tersebut, Umar tidak melihat sedikit pun perkakas rumah tangga, kecuali pedang, perisai dan untanya. Umar radhiallahu ‘anhu bertanya kepadanya sembari tersenyum, “Mengapa engkau tidak memiliki sesuatu untuk dirimu sebagaimana dilakukan orang lain?” Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Wahai Amirul Mu’minin, inilah yang bisa mengantarkanku ke akhirat.”

Pada suatu hari, pada saat Al-Faruq Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berada di Madinah, seorang informan datang kepadanya untuk mengabarkan bahwa Abu Ubaidah telah meninggal dunia. Mendengar hal itu, Al-Faruq radhiallahu ‘anhu memejamkan kedua matanya dalam keadaan penuh dengan air mata. Air mata pun mengalir, lalu dia membuka kedua matanya dalam kepasrahan. Ia memohonkan rahmat Allah untuk sahabatnya dalam keadaan air mata mengalir dari kedua matanya, air mata orang-orang shalih. Air mata mengalir karena kematian orang-orang yang shalih. Al-Faruq Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Seandainya aku boleh berangan-angan, maka aku hanya mengangankan sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah.”

Kepercayaan umat meninggal dunia di atas bumi yang telah dibersihkannya dari paganisme Persia yang beragama Majusi dan dari keangkara murkaan Romawi. Di sana pada hari ini, di bawah tanah Yordan, jasad yang suci dikebumikan. Ia menjadi tempat bagi ruh yang baik dan jiwa yang tentram.

Sumber: Rijal Haula ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 160-180 (alsofwah.or.id)
Artikel www.KisahMuslim.com dengan 

Kesabaran Sumaiyyah

Kesabaran Sumaiyyah



Sabar adalah salah satu sifat terpuji yang telah ditanamkan Islam kedalam hati para wanita mukminah dari kalangan para shahabiyat, dan menumbuhkannya dalam sanubari mereka, sehingga salah seorang diantara mereka pada saat menghadapi berbagai cobaan dan musibah bagaikan gunung yang kokoh tak bergerak, dan bagaikan singa di sarangnya, ia tidak takut dan tidak ragu.

Mereka telah mengalami berbagai siksaan lahir dan batin, mengalami sakit parah, kemiskinan yang mencekik, kehilangan orang-orang yang dicinati. Namun itu semua tidak menggoyahkan keimanan mereka, tidak membunuh semangat mereka, tidak menjadikan mereka berkeluh kesah, lemah dan gelisah.

Diantara shahabiyat yang mendapat anugerah tersebut adalah Sumaiyah, seorang wanita yang pertama kali mendapatkan syahid dalam Islam.

Kisahnya,….

Dalam ketegaran menghadapi siksaan, tampak sekali sikap Sumaiyah binti Khabbat, ibu Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu, sebagai contoh terdepan dan bukti yang sangat tepat dalam hal ini.

Abu Jahal, panglima kezhaliman memakaikan baju besi pada Sumaiyah, kemudian menjemurnya dibawah terik panas matahari yang membakar. Walaupun begitu ia bersabar dan mengharap pahala, ia tidak berharap sesuatu kecuali Allah dan Hari Akhir. Ketika sikap beliau ini mematahkan kesombongan Abu Jahal, dan mengobarkan kemarahan di hatinya, Abu Jahal melakukan apa yang dilakukan oleh para penguasa zhalim lagi jahat ketika tak mampu berbuat apa-apa. Karena ketegaran Sumaiyah radhiallahu ‘anha dalam agamanya, Abu Jahal mendekatinya, kemudian menusuknya dengan tombak hingga meninggal dunia.

Dalam kitab ‘Usdhu al-Ghabah’, al-Hafizh Ibnu hajar mengatakan, “Abu Jahal menusuk sumaiyah dengan tombak yang ada ditangannya pada kemaluannya hingga meninggal dunia. Beliau adalah orang yang mati syahid pertama dalam Islam, beliau dibunuh sebelum hijrah, dan beliau termasuk diantara orang yang memperlihatkan keislamannya secara terang-terangan pada awal datangnya Islam.”

Ini adalah merupakan pelajaran bagi setiap mukminah yang diinginkan oleh orang-orang yang brbuat dosa untuk dicopot dari agamanya, hendaknya ia meneladani ketegaran, keteguhan dan kesabaran Sumaiyah. Semboyannya adalah perkataan Abu Athiyah,

“Bersabarlah dalam kebenaran, engkau akan merasakan manisnya
Kesabaran demi kebenaran terkadang harus melalui kepedihan.”

Hal ini juga menunjukkan bahwa sabar itu tidaklah ada batasnya, sampai Allah mendatangkan keputusan dan ketetapan-Nya.

Sumber: Durus min Hayat ash-Shahabiyat, karya Abdul Hamid bin Abdurrahman as-Suhaibani. (alsofwah.or.id)
Artikel www.KisahMuslim.com

Keberanian Zubair

Keberanian Zubair



Al-Laits meriwayatkan dari Abul Aswad dari Urwah, katanya,

“Az-Zubair memeluk Islam dalam usia 8 tahun. Suatu waktu dia pernah tersugesti oleh setan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditangkap di dataran tinggi Mekkah. Az-Zubair yang masih kanak-kanak, berusia 12 tahun keluar rumah sambil membawa pedang. Setiap orang yang melihatnya terheran-heran dan berkata,
‘Anak kecil menenteng pedang?!’
Hingga akhirnya bertemu Nabi. Nabi turut heran terhadapnya dan bertanya,
‘Ada apa denganmu wahai az-Zubair?!’
Az-Zubair mengabarkan (sugesti yang terlintas dalam pikirannya) seraya berkata,
‘Aku datang untuk memenggal dengan pedangku ini siapa pun yang menangkapmu!’ [Siyar A’lam an-Nubala, I/41-42]

Sumber: 30 Langkah Mendidik Anak Agar Mengamalkan Ajaran Agama, karya Salim Sholih Ahmad ibn Madhi, Islamhouse.com
Artikel www.kisahmuslim.com dengan sedikit perubahan.

Mengenal Mariyah Al-Qibtyah

Mengenal Mariyah Al-Qibtyah



Seorang wanita asal Mesir yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir kepada Rasulullah tahun 7 H. Setelah dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah dan mendapat seorang putra bernama Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar dan meninggal pada masa kekhalifahan Umar.

Seperti halnya Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah al-Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang kemudian beliau bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun memperlakukan Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri Rasulullah satu-satunya yang melahirkan seorang putra, Ibrahirn, setelah Khadijah.

Dari Mesir ke Yastrib

Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agarna Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersarna saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.

Rasulullah mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, rnenyeru raja agar memeluk Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan Hatib rnerasakan kesedihan hati Mariyah karena harus rneninggalkan kampung halamannya. Hatib rnenghibur mereka dengan menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka merneluk Islam. Mereka pun menerirna ajakan tersebut.

Rasulullah teläh menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah masjid.

Ibrahim bin Muhammad

Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah radhiallahu ‘anha. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.

Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim ‘alaihissalam. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah dengan gembira.

Akan tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu semakin tampak bersamaan dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah mdengan Mariyah di rumah Hafshah, sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah mengharamkan Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah telah menegur lewat firman-Nya (yang artinya),

“Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (Q.S. At-Tahriim:1)

Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh, itu lebih menyakitkan bagi karni.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”

Beberapa orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali radhiallahu ‘anhu menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.

Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malarn, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”

Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda,

“Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”

Demikianlah keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.

Saat Wafatnya

Setelah Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin.

Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh (ahlulhadist.wordpress.com)
Artikel www.KisahMuslim.com

Abu Dzar Al-Ghifari

Abu Dzar Al-Ghifari



Dari Abdullah bin Ash-Shamit, ia mengatakan bahwa Abu Dzar menuturkan, “Kami keluar dari kaum kami (Ghifar), dan mereka menghalalkan bulan suci. Aku keluar bersama adikku, Unais, dan ibu kami. Kami singgah di rumah paman kami (dari pihak ibu). Paman memuliakan kami dan berbuat baik kepada kami, sehingga kaumnya iri hati terhadap kami. Kata mereka, ‘Jika kamu pergi meninggalkan keluargamu, maka Unais memimpin mereka.’ Kemudian pamanku datang lalu menyampaikan kepada kami apa yang dikatakan kepadanya. Mendengar hal itu kami mengatakan, ‘Kebaikan yang anda perbuat selama ini telah anda cemari. Kami tidak bisa meneruskan hubungan lagi denganmu.’

Kemudian kami mendekati sekawanan unta kami dan kami menungganginya. Sedangkan paman kami menutup wajahnya dengan pakaiannya sambil menangis. Kami pun pergi sehingga kami tiba di gerbang kota Mekkah. Unais membangga-banggakan sekawanan unta kami dibandingkan unta lainnya. Keduanya lalu pergi kepada seorang dukun (sebagai hakim untuk memutuskan keduanya siapa yang lebih baik), lalu hakim tersebut menilai milik Unaislah yang terbaik. Lalu Unais datang kepada kami dengan membawa sekawanan unta kami bersama unta lainnya.

Ia mengatakan, ‘Aku sudah melaksanakan shalat, wahai saudaraku, tiga tahun sebelum aku bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Aku bertanya, ‘Karena siapa?’ Ia menjawab, ‘Karena Allah.’ Aku bertanya, ‘Kemana kamu menghadap?’ Ia menjawab, ‘Aku menghadap di mana Tuhanku menghadap kepadaku. Aku shalat isya’ hingga ketika akhir malam, aku terhempas seolah-olah aku pakaian, hingga matahari terbit.’

Unais berkata, ‘Aku perlu pergi ke Makkah, berilah aku bekal.’ Ia pun berangkat hingga sampai di Makkah, dan cukup lama meninggalkanku. Kemudian ia kembali, maka aku bertanya, ‘Apa yang kamu lakukan di Makkah?’ Ia menjawab, ‘Di Makkah aku bertemu dengan seorang laki-laki yang beragama seperti kamu, yang menyangka bahwa Allah telah mengutusnya (sebagai rasul).’ Aku bertanya, ‘Apa yang dikatakan orang-orang?’ Mereka mengatakannya sebagai penyair, dukun dan penyihir.’ Unais adalah seorang penyair.

Kata Unais, ‘Aku telah mendengar ucapan-ucapan para dukun, tetapi ucapan orang ini tidak seperti ucapan mereka. Aku telah membandingkan ucapannya dengan cara (yang ditempuh) para penyair, tetapi tidak ada yang sesuai dengan ucapan seorang pun, bahwa itu syair. Demi Allah, ia benar dan mereka berdusta’.”

Aku katakan, ‘Berilah aku bekal untuk pergi ke Makkah dan melihat orang itu.’ Aku pun tiba di Makkah, dan mencari orang yang paling lemah di antara mereka, lalu aku bertanya, ‘Di manakah orang yang kamu katakan sebagai Shabi’ (pembawa agama) itu?’ Ia mengisyaratkan kepadaku seraya mengatakan, ‘(Kamu) shabi’.’ Maka penduduk lemah itu melempariku dengan batu dan tulang sehingga aku jatuh pingsan.

Ketika aku terbangun, seolah-olah aku batu merah karena banyaknya darah di tubuhku. Kemudian aku menuju sumur Zam-zam untuk membersihkan darah dari tubuhku dan minum airnya. Aku sudah berada ditempat ini, wahai anak saudaraku, selama 30 hari 30 malam, tanpa memakan sesuatu pun selain air Zam-zam. Aku menjadi gemuk sehingga hilang lekukan perutku dan aku tidak pernah merasa lemah karena kelaparan.

Tatkala penduduk Makkah di malam purnama yang terang benderang, ketika mereka telah tidur, tidak ada seorang pun yang thawaf di Ka`bah, selain dua orang wanita yang bernama Isaf dan Na’ilah.

Lalu keduanya datang kepadaku dalam thawaf keduanya, maka aku katakan, ‘Nikahlah salah satu dari kalian.’ keduanya mengomel tidak karuan. Lalu keduanya datang kepadaku, maka aku katakan, ‘Aku lelaki perkasa.’ Kemudian keduanya pergi sambil mencaci maki dan mengatakan, ‘Seandainya di sini ada seseorang dari para pembela kami.’

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar menyambut keduanya, saat keduanya turun. Beliau bertanya, ‘Ada apa dengan kalian berdua?’ Keduanya menjawab, ‘Ada shabi’ di antara Ka’bah dengan penutupnya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang diucapkan kepada kalian berdua?’ Ia menjawab, ‘Ia mengatakan kepada kami dengan ucapan yang tidak pantas.’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang hingga mencium hajar Aswad. Beliau thawaf di Baitullah beserta sahabatnya, kemudian mengerjakan shalat. Setelah menyelesaikan shalatnya, -Abu Dzar mengatakan, ‘Aku adalah mula-mula orang mengucapkan salam kepadanya dengan salam Islam-, maka aku mengucapkan, ‘As-Salamu `alaika, ya Rasulallah!’ Beliau menjawab, ‘Wa `alaika wa rahmatullah.‘ Kemudian beliau bertanya, ‘Siapa kamu?’ Aku menjawab, ‘Dari Ghifar.’

Tapi, lanjut Abu Dzar, beliau menarik tangannya dan meletakkan jarinya pada dahinya. Aku bergumam dalam hatiku, ‘Mungkin beliau tidak suka jika aku menyebut Ghifar.’ Aku pun pergi untuk memegang tangan beliau tapi sahabatnya menghalangiku, dan dia lebih tahu daripadaku. Kemudian beliau mengangkat kepalanya seraya bertanya, ‘Sejak kapan kamu berada di sini?’ Aku menjawab, ‘Sejak 30 hari 30 malam yang lalu.’ Beliau bertanya, ‘Siapa yang memberimu makan?’ Aku menjawab, ‘Aku tidak pernah memakan makanan kecuali air Zam-zam. Aku menjadi gemuk sehingga lekukan perutku hilang, dan aku tidak pernah lemah karena kelaparan.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Air Zam-zam itu memberikan keberkahan. Ia adalah makanan yang mengenyangkan.’

Abu Bakar berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan aku malam ini untuk menjamunya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar pergi, dan aku ikut pergi bersama keduanya. (Setelah sampai rumahnya) Abu Bakar membuka pintu dan menyuguhkan kepada kami kismis Tha’if. Itulah jamuan pertama yang aku santap. Kemudian aku boleh pergi sesukaku. Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku suatu negeri yang memiliki banyak pohon kurma. Aku tidak melihatnya kecuali Yatsrib; apakah kamu sudi menyampaikan kepada kaummu tentang dakwahku? Mudah-mudahan Allah memberi manfaat kepada mereka berkat dakwahmu dan memberi pahala kepadamu karena mendakwahi mereka.’

Kemudian aku mendatangi Unais, maka ia bertanya, ‘Apa yang kamu lakukan di sana?’ Aku menjawab, ‘Yang aku perbuat ialah bahwasanya aku telah masuk Islam dan beriman.’ Unais berkata, ‘Aku tidak membenci agamamu. Sebab aku sudah masuk Islam dan beriman.’ Lalu kami menemui ibu kami, maka ibu mengatakan, ‘Aku tidak membenci agama kalian. Sebab aku telah masuk Islam dan telah beriman.’ Kemudian kami berangkat hingga datang pada kaum kami, Ghifar. Maka, sebagian dari suku Ghifar masuk Islam. Mereka dipimpin oleh ‘Ima’ bin Ruh-shah al-Ghifari, sesepuh mereka.

Sementara separuh dari suku Ghifar lainnya mengatakan, ‘Jika kelak Rasulullah telah sampai di Madinah, maka kami akan masuk Islam.’ Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, separuh dari suku Ghifar yang tersisa masuk ke dalam Islam. Mereka datang untuk masuk Islam seraya mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, saudara-saudara kami telah masuk Islam, maka kami pun masuk Islam.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa, ‘Semoga suku Ghifar mendapatkan ampunan Allah. Dan suku Aslam, semoga Allah menyelamatkan mereka dari siksaan Neraka.” (Muslim, No. 2473.)

Sumber : 99 Kisah Orang Shalih (alsofwah.or.id)
Artikel www.KisahMuslim.com

Abu Ubaidah Al-Jarrah

Abu Ubaidah Al-Jarrah



Sahabat inilah yang pertama-tama dijuluki sebagai pemimpin para pemimpin (Amirul Umara). Dialah orang yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kanannya seraya bersabda mengenai dirinya,

“Sesungguhnya setiap umat memiliki orang kepercayaan, dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.“

Orang kepercayaan inilah yang disebut-sebut Al-Faruq radhiallahu ‘anhu pada saat akan menghembuskan nafas terakhirnya, “Seandainya Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu ‘anhu masih hidup, niscaya aku menunjuknya sebagai penggantiku. Jika Rabb-ku bertanya kepadaku tentang dia, maka aku jawab, ‘Aku telah menunjuk kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya sebagai penggantiku’.”

Ia masuk Islam lewat perantaraan Ash-Shiddiq di masa-masa awal Islam sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk Darul Arqam. Ia berhijrah ke Habasyah yang kedua. Kemudian kembali untuk berdiri di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salalm dalam Perang Badar. Ia mengikuti peperangan seluruhnya, kemudian melanjutkan berbagai peperangan bersama Ash-Shiddiq dan Al-Faruq radhiallahu ‘anhuma.

Sikap yang ditunjukkannya dalam perang Uhud menjelaskan kepada kita bahwa ia benar-benar kepercayaan umat ini, di mana ia tetap menebaskan pedangnya yang terpercaya kepada pasukan kaum paganis. Setiap kali situasi dan kondisi perang mengharuskannya jauh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berperang sembari kedua matanya memperhatikan di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertempur.

Di salah satu putarannya dan peperangan telah mencapai puncaknya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu dikepung oleh segolongan kaum musyrikin. Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu kehilangan kesadarannya, ketika melihat anak panah meluncur dari tangan orang musyrik lalu mengenai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menyerang orang-orang yang mengepungnya dengan pedangnya dan seolah-olah ia memegang seratus pedang, sehingga membuat mereka tercerai berai. Lantas ia berlari bak terbang menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia melihat darah beliau yang suci mengalir dari wajahnya, dan melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap darah itu dengan tangan kanannya seraya bersabda,

“Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melumuri wajah Nabi mereka, padahal dia menyeru kepada Rabb mereka.” (Lihat, Tafsir al-Qurthubi, 4/ 199)

Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu menerangkan kepada kita tentang fenomena ini lewat pernyataannya, “Pada saat perang Uhud, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena lemparan sehingga dua bulatan besi menancap di dahinya, aku cepat-cepat menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara ada seseorang yang datang dari arah timur berlari kencang seperti terbang, maka aku katakan, ‘Ya Allah, jadikanlah itu sebagai ketaatan.’ Ketika kami sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata ia adalah Abu Ubaidah bin Jarrah yang telah datang lebih dulu daripadaku. Ia berkata, ‘Aku meminta kepadamu, dengan nama Allah, wahai Abu Bakar, biarkan aku mencabutnya dari wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Aku pun membiarkannya. Ubaidah mengambil dengan gigi serinya salah satu bulatan besi itu, lalu mencabutnya dan jatuh ke tanah, gigi serinya pun jatuh bersamanya. Kemudian ia mengambil sepotong besi lainnya dengan gigi serinya yang lain sampai jatuh. Sejak saat itu, Abu Ubaidah di tengah khalayak dijuluki dengan Atsram (yang terpecah giginya, atau jatuh dari akarnya).

Pada saat delegasi Najran dari Yaman datang untuk menyatakan keislaman mereka, dan meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengutus bersama mereka orang yang mengajarkan kepada mereka Alquran, Sunnah dan Islam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka,

“Aku benar-benar akan mengutus bersama kalian seorang pria yang sangat dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya.” (Thabaqat Ibn Sa’d, 3/ 314)

Semua sahabat berharap bahwa dialah yang bakal dipilih oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata persaksian ini menjadi keberuntungannya.

Umar Al-Faruq radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak menyukai suatu jabatan pun sebagaimana aku menyukainya pada saat itu, karena berharap akulah yang bakal memperolehnya. Aku pergi untuk shalat Zhuhur dengan berjalan kaki. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur bersama kami, beliau mengucapkan salam, kemudian memandang ke kanan dan ke kiri. Aku menegakkan punggungku agar beliau melihatku. Tapi beliau terus mengarahkan pandangannya hingga melihat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Kemudian beliau memanggilnya seraya bersabda,

‘Keluarlah bersama mereka. Putuskan perkara di antara mereka dengan haq dalam segala hal yang mereka perselisihkan’.“

Akhirnya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu pergi bersama mereka.

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu berjalan di bawah panji Islam. Sekali waktu ia bersama para pasukan biasa, dan pada kesempatan yang lain bersama para panglima. Sampai datanglah masa Umar radhiallahu ‘anhu, ia menjabat sebagai panglima pasukan Islam di salah satu peperangan besar di Syam. Ia mendapatkan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peperangan ini, hingga ia menjadi hakim dan gubernur negeri Syam, dan perintahnya ditaati.

Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu mengunjungi Syam, dan bertanya kepada orang-orang yang menyambutnya, “Di manakah saudaraku?” Mereka bertanya, “Siapa?” Ia menjawab, “Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” Ketika Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu datang, Umar memeluknya. Kemudian Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu membawa Umar radhiallahu ‘anhu ke rumahnya. Di dalam rumah tersebut, Umar tidak melihat sedikit pun perkakas rumah tangga, kecuali pedang, perisai dan untanya. Umar radhiallahu ‘anhu bertanya kepadanya sembari tersenyum, “Mengapa engkau tidak memiliki sesuatu untuk dirimu sebagaimana dilakukan orang lain?” Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Wahai Amirul Mu’minin, inilah yang bisa mengantarkanku ke akhirat.”

Pada suatu hari, pada saat Al-Faruq Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berada di Madinah, seorang informan datang kepadanya untuk mengabarkan bahwa Abu Ubaidah telah meninggal dunia. Mendengar hal itu, Al-Faruq radhiallahu ‘anhu memejamkan kedua matanya dalam keadaan penuh dengan air mata. Air mata pun mengalir, lalu dia membuka kedua matanya dalam kepasrahan. Ia memohonkan rahmat Allah untuk sahabatnya dalam keadaan air mata mengalir dari kedua matanya, air mata orang-orang shalih. Air mata mengalir karena kematian orang-orang yang shalih. Al-Faruq Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Seandainya aku boleh berangan-angan, maka aku hanya mengangankan sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah.”

Kepercayaan umat meninggal dunia di atas bumi yang telah dibersihkannya dari paganisme Persia yang beragama Majusi dan dari keangkara murkaan Romawi. Di sana pada hari ini, di bawah tanah Yordan, jasad yang suci dikebumikan. Ia menjadi tempat bagi ruh yang baik dan jiwa yang tentram.

Sumber: Rijal Haula ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 160-180 (alsofwah.or.id)
Artikel www.KisahMuslim.com dengan 

Cinta Nabi kepada Aisyah (Seri 2)

Cinta Nabi kepada Aisyah (Seri 2)



((Wanita yang keenam berkata, “ Suamiku jika makan maka banyak menunya dan tidak ada sisanya, jika minum maka tidak tersisa, jika berbaring maka tidur sendiri sambil berselimutan, dan tidak mengulurkan tangannya untuk mengetahui kondisiku yang sedih”))

Maksudnya yaitu ia mensifati suaminya yang banyak makan dan minum, dan orang Arab menggunakan sifat banyak makan dan minum untuk mencela seseorang dan menggunakan sifat banyak berjimak untuk memuji seseoran yang menunjukkan kejantanannya. Wanita yang keenam ini ingin menjelaskan sifat suaminya yang buruk yang tidak memperhatikan dirinya. Jika tidur maka ia memojok (menjauh) dengan sellimutnya sendiri  tidak satu selimut dengan istrinya. Dan jika ia hendak berjimak maka ia tidak menjulurkan tangannya untuk mencumbu sang istri sebagai pembukaan jimak. Atau maksudnya jika sang istri mengalami kesedihan, kesusahan,atau sakit maka ia tidak pernah menjulurkan tangannya ke tubuh istrinya untuk mengecek keadaannya, yang hal ini menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap istrinya.

Faidah: 

Bukan termasuk sikap yang baik jika suami tidur sebelum berbincang-bincang dengan istrinya dan menyentuhkan tangannya kepada istrinya sebagai tanda kasih sayangnya. Kemudian jika sang istri memunculkan adanya perubahan pada sikapnya (baik kesedihan atau rasa sakit) maka hendaknya suami tanggap dan segera menunjukkan perhatiannya pada istrinya.

((Wanita yang ketujuh berkata,”Suamiku bodoh yang tidak pandai berjimak, semua penyakit (aib) dia miliki, dia melukai kepalamu, melukai badanmu, atau mengumpulkan seluruhnya untukmu”))

Yaitu ia ingin menjelasakan bahwa suaminya bodoh tidak pandai dan tidak kuat berjimak, ditambah lagi akhlaknya yang buruk, jika ia (sang istri) berbicara dengannya maka ia langsung memaki, jika sang istri bercanda maka langsung memukul kepalanya hingga melukainya, jika sang istri membuatnya marah maka ia memukulnya hingga mematahkan tulang, atau ia mengumpulkan semua itu (mengumpulkan makian, pukulan, dan mematahkan tulang). Semua aib yang ada di dunia ini terdapat pada diri suaminya.

((Wanita yang kedelapan berkata, “Suamiku sentuhannya seperrti sentuhan kelinci dan baunya seperti bau zarnab (tumbuhan yang baunya harum)”))

Maksudnya yaitu bahwa suaminya lembut, berakhlak baik, bersihan, dan berbicara dengan pembicaraan yang baik.

Faidah:

Merupakan sifat suami yang baik adalah yang memperhatikan keharuman tubuhnya.

(( Wanita yang kesembilan berkata, “Suamiku tinggi tiang rumahnya, panjang sarung pedangnya, banyak Abunya, dan rumahnya dekat dengan bangsal (tempat pertemuan)”))

Maksudnya yaitu suaminya memiliki rumah yang luas yang menunjukkan akan mulianya dan tinggi martabatnya di masyarakat. Ia adalah orang yang tinggi karena barang siapa yang sarung pedangnya panjang maka menunjukkan ia adalah orang yang tinggi, juga pemberani. Suaminya juga suka menjamu tamu hingga api tungkunya selalu menyala setiap saat menanti tamu yang datang, yang hal ini mengakibatkan banyaknya Abu bekas bakaran api. Dan rumahnya dekat dengan tempat pertemuan, maksudnya ia adalh orang yang dimuliakan oleh masyarakat sehingga masyarakat sering berkumpul di rumahnya, atau maknanya yaitu ia membangun rumahnya dekat dengan tempat perkumpulan masyarakat agar mereka mudah untuk mampir di rumahnya untuk ia jamu.

((Wanita yang kesepuluh berkata, “Suamiku (namanya) adalah Malik, dan siapakah gerangan si Malik?, Malik adalah lebih baik dari pujian yang disebutkan tentangnya. Ia memiliki unta yang banyak kandangnya dan sedikit tempat gembalanya, dan jika unta-unta tersebut mendengar tukang penyala api maka unta-unta tersebut yakin bahwa mereka akan binasa.”))

Wanita ini menjelaskan bahwa suaminya adalah seorang suami yang sangat baik, lebih baik dari yang disangka oleh pendengar, lebih baik dari pujian tentangnya. Ia memiliki unta yang sangat banyak di kandang dan jarang dikeluarkan untuk digembalakan karena sering datangnya tamu, sehingga unta-unta tersebut harus selalu disiapkan disembelih untuk memuliakan dan menjamu para tamu. Hari-hari disembelihnya unta-unta lebih banyak dari pada hari-hari digembalakannya unta-unta tersebut, hal ini menunjukkan betapa karimnya dan baiknya sang suami yng selalu menjamu para tamunya. Unta-unta tersebut jika mendengar suara tukang jagal datang maka mereka yakin bahwa mereka pasti akan disembelih karena itulah kebiasaannya tukang jagal yang selalu menyembelih mereka.

Faidah:

Termasuk sifat suami yang baik adalah memuliakan tamu, dan hendaknya ia selalu menyiapkan makanan khusus untuk para tamu karena para tamu bisa datang sewaktu-waktu.

((Wanita yang kesebelas berkata, “ Suamiku adalah Abu Zar’. Siapa gerangan Abu Zar’?, dialah yang telah memberatkan telingaku dengan perhiasan dan telah memenuhi lemak di lengan di atas tanganku dan menyenangkan aku maka aku pun gembira))

Maksudnya yaitu suaminya Abu Zar’ memberikannya perhiasan yang banyak dan memperhatikan dirinya serta menjadikan tubuhnya padat (montok). Karena jika lengan atasnya padat maka tandanya tubuhnya semuanya padat. Hal ini menjadikannya gembira.

(( Ia mendapatiku pada peternak kambing-kambing kecil dengan kehidupan yang sulit, lalu ia pun menjadikan aku di tempat para pemiliki kuda dan unta, penghalus makanan dan suara-suara hewan ternak. Disisinya aku berbicara dan aku tidak dijelek-jelekkan, aku tidur di pagi hari, aku minum hingga aku puas dan tidak pingin minum lagi))

Maksudnya yaitu Abu Zar’mendapatinya dari keluarga yang menggembalakan kambing-kambing kecil yang menunjukkan keluarga tersebut kurang mampu dan menjalani hidup dengan susah payah. Lalu Abu Zar’ memindahkannya ke kehidupan keluarga yang mewah yang makanan mereka adalah makanan pilihan yang dihaluskan. Mereka memiliki kuda-kuda dan unta-unta serta hewan-hewan ternak lainnya.

Jika ia berbicara di hadapan suaminya maka suaminya Abu Zar’ tidak pernah membantahnya dan tidak pernah  menghinakan atau menjelekkannya  karena mulianya suaminya tersebut dan sayangnya pada dirinya. Ia tidur di pagi hari dan tidak dibangunkan karena sudah ada pembantu yang mengurus urusan rumah. Ia minum hingga puas sekali dan tidak ingin minum lagi yaitu suaminya telah memberikannya berbagai model minuman seperti susu, jus anggur, dan yang lainnya.

Faidah :

    Merupakan sifat suami yang baik adalah menghiasi dan mempercantik istrinya dengan perhiasan dan memberikan kepada istrinya makanan pilihan. Sesungguhnya hal ini menjadikan sang istri menjadi sangat mencintai suaminya karena merasakan perhatian suaminya dan sayangnya suaminya kepadanya.
    Para wanita sangat suka kepada perhiasan emas, dan ini merupakan hadiah yang paling baik yang diberikan kepada wanita.
    Merupakan sifat suami yang baik adalah membantu istrinya. Diantaranya dengan mendatangkan pembantu yang bisa membantu tugas-tugas rumah tangga istrinya.
    Tubuh yang berisi padat (tidak kurus dan tidak gemuk) merupakan sifat kecantikan seorang wanita.

(( Ibu Abu Zar’. Siapakah gerangan Ibu Abu Zar’?, yang mengumpulkan perabotan rumah, dan memiliki rumah yang luas))

Kemudian karena besar cintanya kepada suaminya maka mulailah ia menceritakan tentang keadaan keluarga suaminya, diantaranya adalah ibu suaminya (Ibu Abu Zar’). Ibu suaminya adalah wanita yang kaya raya yang memiliki banyak perabot rumah tangga didukung dengan rumahnya yang besar dan luas. Hal ini menunjukkan bahwa sang ibu adalah orang yang sangat baik yang selalu memuliakan tamu-tamunya.

Faidah :

Diantara sifat istri yang shallihah hendaknya ia menghormati ibu suaminya dan memahami bahwa ibu  suaminya lah yang telah melahirkan suaminya yang telah banyak berbuat baik kepadanya[1]. Kemudian hendaknya tidak ada permusuhan antara seorang istri yang shalihah dan ibu suaminya. Dan sesungguhnya tidak perlu adanya permusuhan karena pada hakekatnya tidak ada motivasi yang mendorong pada hal itu jika keduanya menyadari bahwa masing-masing memiliki hak-hak khusus yang berbeda yang harus ditunaikan  oleh sang suami.

((Putra Abu Zar’, siapakah gerangan dia?, tempat tidurnya adalah pedang yang terhunus keluar dari sarungnya, ia sudah kenyang jika memakan lengan anak kambing betina.))

Maksudnya, bahwa putra suaminya adalah anak yang gagah dan tampan serta pemberani, tidak gemuk karena sedikit makannya, tidak kaku dan lembut, namun sering membawa alat perang dan gagah tatkala berperang.

((Putri Abu Zar’, siapakah gerangan dia?, taat kepada ayahnya dan ibunya, tubuhnya segar montok, membuat madunya marah kepadanya.))

Maksudnya yaitu ia adalah seorang putri  yang berbakti kepada kedua orang tuanya sehingga menjadikannya adalah buah hati kedua orang tuanya. Ia seorang putri yang cantik dan disenangi suaminya hingga menjadikan istri suaminya yang lain cemburu dan marah kepadanya karena kecantikannya tersebut.

((Budak wanita Abu Zar’, siapakah gerangan dia?, ia menyembunyikan rahasia-rahasia kami dan tidak menyebarkannya, tidak merusak makanan yang kami datangkan dan tidak membawa lari makanan tersebut, serta tidak mengumpulkan kotoran di rumah kami.))

Maksudnya, budak wanita tersebut adalah orang yang terpercaya bisa menjaga rahasia dan amanah. Seluruh kejadian atau pembicaraan yang terjadi di dalam rumah tidak tersebar keluar rumah. Ia sangat jauh dari sifat khianat dan sifat mencuri. Dia juga pandai menjaga diri sehingga jauh dari tuduhan-tuduhan sehingga ia tidak membawa kotoran (tuduhan-tuduhan jelek) dalam rumah kami.

Demikianlah sang wanita menceritakan kebaikan-kebaikan yang ia dapatkan di rumah suaminya, yang hal ini menunjukkan betapa besar cintanya dan sayangnya ia pada suaminya, hatinya telah tertawan oleh suaminya. Bahkan dalam riwayat yang lain ia juga menyebutkan tentang tamu Abu Zar’, harta Abu Zar’, dn para tukang masak Abu Zar’, bahkan sampai-sampai ia menceritakan tentang anjingnya Abu Zar’[2].

(( Keluarlah Abu Zar’pada saat tempat-tempat dituangkannya susu sedang di goyang-goyang agar keluar dari susunya, maka iapun bertemu dengan seoranng wanita bersama dua orang anaknya seperti dua ekor macan. Mereka berdua sedang bermain di dekatnya dengan dua buah delima. Maka ia pun lalu menceraikanku dan menikahi wanita tersebut.))

Maksudnya, Abu Zar’ suatu saat keluar di pagi hari pada waktu para pembantu dan para budak sedang sibuk bekerja dan diantara mereka ada yang sedang menggoyang-goyangkan (mengocok-ngocok) susu segar keluar sari susu tersebut. Kemudian ia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki dua orang anak yang menunjukkan bahwa wanita tersebut adalah wanita yang subur. Hal ini merupakan sebab tertariknya Abu Zar’ untuk menikahi wanita tersebut, karena orang Arab senang dengan wanita yang subur untuk memperbanyak keturunan. Dan sang wanita memiliki dua anak yang masih kecil-kecil yang menunjukkan bahwa wanita tersebut masih muda belia. Akhirnya Abu Zar’ pun menikahi wanita tersebut dan mencerai Ummu Zar’.

((Settelah itu aku pun menikahi seorang pria yang terkemuka yang menunggang kuda pilihan balap. Ia mengambil tombak khatthi[3] lalu membawa tombak tersebut untuk berperang dan membawa ghanimah berupa unta yang banyak sekali. Ia memberiku sepasang hewan dari hewan-hewan yang disembelih  dan berkata, “ Makanlah wahai Ummu zar’ dan berkunjunglah ke keluargamu dengan membawa makanan”. Kalau seandainya aku mengumpulkan semua yang diberikan olehnya maka tidak akan mencapai belanga terkecil Abu Zar’))

Yaitu Ummu Zar’ setelah itu menikahi seorang pria yang gagah perkasa yang sangat baik kepadanya hingga memberikannya makanan yang banyak, demikian juga pemberian-pemberian yang lain, bahkan ia memerintahkannya untuk membawa pemberian-pemberian tersebut kepada keluarga Ummu Zar’. Namun meskipun demikian Ummu Zar’ kurang merasa bahagia dan selalu ingat kepada Abu Zar’.

Yang membedakan antara Abu Zar’ dan suaminya yang kedua adalah Abu Zar’ selalu berusaha mengambil hati istrinya, ia tidak hanya memenuhi kebutuhan istrinya akan tetapi kelembutannya dan kasih sayangnyalah yang telah memikat hati istrinya. Ditambah lagi Abu zar’ adalah suami pertama dari sang wanita, hal ini sebagaimana perkataan seorang penyair,

Pindahkanlah hatimu kepada siapa saja yang engkau mau

Namun kecintaan (sejati) hanyalah untuk kekasih yang pertama

Betapa banyak tempat di bumi yang sudah biasa ditinggali seorang pemuda

Namun selamanya kerinduannya selalu kepada tempat yang pertama ia tinggali

Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menikahi para wanita yang perawan karena wanita perawan akan lebih cinta kepada suaminya, karena suaminyalah yang pertama kali menngenalkannya makna cinta.[4]

Ia tidak bisa melupakan kebaikan-kebaikan suamipertamanya Abu Zar’ bahkan kebaikan-kebaikan yang begitu banyak yang ia dapatkan dari suami keduanya seakan-akan tidak ada nilainya jika dibandingkan dengan kebaikan yang diberikan oleh Abu Zar’ kepadanya.

Faidah :

    Diantara sifat suami yang baik adalah membiarkan istrinya bersilaturahmi dengan keluarga istrinya.
    Bahkan merupakan sifat suami yang baik adalah membiarkan istrinya memberikan makanan atau sesuatu dari rumahnya untuk keluarga istrinya bahkan suami yang baik adalah yang mendorong istrinya berbuat demikian.
    Menguasai seorang wanita adalah dengan menguasai hatinya. Abu Zar’ telah menguasai hati Ummu Zar’ sehingga Ummu zar’ tidak bisa melupakannya meskipun suaminya yang kedua tidak kalah baiknya atau bahkan lebih baik dari Abu Zar’ dalam hal pemberian. Namun karena hati Ummu Zar’ telah dikuasai oleh Abu Zar’ maka semua pemberian suami keduanya kurang bernilai di hadapan pemberian Abu Zar’. Hal ini menunjukkan bahwa hati itu dimiliki dengan akhlak dan pergaulan yang baik bukan dengan harta.
    Wanita yang pandai   adalah wanita tidak menyerah dengan susahnya kehidupan lihatlah Ummu Zar’ ia tidak putus asa setelah dicerai oleh Abu Zar’, tidak membiarkan dirinya terhanyut dalam kesedihan, akan tetapi ia segera menikah dengan lelaki yang lain untuk memulai kehidupan baru.
    Perceraian bukanlah merupakan akhir dari kehidupan, lihatlah Ummu Zar’ menikah lagi sebagaimana Abu Zar’ menikah lagi.

((Aisyah berkata, “ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, Aku bagimu seperti Abu Zar’ bagi Ummu Zar’ “))

Berkata Imam An-Nawawi, “ Dan lafal (yaitu dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) adalah zaaidah (tambahan) atau untuk menunjukkan dawam (kesinambungan) sebagaimana firman Allah ( Dan Allah adalah Maha Pengampun  lagi Maha Penyayang), yaitu sejak dahulu hingga seterusnya Allah akan selalu bersifat demikian (Maha Pengampun dan Maha Penyayang)”[5]

Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang selalu sayang dan perhatian kepada Aisyah. Berbeda dengan sebagian suami yang kasih sayangnya kepada istrinya hanya pada waktu-waktu tertentu saja, dan pada waktu-waktu yang lain tidak sayang dan perhatian lagi kepada istrinya.

Dalam riwayat yang lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah,

“Aku bagimu seperti Abu Zar’ seperti Ummu Zar’ hanya saja Abu Zar’ mencerai dan aku tidak mencerai.”[6]

Dalam riwayat lain Aisyah berkata, “ Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku dari pada Abu Zar’”[7]
Faidah :

    Perhatikanlah… Aisyah menceritakan kisah yang indah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Rasulullah sabar mendengarkan kisah tersebut padahal kisahnya panjang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak memotong pembicaraan Aisyah, padahal beliau memiliki kesibukkan yang sangat banyak, banyak urusan penting yang harus beliau tunaikan. Maka suami yang baik adalah suami yang mendengarkan pembicaran istrinya dan tidak memotong pembicaraannya.
    Para wanita kalau berkumpul biasanya pembicaraan mereka seputar para lelaki. Hal ini berbeda dengan para lelaki, kalau mereka berkumpul biasanya pembicaraan mereka berputar pada perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan.
    Bolehnya membuat permisalan dalam pembicaraan.

Peringatan

Bukanlah maksudnya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Aisyah sama persis sebagaimana sifat Abu Zar’ kepada Ummu Zar’, akan tetapi maksudnya sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama dengan sikap Abu Zar’ dalam hal kasih sayang kepada istri, hal ini sebagaimana dalam riwayat Al-Haitsam (aku bagimu seperti Abu Zar’ bagi Ummu Zar’ dalam hal kasih sayang ) sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari[8]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menyamai Abu Zar’ dalam segala hal dan sifat yang disebutkan dalam hadits seperti kekayaan dan kemewahan hidup, memiliki putra, pembantu dan yang lainnya. Demikian juga jelas bahwa ibadah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah sama dengan Abu Zar’, bahkan dalam hadits sama sekali tidak disebutkan tentang ibadah Abu Zar. Oleh karena itu janganlah dipahami dari kisah Abu Zar’ ini bahwa hanyalah yang bisa menggauli istrinya dengan baik adalah yang memiliki harta banyak dan berlebihan. Akan tetapi maksudnya hendaknya seseorang itu seperti Abu Zar’ dalam hal kasih sayang dan perhatian serta pemberian. Dan menampakkan kasih sayang dan perhatian tidaklah mesti dengan harta yang banyak, akan tetapi masing-masing suami menyesuaikan dengan kondisinya yang penting ia bisa menunjukkan kasih sayang dan perhatiannya serta tidak pelitnya dia kepada istrinya.

Wallahu A’lam…

Sumber: Suami Idaman Istri Pilihan (Surat dari Seorang Suami untuk Suami), Abu Abdil Muhsin Firanda, M.A. , Pustaka Muslim

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca juga artikel menarik lainnya: Kecintaan Nabi kepada Aisyah (Seri 1)

Popular Posts

Category